BAB 7

3.7K 389 9
                                    

Sementara itu di Kerajaan Heloise, sang Raja dan Ratu sedang berdiri menatap Sungai Biru dari balik jendela istananya. Dari kejauhan, mereka menatap Menara Brigham sambil berspekulasi dalam pikiran mereka masing-masing. Keduanya merasa ada yang aneh pada diri mereka. Itu semua karena sepucuk surat resmi dari Raja Brigham yang datang tiba-tiba hari itu.

[Kepada Raja Alistair Heloise yang Terhormat].

[Aku mengirimkan gulungan surat ini lewat pengawalku bukan karena bermaksud tidak sopan, tetapi aku sekarang sedang sibuk mempersiapkan sesuatu yang sangat penting].

[Sudah lama kerajaan kita bersaing demi diakui sebagai kerajaan terkuat. Padahal kita berdua ini sudah terlalu tua untuk itu. Kau pasti di sana juga butuh ketenangan, sama sepertiku. Kau dan aku akan segera digantikan oleh penerus-penerus kita selanjutnya. Tidakkah kau ingin mempermudah segalanya dengan mengakhiri perseteruan ini? Karena aku ingin kepastian di masa tuaku. Aku ingin kestabilan].

[Putra tunggalku telah menyetujuinya. Kita bisa menyatukan dua kerajaan ini dengan pernikahan, sehingga tidak ada lagi batas di antara kita. Kerajaanku dan kerajaanmu akan berada di bawah satu pimpinan, untuk menjadi kerajaan terkuat yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya].

[Kau tidak perlu membalas suratku, Alistair. Karena lusa, aku akan datang dengan begitu banyak kereta kuda yang sedang aku persiapkan sekarang. Bersama putraku, kami akan melamar seorang gadis keturunanmu untuk dijadikan sebagai calon ratu dari kerajaan yang akan bersatu].

[Aku harap mulai sekarang kau bersedia membuka pikiranmu pada hal-hal baru yang dapat menjadikan kerajaan kita menjadi jauh lebih baik. Kita bisa menjadi satu keluarga yang solid dan tak terkalahkan jika kita mau mengesampingkan kepentingan kita masing-masing. Biar bagaimana pun, masa depan kerajaan kita akan ditentukan oleh keputusan kita pada masa sekarang].

[Sampai jumpa di hari itu].

[Raja Jaron Brigham].

"Aku rasa, keputusan ini cukup mengagetkan," keluh Raja Heloise. Ia menyeka keringat di dahinya. Sejak tadi otaknya dipenuhi banyak pikiran yang bermacam-macam.

"Tenangkan dirimu, Suamiku," ucap Ratu Heloise lembut. "Kita semua juga kaget. Percayalah."

"Aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Jaron tolol itu!" rutuk Raja Heloise dengan memanggil nama Raja Brigham. "Bisa-bisanya ia mengusulkan padaku untuk berdamai dengan kerajaannya mendadak begini, padahal sejak dulu justru ia yang menjadi biang keroknya. Ia tidak mau mengakui kehebatan kerajaan kita."

"Pikirkanlah dengan tenang tawaran darinya," usul sang Ratu dengan bijaksana. "Mau sampai kapan kerajaan kita terbagi menjadi dua kubu? Apakah belum cukup semua harta yang akan kita berikan pada keturunan kita nanti? Apakah kau juga ingin mewariskan permusuhan antar dua kerajaan besar ini?"

"Tentu aku tidak ingin membuat pusing putriku," ujar Raja Heloise. Ia menghela napas panjang dan mulai berpendapat yang sama dengan istrinya. "Sudah pasti aku ingin menjadi ayah yang baik."

"Kita punya Martha yang belum dipinang. Bagaimana menurutmu, Suamiku?"

"Oh, Martha kecilku," desah Raja Heloise gusar. Ia teringat akan putrinya. "Aku tidak pernah membayangkan persatuan dua kerajaan ini akan terjadi di zaman kepemerintahanku!"

Ratu tersenyum. Rupanya sang Raja Heloise kini telah menerima tawaran dari Raja Brigham atas perjodohan putra dan putri mereka dengan senang hati. Tidak ada salahnya dicoba. Sudah saatnya pertengkaran antara dua kubu kerajaan yang terjadi puluhan tahun dari generasi ke generasi itu diakhiri.

****

"Scania!" jerit Martha di dapur. Ia menggedor-gedor pintu gudang. "Aku mencarimu ke mana-mana."

Scania panik, rupanya ia ketahuan. Ia buru-buru keluar dari tempat persembunyiannya di dalam gudang. "Maaf, Yang Mulia. Mengapa kau bisa tahu bahwa aku berada di sini?" herannya.

"Ibumu sendiri yang memberitahukannya padaku," jawab Martha.

Scania melirik ibunya, Wren, tukang masak di Istana Heloise. Wren, entah mengapa, lebih sayang pada Martha ketimbang Scania, anaknya sendiri. Scania tadi berpesan pada Wren agar tidak memberitahu persembunyiannya, terutama pada Martha, karena Scania ingin pergi ke Hutan Biru untuk berlatih mendongeng.

"Jangan pergi ke mana-mana sampai semua PR-ku selesai!" perintah Martha rewel. Ia menarik lengan Scania secara paksa.

Martha memang tidak pernah mengerjakan PR sekolahnya sendiri. Semuanya selalu dikerjakan oleh Scania yang sejak kecil memang pintar. Lagi pula, mereka berdua secara kebetulan seumuran, bahkan lahir di hari yang sama. Scania sama sekali tidak merasa berat mengerjakan semua PR itu, malah ia senang dapat akses pendidikan gratis. Namun, kali ini ia benar-benar tidak bisa melakukannya. Ia sudah berjanji pada Milo untuk bertemu di bawah pohon dalam Hutan Biru.

"Tapi, Yang Mulia. Hari ini aku sudah ada janji duluan dengan temanku," kata Scania, berusaha terdengar sesopan mungkin. 

Mendengar itu, Wren menghentikan kegiatannya di dapur, dan maju mendekati putrinya. Ia melotot pada Scania sambil menjewer satu telinganya. "Scania! Apakah kau baru saja menolak perintah seorang putri?!"

Scania menggerutu dalam hatinya. Sementara Martha melipat kedua lengannya di dada sambil tersenyum penuh kemenangan. Semua permintaannya harus dikabulkan.

"Pokoknya, aku akan menunggumu di meja belajarku sekarang juga. Kau harus ada di sana tidak lebih dari lima menit," lanjut Martha. Ia melangkah pergi meninggalkan Scania dan ibunya dengan angkuh.

Scania menahan air matanya supaya tidak keluar. Ia sama sekali tidak ingin kelihatan lemah. Ia berhenti meringis kesakitan sambil memegangi telinganya yang merah sebelah karena Wren menjewernya dengan sangat kuat.

"Kenapa Ibu tidak pernah membelaku?" Scania menunduk, masih memegangi telinganya, tidak berani memandang wajah ibunya yang sedang marah.

"Karena kau itu bukan seorang putri raja. Kau hanya anak dari seorang tukang masak istana!" Wren membanting pintu dapur.

Scania akhirnya menumpahkan air matanya. Ini sudah kesekian kalinya ia mendengar kalimat itu dari Wren, tapi tetap saja ia merasa sedih. Bukan masalah baginya jika mendengar perkataan itu dari orang lain, tapi ia mendengarnya langsung dari mulut ibunya sendiri. Ia sangat terluka karenanya.

****

The Unwanted Princess [TAMAT]Where stories live. Discover now