BAB 20

2.7K 291 0
                                    

Malam harinya, Scania pura-pura tidur di dalam kamarnya. Seluruh sinar dalam rumah tersebut telah padam. Tak ada suara apapun selain kepakan sayap serangga-serangga yang berterbangan. Scania sesekali mencubit tangannya sendiri demi menghalau rasa kantuknya di tengah malam. Kedua kelopak matanya berat, namun jantungnya berpacu sangat kencang. Ia rupanya memang menyimpan keinginan kuat untuk melarikan diri malam ini juga. Ia menunggu waktu yang tepat sambil memeluk buku pemberian Milo erat-erat.

Ketika menyadari tak ada suara langkah kaki sama sekali di rumah itu, Scania bangun dari tempat tidurnya. Scania hanya seorang diri di kamar sempit itu, jadi ia lebih leluasa bersiap-siap. Ia membuka pintu kamar pelan-pelan sambil mengintip adakah keberadaan Elric di sana. Begitu ia yakin hanya ia satu-satunya orang yang belum tidur di sana, ia melangkah dengan hati-hati memasuki dapur. Namun, ia beberapa kali tersandung kaki meja karena situasi dalam rumah itu benar-benar gelap.

Scania tau betul cara membuka kunci pintu belakang yang ada di dapur. Ia telah berlatih membukanya saat ia sedang masak. Akhirnya sebentar lagi aku bisa pergi dari sini, jerit Scania dalam hatinya.

BRAKKK!

Begitu Scania menarik pintu belakang, sapu dan peralatan kebersihan lainnya terjatuh dan saling menimpa satu sama lain. Hal itu menimbulkan kegaduhan di tengah heningnya malam. Gadis itu spontan menepuk dahinya, tak berani memandang ke arah kekacauan yang baru saja ia perbuat. Tentu saja tak ada waktu untuk membereskannya. Mengingat ini adalah kesempatan emas yang tak mungkin datang dua kali, Scania segera berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

Malam semakin larut. Bulan bersinar terang di langit. Derap langkah Scania terdengar begitu nyaring di tengah pepohonan yang tak lagi terlihat hijau. Pemandangan alam yang sebelumnya ia lihat di siang hari telah lenyap ditelan kegelapan. Scania mulai merinding ketakutan, bahkan saat mendengar deru napasnya sendiri.

"Lewat mana?!" pekik Scania dalam hatinya. Ia merasa telah melalui jalan ini tadi. Tak ada penunjuk arah sama sekali. Bahkan di langit terlihat bulan yang sejak tadi hanya diam mengikuti langkahnya yang berputar-putar tak karuan.

Tiba-tiba Scania mendengar sesuatu yang aneh. Ini bukan helaan napasku, duga Scania. Sepertinya ada orang lain di sini. Hanya butuh sepersekian detik untuk menyadari bahwa ia kini dalam bahaya.

"Jangan ganggu aku, atau aku akan menyerangmu duluan!" gertak Scania, mencoba menakuti makhluk lain yang kini mengintainya. Namun, dengan suara serak seperti itu ia malah terdengar sangat lemah dan tak berdaya. Scania mengambil ranting pohon di bawah kakinya dengan cepat dan mengacungkannya sebagai senjata.

Sosok itu mendekat. Dalam gelap, Scania bisa merasakan perubahan aliran udara yang tiba-tiba di sekujur permukaan kulitnya. Firasatnya benar. Ada embusan napas yang perlahan mendekatinya.

Scania limbung, merasa seperti menabrak sesuatu. Tidak, sebenarnya ia justru ditabrak. Lebih tepatnya diserang. Scania jatuh dengan posisi terduduk, dan merasakan perih yang luar biasa pada lengan dan bahu kirinya. Lalu ia merasa ada tetesan air yang mengalir di tangannya. Tanganku sepertinya mengeluarkan darah, batinnya panik. Ia menjerit sangat keras sampai mengagetkan burung-burung yang semula bertengger, kini ramai-ramai melesat jauh ke udara.

Itu tentu saja bukan deru napas manusia biasa. Begitu keras dan buas. Scania bisa merasakan makhluk berbulu itu ada di dekatnya. Sangat dekat.

"Scania! Jangan bergerak!!!" Elric mencoba menebas makhluk pengganggu itu dengan sebilah pedang.

Sesaat setelah terdengar suara yang memanggil namanya, deru napas makhluk yang tengah memburu Scania itu lenyap begitu saja. "Elric?" tebak Scania. "Mengapa kau bisa ada di sini?"

"Apa kau gila?!" bentak Elric di kegelapan. "Seharusnya aku yang bertanya padamu, mengapa kau ada di sini?" 

Scania tak menjawab. Ia bingung harus mengatakan apa. Sekarang yang ia pikirkan hanya luka di lengannya, dan bau darah yang begitu menyengat di sekitarnya.

"Apa kau bisa berjalan?" tanya Elric lagi.

Scania mencoba berdiri perlahan. "Kurasa bisa."

Elric menghela napas lega dan mulai berjalan ke arah sebaliknya. "Bagus. Sekarang lebih baik kita pulang, atau kau akan bertemu dengan serigala lainnya jika tetap di sini."

Dengan pikiran kalut, Scania segera menyusul langkah Elric. "Apa katamu? Serigala?!"

****

Api di perapian menyala begitu terang pada malam itu. Elric, pemilik rumah, sebenarnya sangat jarang menyalakan perapian di malam selarut ini. Ia terpaksa melakukannya untuk menghangatkan tubuh mereka yang baru saja terpapar oleh dinginnya udara luar.

Scania dan Elric duduk memandangi api yang berkobar-kobar. Mereka berdua terlibat percakapan yang cukup serius. Elric juga membantu Scania membersihkan luka di lengannya, dan membalutnya agar darah tidak terlalu banyak mengucur.

"Aku sedang mencoba mencerna kata-katamu," potong Scania. "Di wilayah Brigham yang katanya punya keamanan sangat ketat itu ada ... serigala? Apa kau yakin?"

Elric mengencangkan ikatan kain yang ia lilitkan di lengan Scania.

"Aduh!" pekik Scania menahan sakit. "Tolong pelan-pelan."

"Apa luka ini belum cukup menjadi bukti bagimu?" rutuk Elric.

Scania buru-buru menarik lengannya sebelum Elric mengencangkan ikatannya lagi. "Baiklah, baiklah!"

"Kenyataannya Brigham tidak seaman itu," lanjut Elric. Ia menatap Scania dalam-dalam. "Aku akan beri tahu sebuah kisah nyata yang hampir dilupakan semua orang. Dulu sekali, ada satu kaum yang diasingkan dari wilayah ini oleh Raja Brigham yang sebelumnya berkuasa," papar Elric panjang lebar. "Mereka adalah kaum Wolfgang. Mereka berbahaya."

"Di mana mereka sekarang?" tanya Scania ketakutan.

Elric memicingkan matanya. "Sangat dekat, Scania. Kau ingat tembok batu yang kau lihat saat baru saja tiba di sini? Mereka ada di baliknya."

****

Semangatin aku menulis part selanjutnya dengan cara beri "VOTE" sekarang juga!

The Unwanted Princess [TAMAT]Where stories live. Discover now