AXIS 30

1.6K 169 11
                                    


Kalani mematung di depan cermin kamarnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kalani mematung di depan cermin kamarnya. Tangan kiri mengancingkan kemeja berwarna hijau tua. Kemudian, mengambil jas berwarna senada dengan celana panjangnya. Hitam.

Ia menutup pintu kamar dan berjalan menuju kamar Jingga. Kalani mengetuk pintunya sekali. Dua kali. Hingga ia memutuskan untuk membukanya. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana.

Kalani menertawakan dirinya sendiri. Pria itu bisa lupa kalau Jingga sudah berangkat ke Seoul tadi malam. Padahal ia sendiri yang mengantarkannya setelah pulang operasi. Meskipun suasana di antara mereka sedikit canggung, karena hardikkan Kalani malam sebelumnya.

Kamar Jingga sudah berubah sejak dua bulan setengah pindah kemari. Kondisinya memang tidak serapi kamar Kalani, tetapi lebih baik daripada kondisi apartemen Jingga dulu. Kalani terdiam cukup lama di dekat pintu masuk, sebelum beranjak pergi ke rumah sakit.

Perjalanan menuju rumah sakit dirasa dua kali lebih jauh dari biasa. Kalau karena ketiadaan Jingga, salah besar menurutnya. Meskipun selama ini mereka pergi bersama, tidak banyak yang mereka obrolkan. Keheningan justru lebih mendominasi.

Kalani melirik kursi penumpang yang kosong. Ia ingat percakapannya dengan Jingga saat mengantarkan ke bandara yang berujung pada kemarahan psikolog medis itu. Kalani tidak berkutik menghadapinya.

Awalnya mereka membahas rencana yang akan dilakukan Jingga saat di Seoul. Entah bagaimana, tiba-tiba wanita itu lebih banyak terdiam. Mungkin karena Kalani mengatakan kalau dia meragukan kemampuan Jingga, atau mengiranya akan menyukai Kang Daeho. Entahlah.

Yang pasti, nada suara Jingga mendadak meninggi. Kalimat yang dikeluarkannya tajam, seolah membuka luka yang telah lama dikubur. Berbeda dengan perbincangan mereka saat hendak menemui enin di Bandung. Kali ini Kalani sepertinya mulai melanggar garis batas yang dibangun Jingga.

Kalani mencoba mengingat kembali, pernyataan mana yang menjadi pencetus kemarahan Jingga. Sebisa mungkin, ia tidak akan menyinggung kembali. Masalahnya, dirinya tidak tau kalimat yang mana.

Baru saja ia melangkah keluar lift yang khusus dipergunakan olehnya, panggilan darurat dari IGD sampai pada gawainya. Segera ia membalikkan badan dan mempercepat langkah.

"Dok!"

Tanpa menyahut, Kalani mengambil tablet dari tangan dokter magang tahun ketiga. Ia menelusuri hasil pemeriksaan awal. Belum ia mengucapkan sepatah kata, pasien dihadapannya menjerit histeris.

Hanya dengan anggukan Kalani, Raiden yang sedari tadi mendampingi dokter magang tahun ketiga itu, meminta perawat untuk memberi obat penenang. Namun, pasien itu makin histeris. Dua perawat laki-laki mencoba menahan amukkan pasien. Bahkan, Raiden mengambil alih tugas perawat untuk menyuntikkan obat.

"Kirim hasil pemeriksaan." Kalani memberikan tablet pada perawat yang ada di dekatnya.

"Apa perlu meminta konsul dengan dokter Natalegawa? Mengingat kondisi—"

Displacement [END]Where stories live. Discover now