Anamnesa

7.6K 391 12
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Pernikahan.

Sebuah kata yang tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak pria yang sedang duduk beralaskan sapu tangan berwarna putih bersih. Badannya tegak tanpa bersandar sementara kedua tangan bersedekap menyembunyikan sarung tangan yang ia kenakan. Beberapa orang menatap aneh padanya, tetapi ia tidak acuh.

"Sendirian aja, Bro?" sapa seorang pria yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.

"Don't 'bro' me," sahutnya dingin.

"Orang-orang ngeliatin dari tadi. Gak gabung sama keluarga lu?" tanya lawan bicaranya lagi. "Jangan sampai mereka nyangka lu gak bahagia dengan pernikahan adik sendiri."

Pria itu mendengkus. "Saya bahagia."

"Orang lain 'kan belum tentu seperti itu."

Pria itu menggeleng. "Dion Poernomo cerewet."

Dion tertawa lalu berkata, "Lu kemana aja? Reuni SMA sama kuliah gak pernah dateng, gimana mau tau perubahan sikap gue?"

Pria itu bungkam. Pikirannya berkelana ke masa sekolah dahulu, di mana berkumpul bersama teman-teman tidak pernah ada di kamusnya. Jadi, untuk apa datang ke acara reuni?

Jika bukan karena mengenal Dion sejak duduk di bangku menengah atas, mungkin hingga detik ini pria itu tidak dikenal oleh siapapun selain keluarganya.

"Mentari nanyain lu. Dia udah jadi dokter spesialis jantung di Singapur sekarang." Dion melirik pria itu. "Woi! Dengerin gue gak? Mentari nanyain lu."

Pria itu menoleh, lalu menautkan sedikit alisnya.

"Ya Allah! Lu lupa sama cewek populer di kampus kita dulu? Satu fakultas sama lu, tapi orang satu universitas kenal sama dia. Masa gak pernah denger namanya?"

Pria itu menggeleng.

"Bahkan rak-rak buku membisikkan namanya, Bro!"

"Tidak tau." Hanya kenal.

"Parah lu! Intinya dia nanyain kabar, kerjaan bahkan nomor telepon lu."

Pria itu memalingkan wajahnya. Kedua lengannya disilangkan di dada.

"Lu gak tau rumor kalo Mentari dulu ada hati sama lu? Kebanyakan deket sama buku sih!" Lawan bicaranya mengeluarkan ponsel miliknya. "Eh, ini gue kirim nomor kontaknya. Siapa tau, tiba-tiba dia ngehubungi lu."

"Terserah." Pria itu memandang keramaian di sebuah meja bundar. Ia mengenal dua orang yang sedang bercengkrama bersenda gurau dengan para tamu. Siapa lagi kalau bukan sang adik dan wanita yang baru dinikahinya.

"Gue gak nyangka mereka nikah," celetuk Dion yang ikut menoleh ke arah pandang lawan bicaranya. "Dia itu bukan tipe wanita yang akan adik lu kejar. Tapi, kalau jodoh ... gak bakal kemana sih."

Pria itu mendengkus. "Dia salah mengira saya."

Dion terbahak. "Adik lu emang unik! Lagian kenapa kalian bisa punya banyak nama, eh? Adik lu gak pernah cerita sama gue."

"Tanya sendiri. Assalaamualaikum."

"Mau kemana? Acara belom kelar."

Pria itu bangkit tanpa menjawab pertanyaan Dion.

Dari kejauhan sang adik memanggilnya dengan isyarat tangan, tetapi yang dipanggil hanya tersenyum samar dan melangkah meninggalkan ruangan.

Berada di antara kumpulan orang membuatnya sulit menjaga apa yang sudah menjadi kebiasaannya selama ini. Beruntung, keluarga mau memahami dan mengerti. Tambah lagi, pria ini tidak bisa menerima kata 'tidak'.

Saat di lobi, tanpa sengaja ia menabrak seorang wanita yang sedang terburu-buru menuju ruangan tempat resepsi pernikahan. Penampilan sang wanita sangat mencolok, berbanding terbalik dengan dirinya yang begitu rapi tanpa cela.

"Eh, punya mata gak sih!"

Tanpa menoleh, pria itu membuka jas hitamnya, melemparkan ke wajah wanita yang menegur dan berlalu tanpa sepatah kata pun.

"Apa-apaan ini? Saya tidak butuh jas Anda!"

Wanita itu mengejar sembari memanggil sang pria berulang kali. Namun, percuma. Pria itu telah menghilang bersamaan dengan berlalunya sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam mengkilap. Nyaris saja wanita itu menabrak seorang pria lain yang baru keluar dari taksi.

Kalau saja hari ini tidak diawali dengan permasalahan dengan keluarganya, mungkin wanita itu sudah mengejar pria tadi dengan menggunakan taksi. Ia ingin dihargai oleh lawan jenisnya.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Displacement [END]Where stories live. Discover now