AXIS 28

1.4K 179 18
                                    


Sudah dua minggu berlalu sejak pertemuan Jingga dengan ibunya Kalani

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

Sudah dua minggu berlalu sejak pertemuan Jingga dengan ibunya Kalani. Namun, masih saja belum ada kemajuan berarti pada pria itu. Sikapnya masih sama seperti saat mereka pergi berbelanja ke supermarket tempo lalu.

Hingga pada suatu hari—sekitar hampir dua bulan sejak dokter Park meminta bantuan Jingga—Kalani memiliki sebuah permintaan pada Jingga. Sesuatu yang tidak terduga. Ia memprediksi permintaan Kalani akan terjadi setidaknya setelah 3-4 bulan mereka bersama. Ternyata tidak.

Peluh tampak mengaliri wajah Kalani, setelah Jingga meloloskan permintaannya. Jantungnya makin berdegup abnormal disertai badan yang gemetaran.

Jingga menghentikan kegiatan yang sedang dilakukannya bersama Kalani sejenak. "Kamu yakin?"

Kalani menggeleng. "Teruskan ...."

"Kita bisa coba lain kali. Kalau kamu udah siap."

"Aku udah memikirkannya. Hampir dua minggu, dan—"

"Oke. Kita lanjutkan," potong Jingga.

Perlahan, Kalani melepaskan benda yang selama ini membungkus bagian tubuhnya. Beberapa kali tampak ia mencoba menormalkan kecemasannya dengan menghela napas panjang. Sungguh, ia tidak akan melupakan malam yang begitu menegangkan ini. Seumur hidupnya.

"Sedikit lagi, Kalani." Jingga berusaha tampak tenang, meskipun sebenarnya cemas. Ia khawatir, tindakan mereka ini terlalu terburu-buru. Bisa saja gagal, lalu mengacaukan kenyaman yang sudah terjalin di antara mereka. Meskipun masih rasa canggung itu masih ada.

Tak disangka, kegiatan yang dilakukan tidak sesulit bayangan mereka sebelumnya. Untuk kali pertama, Kalani dan Jingga bersentuhan tanpa benda penghalang apapun.

"Kalani!"

Kalani terkejut dan segera menjaga jarak dengannya. Matanya menyiratkan kekhawatiran sekaligus pertanyaan yang menuntut jawaban Jingga.

Berbanding terbalik dengan reaksi Kalani, gelak tawa Jingga memenuhi griya tawang. "Maaf. Maaf."

"Psikolog gak boleh menertawakan klien."

"Maaf. Habisnya ... seperti bukan Kalani."

Kalani mendengkus. Perkataan Jingga ada benarnya.

"Mau coba lagi? Tapi jangan tegang. Rileks aja," usul Jingga.

Kalani menyetujuinya. Meski hanya beberapa detik, tetapi sentuhan pertamanya pada Jingga bisa dikatakan berhasil. Suatu hal yang mustahil bisa dengan mudah dilakukan bagi Kalani.

"Hebat!" puji Jingga. "Bagaimana bisa?"

"Kamu jangan ketawa mendengarnya."

Jingga mengangguk.

"Aku berkonsultasi. Dengan psikiater."

Jingga pura-pura terkejut. "Kenapa gak bilang sama aku?"

"Sebenarnya bisa saja denganmu. Tapi, menurut beliau, ada kode etik—"

Displacement [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن