BAB 24

2.3K 236 1
                                    

Milo, yang lamarannya telah ditolak oleh Scania, merasa dirinya adalah pria yang sangat bodoh sedunia. Seluruh nasihat yang ia dengar mengenai perbedaan status sosial dirinya dan Scania, kini merasuk ke dalam benaknya. Seharusnya dari awal ia tidak mencoba mengambil risiko yang bisa membahayakan Scania. Ia kini merasa bersalah pada Scania, karena telah mencari-cari perkara hingga menyebabkan mereka berdua tidak bisa bertemu seperti biasa, sementara ia harus menanggung rindu yang tidak tertahankan lagi.

Milo merana karena ulahnya sendiri. Sudah sekian hari ia kurang tidur, malas makan, juga sulit berpikir jernih. Ia tak suka terjebak dalam kamar mewahnya yang sama sekali tidak dapat menghiburnya. Satu-satunya yang ia inginkan saat ini adalah bertemu Scania, dan memastikan gadis itu baik-baik saja.

Kadang ia melihat Scania dari jendela kamarnya, dilempari oleh batu-batu kerikil dari semua rakyat, karena telah menggunakan sihir pada keluarga kerajaan. Saat itu Milo tak berbuat apapun. Kaca jendela seakan terbuat dari beton, karena pukulannya tak bisa membuat retakan sama sekali. Ia tak bisa keluar, sedangkan Scania di sana menangis tersedu-sedu.

Jantung Milo berdegup kencang. Ia meremas kasurnya dan segera menghampiri jendela, dan melihat ke arah luar. Ada apa barusan?

Tak ada siapa-siapa. 

Tak ada Scania di sana.

"Rupanya aku bermimpi lagi," keluhnya.

****

"Wah, kita bertemu lagi rupanya," ujar Drake berbasa-basi. Ia menjelajahi beberapa sudut ruangan untuk menyelidiki keadaan dalam rumah. Drake, sepertinya punya ketertarikan pribadi terhadap beberapa barang di rumah itu, terutama pada buku-buku dan hiasan dinding. Ia sejenak melupakan Scania yang kini masih menatapnya dengan gugup.

"A-Apa kabar, Drake?" balas Scania kikuk, seolah ia sama sekali tidak mengetahui soal sayembara seratus koin. 

Drake mendadak memindahkan tatapannya dari barisan buku ke wajah polos Scania. "Oh, kabarku baik-baik saja," jawabnya santai. Ia berjalan memutari Scania, dan segera membekap Scania dari belakang, lalu menempelkan ujung pisau runcing ke leher gadis itu tanpa ada perlawanan yang berarti. Ia lalu tersenyum licik. "Tapi, sepertinya kau tidak."

****

Elric mulai menelusuri seluruh sisi selatan dari Hutan Biru. Beruntungnya setelah sekian lama mencari, ia dari kejauhan berhasil menemukan sebuah rumah yang sangat sederhana di antara lebatnya semak belukar. Tepat setelah itu muncul seekor kuda yang melesat jauh dari pekarangan rumah itu. "DRAKE!!!" seru Elric kesal. Ia secara samar juga melihat Scania menaiki kuda yang sama, dan makin kesal dibuatnya.

Ia berusaha mengejar kuda itu sekuat tenaga, walaupun jarak mereka cukup jauh. Dua kuda itu terus berkejaran, bahkan sampai menyeberangi jembatan kayu hingga ke Hutan Biru di sisi Brigham. Elric sama sekali tidak mengizinkan kudanya untuk berhenti karena ia tidak ingin kehabisan waktu.

****

Drake terlalu sering menoleh ke belakang, sehingga ia kurang berhati-hati dalam mengatur kudanya. Ia bahkan tak sengaja bertabrakan dengan kuda dari salah seorang pengawal yang pernah hadir pada saat Milo melamar Scania. Pengawal itu sempat marah awalnya, namun akhirnya ia membiarkan Drake pergi. Beberapa saat kemudian, ia baru sadar bahwa wanita yang duduk bersama Drake di kuda itu sangat familiar baginya.

Pengawal itu akhirnya teringat sosok gadis yang dilamar oleh Pangeran Brigham kala itu. Matanya terbelalak, ia menoleh lagi tapi kuda itu sudah tidak kelihatan. Ia menyesal karena tidak menjegat kuda yang barusan saja lewat. Pengawal itu akhirnya kembali memacu kudanya untuk kembali ke Istana Brigham, dan ia berencana akan melaporkan apa yang ia lihat kepada sang raja.

****

Raja Brigham tiba-tiba menggebrak sebuah meja dalam ruangan pribadinya. Alisnya menukik tajam, memancarkan amarah. Ia bisa merasakan sekujur tubuhnya seolah ingin meledak meluapkan emosi pada benda-benda di sekitarnya.

"KURANG AJARRR!!!" rutuk Raja Brigham entah pada siapa. 

Seorang pengawal yang tengah berlutut di depannya hanya bisa menunduk karena tak ingin menambah masalah jika ia berbicara lebih banyak lagi. Ia baru saja menyampaikan sebuah kabar yang menjadi alasan kemarahan Raja Brigham saat itu. Sebuah kabar yang ternyata bisa menggegerkan seisi istana.

Hampir semua pengawal terpaku, tak sanggup memandang raja yang murka. Namun Konrad berani melangkahkan kakinya yang pincang sebelah itu, mendekati penguasa Brigham tertinggi. "Yang Mulia," sahutnya enteng. Ia mencoba memanipulasi keadaan. "Penyihir itu sepertinya berencana akan mengganggu pangeran lagi. Mengapa Raja Heloise seolah kurang tegas padanya? Apakah ini sebuah kesengajaan?" tanya Konrad, berusaha memanas-manasi situasi. "Kalau aku jadi Raja Heloise, aku pasti akan merasa diuntungkan dengan keberadaan penyihir di pihakku, jadi aku tidak perlu repot-repot lagi."

"Sesungguhnya ini adalah penghinaan untuk keluarga kerajaan." Raja Brigham menarik napas dalam-dalam, amarahnya makin tersulut. "Kirim prajurit untuk melemparkan obor ke depan Istana Heloise. Kesabaranku pada Heloise sudah habis. Sebarkan peringatan mengenai perang ini, jangan ada rakyat biasa yang mendekati Sungai Biru. Kita minta mereka berlindung." Raja menatap Konrad dengan tajam. "Aku akan paksa Raja Heloise menyerahkan penyihir itu. Hidup atau pun mati."

****

Milo tak sengaja mendengar raungan ayahnya secara samar. Kamarnya memang terletak persis sebelah ruangan pribadi Raja Brigham, sehingga wajar jika ia bisa mendengar  teriakan sekuat itu. Milo berusaha mencuri dengar, namun ia kesulitan. Tapi ia yakin kali ini ada sesuatu yang tidak beres. 

Akhirnya ia memutuskan untuk kabur dari kamar. Dengan cepat ia menarik gagang pintu, berharap bisa merusaknya. Ia juga telah mendobraknya berulang kali sampai bahunya keram. 

Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Milo pikir usahanya merusak pintu telah berhasil. Namun ternyata, yang baru saja membukanya adalah ayahnya sendiri.

"Mau ke mana kau? Mencari gadis itu?" tegur Raja Jaron saat memergoki Milo berusaha mendobrak pintu kamarnya sendiri.

"Tentu saja, Ayah. Akulah yang memulai kekacauan ini. Aku harus-"

"Oh, tenanglah. Kau akan segera bertemu dengannya. Raja Heloise akan menyerahkannya padaku, dan setelah itu-"

"Tidak. Tidak, Ayah. Jangan sentuh Scania. Ini bukan kesalahannya," potong Milo.

"Aku akan menyelesaikannya dengan caraku karena aku ini seorang Raja. Cepatlah bersiap. Kau memang harus ikut untuk agar dapat melihat bagaimana cara menjadi raja yang seharusnya! Pakai baju besimu, ambil pedangmu!"

Milo terdiam dengan dahi yang berlipat-lipat. Ia tak punya pilihan selain menuruti ayahnya. Ia kini justru tak ingin Scania muncul, karena ia tahu betul betapa marah ayahnya saat ini.

****

The Unwanted Princess [TAMAT]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ