AXIS 18

1.5K 171 13
                                    


Jingga tercenung di hadapan sebuah cermin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jingga tercenung di hadapan sebuah cermin. Raganya dibalut sebuah kebaya sederhana berwarna broken white yang membuat wanita itu tampak elegan. Sapuan makeup mampu memperlihatkan kecantikan lain dari dirinya. Manglingi. Begitu orang Jawa bilang.

Wanita itu mengingat beberapa kejadian yang terjadi sebelum pernikahan dilaksanakan. Dimulai dari Kalani yang mengenalkan Jingga dengan seluruh keluarga besar Kalani (mom, dad, Byan, Agnes, Tante Cornelia, Om Dirk, dan para sepupu), wawancara resmi dengan awak media, hingga persiapan hari H yang terkesan mewah. Bahkan, nyaris seperti pernikahan impian yang diinginkan Jingga.

Entah berapa biaya yang dikeluarkan Kalani hanya untuk menjalankan pernikahan yang sudah diprediksi akan berakhir enam bulan lagi. Bagi Jingga, hal ini hanyalah sia-sia belaka. Seperti membakar uang begitu saja. Namun Kalani, menulikan telinga.

Akan tetapi, itu belum seberapa dibandingkan perdebatan alot yang terjadi antara Jingga dan eninnya. Untuk ke sekian kali. Apalagi kalau bukan mengenai prosesi adat Sunda yang ditolak mentah-mentah oleh Jingga, setelah sebelumnya menyepakati pernikahan diadakan di Jakarta.

Saat itu, Kalani tidak bisa menemani Jingga pulang ke Bandung karena operasi mendadak. Meski sempat ragu, toh wanita itu tetap pergi ke kota kelahirannya. Seperti yang diduga, ia merasa sendirian di tengah perdebatan itu. Untunglah kakak mendiang ayahnya—uwa Denny—menengahi.

Alasan Jingga tidak meloloskan permintaan enin itu, karena ia ingin pernikahannya diadakan sederhana saja. Apalagi, prosesi adat menambah biaya pengeluaran pernikahan. Jingga juga menolak melakukan rangkaian prosesi saweran setelah akad nikah dilaksanakan. Ia khawatir tidak bisa mengejar jadwal pesawat yang akan mereka tumpangi. Padahal, itu hanya dalih.

Akhirnya, pernikahan diadakan sesuai dengan keinginan Jingga. Tanpa prosesi adat Sunda sedikit pun. Itu berarti, keluarga besar mendiang ayahnya tidak bisa banyak ikut campur dalam menyiapkan pernikahan itu.

"It's show time," ujar Agnes yang muncul dari balik pintu, menyadarkan Jingga dari lamunannya. "Lu cantik banget. Kakak ipar gue pasti terpesona."

Jingga memutarkan kedua bola matanya. Detik berikutnya, kilatan lampu blitz menghujani ia saat memasuki ballroom tempat akad selesai dilaksanakan. Di sana—di depan kakak almarhum ayahnya—Kalani duduk menatap dirinya. Menatap dirinya.

Jingga mengira tatapan Kalani hanya sekilas, tetapi ternyata tidak. Pria itu memerhatikan dia dengan seksama. Untuk kali pertama. Wanita itu mengernyit. Berjuta pertanyaan berseliweran di kepala. Jika saja Agnes tidak menyenggol tangannya, mungkin Jingga masih tenggelam dalam pemikirannya.

Setelah penandatanganan surat nikah selesai, tiba waktunya bagi Kalani untuk menyematkan cincin di jari manis Jingga. Tak main-main, Kalani menyematkan cincin berlian berkilauan. Benda itu berkilauan tertimpa cahaya lampu di jari Jingga yang lentik. Dari sudut matanya sekilas, dia melihat sang abah mengusap cairan bening yang mengaliri pipi.

Displacement [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang