Epilog

1.3K 121 14
                                    

5 Tahun kemudian.

Seorang wanita duduk menatap kedua anaknya yang sedang berlarian ke sana kemari. Sedangkan di sampingnya ada seorang pria yang menatapnya lekat, seolah-olah dia takut kehilangan wanitanya.

"Jangan natap aku kayak gitu yang!" tegur wanita itu lembut seraya menoleh ke arah suaminya.

"Why? Saya punya mata, tidak masalah-kan?"

"Ck, tetep aja nggak boleh! Aku tuh salting!" kata wanita itu malu-malu.

"Astaga!" dengan gemas, pria itu mendekap tubuh mungil istrinya, menyembunyikan wajah yang memerah itu di dadanya yang bidang.

Banyak orang yang berlalu lalang menatap istrinya, dan itu membuatnya seperti ingin membunuh parah bajingan itu.

"Saya nggak nyangka, semuanya berlalu begitu cepat." bisik pria itu tenang.

"Sama kok, tapi semua belum selesai."

"Ya, saya tau, kita tunggu umur dia 17 tahun, dan kita akan membalas semua."

"Tentu saja."

"Mah, Pah." panggil putra mereka seraya mendekat, sedangkan sang adik sedang pergi membeli es krim bersama penjaganya.

"Kenapa boy?" tanya pria itu tanpa melepas pelukannya terhadap sang istri.

"Kapan ke sana, aku udah bosen di sini." keluhnya manja.

"Udah umur 10 tahun, masih aja manja." gumam wanita itu yang hanya di dengan oleh suaminya.

Sedangkan pria tersebut terkekeh mendengar istrinya menggumam seperti itu, karena dia yakin, wanita ini pasti sedang gemas dengan tingkah putra mereka.

"Sebentar lagi yah sayang, kalo kamu udah masuk SMA, kita ke sana." ujar pria itu.

"Janji?"

"Emangnya Papa pernah ingkar janji?" tanya pria itu kembali.

"Ya." dingin anaknya.

"Lho, kapan?"

"Katanya nggak akan buat Mama hamil. Tuh perut Mama sebesar semangka." sinisnya. Anak itu menatap tak suka pada perut sang ibu yang membesar.

"Itu di luar kendali sayang." kata wanita itu lembut seraya melepas pelukannya.

Wanita itu takut, takut jika putranya tak menyukai anak yang dia kandung.

"Tetep aja aku gak mau Mah!" bantah anak itu.

"Udah sih, terima aja." balas gadis kecil dengan es krim yang dia jilat karena es itu sudah mulai meleleh.

"Emangnya kamu terima?"

"Ya, sedikit, dan aku berharap dia laki-laki." kata gadis itu duduk di atas rerumputan yang hijau, di susul oleh kakaknya.

"Why?"

"Agar kalian bisa menjagaku."

"Tapi aku taku, takut jika kalian lebih menyayanginya, dan melupakan ku." kata bocah laki-laki itu menunduk.

"Itu tidak akan terjadi sayang." kata wanita itu dan ikut duduk, cukup susah, karena perutnya sudah besar.

"Iya, kami menyayangi kalian sama rat.a" sambung sang Ayah.

"Janji?" tanya gadis itu menyodorkan jari kelingkingnya yang kecil, diikuti oleh saudaranya.

"Janji!" balas orang tua itu kompak. Dan membalas jari kelingking anak-anaknya.

"Mama." panggil gadis itu.

"Kenapa sayang?"

"Kapan kita balas dendam? Adek capek liat tua bangka itu bersenang-senang." kata gadis itu lirih.

"Iya, kasian adek Mama, tersiksa dengan tua bangka itu." sambung sang putra.

"Kita tunggu sebentar lagi yah sayang." kata pria itu lembut.

"Adek nggak sabar mau darah!" pekiki gadis kecil itu senang, membuat wanita itu tersenyum lirih, dia sedih karena anaknya tumbuh menjadi psikopat, tapi dia juga tidak bisa melawan takdir.

Sedangkan sang suami tersenyum senang, bibitnya memang tidak bisa di ragukan.

"Tuh ada anjing, main yuk." ajak bocah laki-laki itu senang yang di balas anggukan semangat oleh sang adik.

"Kalian bawa senjata?" tanya sang Ibu sedikit kaget.

"Tentu saja." kedua ank itu kompak mengeluarkan belati kecil dari saku mereka.

"Hati-hati, jangan sampai ada orang lain yang melihatmu!" tegas pria itu dengan wajah garangnya.

"SIAP DADDY ANJING!!!" kompak kedua anak itu, kemudian berlari menghindar amukan sang Daddy.

"Princes Elbarath Albiyya Aydin! Princess Aishilah Albiyyanza Aydin!"

---

KHANZA -END-Where stories live. Discover now