AXIS 16

1.6K 155 12
                                    

"Jingga, mashaAllah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jingga, mashaAllah ... kamana wae, kemana aja, geulis?" Enin memeluk Jingga erat. "Enin téh sono, kangen. Sono teu ka enin?"

Jingga mengangguk sambil tersenyum terpaksa. "Kangen, Nin."

"Kamu mah mun teu dijodokeun moal ka enin jigana. Enggak akan. Betah aja kerja di Jakarta. Hilap, lupa ka enin. Ngejawab telpon ge moal jigana," cerocos Enin sembari melepaskan pelukannya pada Jingga. "Teu kenging hilap ka kolot. Pamali. Bisi disebatkeun durhaka. Teu barokah gawena.¹

"Jingga téh geulis, cantik. Loba nu bogoh, banyak yang suka. Rerencangan enin nu baroga incu hoyong gaduh incu minantu jiga—

"Enin, ini Kalani. Pa ... calon suami, Jingga." Jingga memberi kode pada Kalani untuk memperkenalkan diri pada eninnya.

"Saya Kalani."

Enin tampak menelusuri sosok Kalani dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Rekan kerja di rumah sakit, Enin. Beliau—"

"Dokter sekaligus pemilik Oriona International Hospital," potong Kalani, seraya menampakkan senyum sekilas.

"Kela, kela ... asa pernah ngadanggu. Lainna nu bogana orang Walanda? Naon nami keluargana téh, Is?"³

"Van der Berg, Mak." Tante Jingga yang bernama Euis muncul dari arah ruang makan sambil membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat. "Ramana nu Walanda. Adina nu boga hotel tea geuning."⁴

"Oh, nu eta. Hampura nyak, maap. Enin teh tos kolot. Sudah tua. Banyak lupa. Padahal beritana mah sok aya na tipi. Mun boga incu minantu nu kieu mah, meuni resép. Seneng." Di luar dugaan, Enin memeluk Kalani sebentar, lalu melepaskannya. "Tiasa nyarios basa Walanda?"

Kalani bergeming ibarat tersengat listrik. Ia tidak menduga akan terjadi hal seperti ini. Sementara Jingga, menatapnya cemas.

"Mak, belum tentu ayahnya orang Belanda, anaknya bisa bahasa Belanda." Euis menarik pelan lengan ibunya, menggiringnya untuk duduk di sofa. "Jingga, Kalani, ayo duduk."

Jingga berjalan mendahului Kalani. Secepat kilat, ia membentangkan sapu tangan berwarna putih di sofa yang akan diduduki Kalani. "Maaf, Enin, Bi Euis. Dalam perjalanan tadi, celana Kalani sempat kotor. Gak sempet ganti. Takut sofanya ikut kotor, jadi—"

"Teu sawios. Enggak apa-apa," sahut Euis sambil tersenyum. "Kita seneng kok kalian bisa meluangkan waktu ke sini. Apalagi jadwal dokter cukup padat ya, Kalani."

Kalani mengangguk dengan senyuman yang dipaksakan. Jika saja bukan karena menyelamatkan reputasi, ia tidak mau melakukan hal ini. Bahkan, Kalani sampai mengalihkan jadwal tiga operasi besarnya hari ini. Suatu hal yang langka.

"Dokter spesialis apa, Kalani?" Euis mengambil secangkir teh, lalu disodorkan pada ibunya.

"Syaraf."

"Naon gawena eta, Is?" tanya Enin setelah menyeruput tehnya.

Displacement [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang