Memori

2.6K 222 1
                                    

Di sudut ruangan, yaitu sudut kamar Zevana. Sang pemilik kamar terduduk di sudut ruangan dengan memeluk kedua lututnya. Tubuhnya bergetar, dan dirinya terus saja menangis.

"Kenapa Tuhan? Kenapa mereka selalu seperti itu pada Ze ...." Zevana berucap lirih sambil menatap kosong lantai.

"Ze pengeeen banget ngerasain kasih sayang mereka. Sedikit saja, tidak bisakah?"

"Bertahun-tahun tidak pernah berubah. Bahkan Ze kembali ke masa lalu tetap saja seperti itu. Ze tidak tau salah Ze dimana ...." Zevana kemudian menenggelamkan kepalanya. Dia mengingat kejadian lalu yang sangat menyakitkan.

"Daddy Daddy! Lihat, Ze dapet nilai sembilan puluh. Kata bu guru Ze pinter. Lihat ini Daddy!" kata seorang gadis kecil kepada ayahnya. Dengan semangat menunjukkan kertas hasil ujian.

"Pergilah! Kau menggangguku," ucap pria dewasa itu sambil mendorong anaknya.

"Lihat dulu Daddy! Ze udah berusaha buat dapetin nilai ini ... ," ucap anak itu lirih. Sementara ayahnya, tidak sedikitpun menoleh padanya, dan malah tetap melihat ke benda pipih yang ada di tangannya.

"PERGILAH! Kau tidak punya telinga?" bentak pria dewasa itu.

Gadis kecil itu pun hanya bisa pergi sambil menangis. Kertas hasil ujian tadi masih di pengangnya dengan erat.

"Zevana gak papa, mungkin Daddy lagi sibuk. Lain kali pasti Daddy mau lihat hasil ujian Ze," ucap gadis kecil itu meyakinkan dirinya.

Mengingat memori masa kecilnya, Zevana hanya bisa menangis. Memegang dadanya yang nyeri.

Zevana tertawa kecil. "Sampai kapanpun, bahkan sampai Ze mati mungkin? Daddy tidak akan pernah peduli pada Ze. Itu hanyalah hayalan yang tidak akan pernah terwujud." Zevana menertawakan nasibnya yang sungguh miris.

Siapa yang tidak merasa sakit jika seluruh keluarga yang kau sayangi malah menjahuimu, mengabaikanmu, dan membencimu. Tapi, Zevana gadis kuat ini masih tetap menyayangi dengan tulus orang-orang yang menyakitinya. Tidak pernah terbersit rasa benci sedikitpun di hatinya, rasa sayang itu malah semakin hari semakin bertambah.

"Ze sayang kalian, sangat. Semoga sebelum Ze meninggalkan dunia ini ... " Zevana menjeda kalimatnya. "Ze bisa merasakan pelukan hangat kalian, walau hanya sekali," lanjutnya.

Zevana kembali mengingat memori-memori masa kecilnya yang tidak ada manis-manisnya sama sekali.

"Abang Abang. Lihat ini gambar Ze bagus gak? Disini Ze gambarin kita semua." Seorang gadis kecil menunjukkan gambarnya kepada abangnya.

"Jangan ganggu! Saya sedang banyak tugas," ucap laki-laki yang lebih tua dari gadis kecil tadi.

Gadis kecil itu murung, lalu dia melihat kakaknya baru pulang sekolah, dia langsung menghampirinya. "Kakak Kakak, lihat gambar Ze bagus gak?" ucapnya.

Gadis yang lebih tua dari gadis itu hanya melirik sebentar. "Bagus," ucapnya singkat.

Karena komentar itu, gadis kecil itu pun tersenyum lebar. Setidaknya ada yang mengomentari karyanya walau singkat.

"Kau jangan ganggu mereka! Mending kau pergi ke kamarmu!" tiba-tiba wanita paruh baya datang dan merobek hasil gambar gadis kecil itu jadi dua.

Senyuman yang mengembang tadi hilang seketika. "Kenapa Mommy koyak! Ze buatnya dengan sepenuh hati ...." Gadis kecil itu menangis sembari mengutip gambar yang terobek tadi.

"Masuk ke kamar!" teriaknya. Dengan lesu, gadis kecil itu ke kamarnya dengan air mata yang sudah mengalir.

"Huffft,"

Zevana menghela nafas, lalu melihat ke arah dinding kamarnya. Gambar yang dulu pernah dibuatnya dan di robek ibunya masih ada sampai sekarang.

"Lihatlah Mom, gambar itu masih ada di dinding kamarku. Betapa sayangnya aku pada kalian," ucapnya lirih.

"Semoga suatu saat kau bisa melihatnya. Melihat betapa sayangnya Ze pada kalian," lanjut Zevana lagi.
.
.
.

Sedangkan di tempat lain.

Sudah sejam Faris di tangani di ruang operasi . Akhirnya dokter yang menangani Faris pun keluar. Dia langsung di hujani berbagai pertanyaan dari keluarga Hernandez.

"Tenang, dokter Faris sudah tidak apa-apa. Sekarang dia sudah sadar. Sedaritadipun sebenarnya agak sedikit sadar, dan menolak untuk dibius," jelas dokter itu.

"Pindahkan dia ke ruang VVIP," perintah Damarion.

Dokter dan suster pun cekatan untuk melaksanakannya. Tak lama Faris pun sudah pindah ke ruang VVIP. Seluruh keluarga Hernandez masuk ke dalam. Dokter dan suster pun sudah keluar.

"Kamu sudah tidak apa-apa sayang?" Tanya Safira pada Faris dengan wajah khawatir.

"I am okey Mom," ucap Faris pelan yang masih terdengar oleh semua orang.

"Kamu kok bisa gini sih Dek? Padahal tadi kamu nelfon Kakak bilangnya mau pulang karena gak ada jadwal lagi." Al Queenzee bertanya dengan nada khawatir. Kalau sudah begini, hilang sudah sikap dingin Al Queezee digantikan sikap lembut.

"Di tengah jalan pulang, ada pembunuh bayaran nyerang aku. Mungkin itu suruhan musuhnya Daddy. Aku sempat tertusuk pisau, tapi aku selamat," jelas Faris.

"Karena aku kehilangan banyak darah. Aku tidak kuat lagi, dan berhenti di di dekat taman komplek," lanjut Faris lagi.

"Lalu kenapa anak itu bisa bersamamu?" tanya Damarion datar, tapi dimatanya jelas terlihat kekhawatiran.

"Oh iya, Vana? Mana Vana! Ta-tadi dia yang menyelamatkanku." Faris baru teringat kalau tadi dia diselamatkan oleh Zevana.

"Kamu di selamatkan Vana?" tanya Safira.

"Iya, aku diselamatkan Vana. Aku tahu karena aku masih sedikit sadar. Dia dengan cepat memindahkanku ke kursi penumpang dan mengendarai mobilku dengan kecepatan di atas rata-rata. Untung ada Vana, kalau tidak mungkin aku tidak selamat." Faris menjelaskannya dengan panjang lebar.

"Aku mengurungnya di kamarnya. Mommy menuduhnya kalau dia yang melukaimu," ucap Alfeno datar.

"APA!"

"Mommy sangat marah saat itu. Untungnya Feno segera menariknya pergi. Jika tidak, mungkin Mommy sudah menyakitinya," ucap Safira pelan dan merasa bersalah.

Semua orang menghela nafas lelah. Mereka bahkan bingung dengan perasaan sendiri. Kenapa mereka sering sekali menyakiti gadis kecil itu tanpa sadar.

"Fen, pulanglah! Vana pasti belum makan. Nanti dia sakit," perintah Faris pada adiknya Alfeno.

Alfeno mengangguk saja dan langsung pergi dari ruang rawat Faris.

Setelah kepergian Alfeno, semuanya termenung. Mereka mengingat perlakuan buruk mereka pada Zevana. Dia yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari mereka sedikitpun.

"Dia sudah berubah," ucap Zara secara tiba-tiba.

"Aku merasakan perubahan dalam dirinya, dia sudah berbeda," ucap Zara lagi.

"Kau benar, dia sudah sangat berubah. Tidak ada lagi Vana yang menyebalkan dan manja. Tapi dia masih saja lemah!" ucap Alano.

Mereka semua pun merasakan perubahan Zevana. Tidak ada lagi sapaan selamat lagi, selamat siang, selamat petang, selamat malam, dan selamat lainnya. Tidak ada lagi yang menyambut mereka ketika pulang di depan pintu dengan senyum cerah. Tidak ada lagi yang bercerita panjang lebar tentang kesehariannya. Semua perlakuan manis yang menurut mereka menyebalkan itu tidak ada lagi.

Entah kenapa mereka merindukan semua kelakuan Zevana yang dulunya sangat tidak mereka sukai. Mereka merasa sangat kurang.

Tapi Zevana juga semakin menggemaskan dan lucu. Walaupun tingkah manis itu tidak lagi di lakukan Zevana di depan mereka. Tapi di hadapan para pekerja rumah.

Seluruh anggota keluarga Fernandez merasa iri. Iya entah kenapa mereka merasa iri.

Bersambung......

This About Zevana | EndWhere stories live. Discover now