AXIS 39

1.5K 175 10
                                    

"Dok! Sudah visit pasiennya dokter van der Berg?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dok! Sudah visit pasiennya dokter van der Berg?"

"Yang mana, Lily?"

"Kamar 305."

Jingga meneliti lagi tabletnya. "Belum. Terlewat. Kita ke sana saja sekarang."

Jingga dan Lily menyusuri lorong ruang perawatan, sambil mendiskusikan hasil rekam medik kliennya. "Jangan lupa ingatkan Nyonya Septha untuk konsul meski sudah lama pulang dari rumah sakit. Minggu kemarin beliau gak datang."

"Baik, Dok. Nanti gue eh, saya ingatkan beliau."

"Kalau gak bisa datang, zoom meeting juga gak masalah. Tinggal kasih jadwal kosongku aja."

"Baik, Dok."

"Kalau pasien kamar—"

"Siang, Dok! Habis visit?" Lily menyapa Kalani dan Raiden yang berdiri di depan kamar 305.

"Siang. Visit bareng lagi sama Dokter Natalegawa," sahut Raiden. "Padahal baru tadi pagi ya, Dok."

Kalani melirik tajam Raiden. Suasana hatinya sedang tidak baik, setelah tadi pagi Jingga pergi ke rumah sakit tanpa pamit. Kalani berusaha menghubungi wanita bermanik cokelat muda itu, tetapi tidak mendapat jawaban. Sampai di rumah sakit, ruang praktek Jingga kosong karena empunya sedang visit.

Setelah waktu salat zuhur, sosok Jingga tidak ada di kafe rumah sakit. Saat melihat jadwal visit siang Jingga, ia memutuskan untuk memundurkan jadwal operasi demi bisa bertemu dengannya. Siapa sangka, bukan hanya Kalani saja yang senang bisa bertemu wanita itu.

Jingga berjalan mendekati Kalani dan Raiden. Jantung Kalani mulai berdetak tidak karuan—untuk hal yang tidak ia pahami—karena Jingga mendekatinya. Namun, psikolog itu justru melewatinya dan mendekati Raiden. Mereka masuk bersama ke ruang perawatan, diikuti Lily dan salah satu koas.

Visit berlangsung cukup lama, karena terjadi diskusi cukup alot antara Kalani, Raiden, dan Jingga dengan keluarga pasien. Dimulai dari perawatan, konsultasi psikologi pasca operasi, hingga rencana operasi selanjutnya.

Kalani menjawab singkat, jelas, dan tegas. Perilakunya di luar rumah memang belum berubah. Masih Kalani yang irit bicara dan terkesan arogan. Bahkan lebih sering mencuci tangan dan berganti handscoon.

Di sisi lain, Raiden dengan nada lembut dan menenangkan mampu membuat keluarga pasien lebih nyaman. Meskipun, beberapa pilihan perawatan sempat ditolak pihak keluarga. Belum lagi, rencana operasi yang membuat Jingga harus menengahi koleganya.

Jingga sendiri sudah tidak sekaku pada awal ia melakukan konseling tatap muka. Bahkan, rencana operasi lanjutan bisa diterima keluarga pasien karena penjelasan Jingga. Kalani sempat tidak berpijak pada dunianya saat melihat senyuman yang menghiasi wajah psikolog medis itu.

Jika koasnya tidak menegur, mungkin Kalani tetap bergeming seperti orang bodoh menatap Jingga. Dulu ia pernah seperti ini pada seorang gadis, tetapi tidak berlangsung lama. Karena beberapa hari kemudian, ia melihat gadis itu dalam kondisi yang tidak pernah dirinya duga. Dengan mata kepalanya sendiri.

Displacement [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang