AXIS 25

1.5K 176 10
                                    

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.


"Tolong bawa ke ruangan dokter van der Berg. Jangan sampai orang lain yang memberikannya."

"Mengapa bukan Anda—"

"Saya ada jadwal operasi. Lagipula ini data pasien Anda juga. Tolong ya, Dok. Terima kasih."

Dan di sinilah ia berada. Di depan pintu ruangan Kalani. Setelah menimbang beberapa kali, Jingga memberanikan diri untuk masuk ke dalam.

Pintu utama ruangan Kalani terbuka dan tampaklah Mentari berdiri di dekat Kalani. Wanita itu tampak asyik bercerita, sementara Kalani hanya menampakkan seulas senyuman. Ekspresi yang tidak pernah ditampilkan olehnya.

"Maaf."

Kalani menoleh dan seketika itu rahangnya mengetat. Dengan susah payah ia mengatur napas, sebelum berdeham.

"Saya mau memberikan laporan ini." Jingga meletakkan map tebal bersampul di atas meja kerja Kalani. Tangannya bergetar untuk hal yang tidak bisa dipahami Jingga. "Saya ada jadwal konsultasi lagi. Permisi."

Kalani bergeming. Lidahnya kelu. Ia ingin mencegah kepergian Jingga, tetapi tidak tau harus mengatakan apa pada wanita itu.

Mentari memerhatikan ekspresi Kalani, lalu tersenyum kecut. "I gotta go. Nanti kita ngobrol lagi, Key."

Mentari meninggalkan ruangan Kalani dengan menatap sinis pada Jingga. Sementara, orang yang ditatap tidak memerhatikannya. Ia sibuk memikirkan cara memulai pembicaraan dengan Kalani. Keheningan yang tercipta diantara mereka selama hampir tiga minggu, cukup membuat keduanya canggung satu sama lain.

Tanpa peringatan, Jingga sudah menghirup aroma parfum Kalani. Ia takut untuk membalikkan badan karena yakin, jarak mereka hanya beberapa senti saja. Keberaniannya menghadapi Kalani selama ini, seakan menguap entah kemana.

"Maaf."

Jingga tertegun, lalu membalikkan badannya. Kegugupan tampak pada lawan bicaranya.

"Aku tidak bermaksud, membuatmu ... salah paham," Kalani menjeda, "tempo lalu."

"Oh. It's okay." Jingga mencoba mengatur napasnya. "Tidak mudah bagi Anda untuk mengutarakan apa yang Anda pikirkan pada orang lain."

"Bukan berarti menghindar. Juga."

"Tenang saja." Seulas senyum tercetak di wajah Jingga. "Kita memang belum terlalu lama dekat. Tidak seperti Anda dan dokter Visser yang bisa saling mengutarakan—"

"Aku jarang bicara. Seperlunya. Dia yang ... kamu tau ...."

"Ah, begitu rupanya." Entah mengapa Jingga merasakan kelegaan di sana. "Saya minta maaf kalau, perkataan saya menyinggung Anda. Dulu."

"Menohok. Menyadarkanku. Sepenuhnya." Kalani memasukan kedua tangannya jas putih panjangnya. "Laporan tadi. Dari dokter Mulya?"

Jingga mengangguk.

Displacement [END]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu