Mengetes.

2.1K 182 0
                                    

Setelah Al Queenzee meninggalkan ruang keluarga, keadaan hening sesaaat. Aura Al Queenzee sangat menyeramkan, entah apa yang membuatnya seperti itu.

"Oh ayolah Rion. Biarkan Vana tinggal bersamaku ya?" Keadaan yang hening tadi hilang setelah Rion berucap.

Damarion menatap sahabatnya tajam. Kepalanya menggeleng tanda tidak setuju. Tidak! Dia tidak akan pernah setuju dengan permintaan Heru.

"Beri kami satu alasan. Kenapa Vana tidak boleh tinggal bersama kami," ucap Widia juga.

"Karena dia anakku," ucap Damarion dingin.

Heru menaikkan sebelah alisnya. Dia merasa jenaka dengan Damarion. "Hei kawan. Dia hanya tinggal bersamaku, Vana tetap anakmu. Ya, ya, ya? Bolehlah." Heru tetap bersikukuh dengan permintaanya. Keadaan semakin mencekam.

"Sudahlah Om. Mereka akan tetap pada pendirian mereka. Aku heran dengan orang tuaku ini lah." Alfeno tampak berpikir.

"Mereka tidak menyayangi Vana, mungkin juga membencinya?" Alfeno berbicara menatap Damarion sinis. "Tapi mereka juga tidak membiarkan Vana meninggalkan mansion ini? Lalu apa alasan dia tetap tinggal ya om," ucap Alfeno kemudian menatap Heru.

"Hm, entahlah."

Di kamar Zevana.

Ceklek.

Al Queenzee masuk ke dalam kamar adiknya. Dia memandangi adiknya dingin di ambang pintu.

Terlihat Zevana gelisah di tengah tidurnya. Pelipisnya mengeluarkan keringat. Al Queenzee hanya memandangi saja sambil mengernyit heran.

"ABAAANG!"

"hah hah hah." Zevana tiba-tiba terbangun dan langsung terduduk. Dia berteriak dengan nafas tersengal-sengal.

"Mi ... Mimpi apa itu. Ke-kenapa begitu nyata," ucap Zevana dengan raut wajah takut. "A-aku seperti pernah mengalaminya, tapi ... dimana?"

Zevana terus bergumam kepada dirinya sendiri. Tanpa sadar sedari tadi Al Queenzee kakaknya hanya menatapnya dingin.

"Ekhem."

Al Queenzee yang sudah jengah berdehem. Zevana kaget dan menoleh ke arah pintu. Dia melihat kakaknya dengan raut wajah kaget yang sedang menatapnya dingin.

"Kenapa Kak? Mau marahin Ze jugak?"

Al Queenzee semakin memandangnya dingin dan datar. Lalu berjalan mendekati adiknya, dia menggenggam tangan Zevana lalu dibawa keluar kamar.

"S-sakit Kak. Kita mau kemana?"

Zevana merintih kesakitan karena genggaman Al Queenzee yang menggenggam tangannya sangat kuat. Tenaga kakaknya seperti laki-laki.

Sesampainya di ruang keluarga. Al Queenzee melepas genggaman tangannya dari tangan Zevana. Mereka berdiri tepat di hadapan Rion.
"Om Heru!" pekik Zevana girang. Lalu tanpa basa basi dia memeluk Rion erat. Pamannya yang dia rindukan. Rion sudah Zevana anggap sebagai paman.

"Halo sayang." Heru membalas pelukan Zevana.

Zevana melepas pelukannya "Kapan Om pulang? Kok Ze gak tau," ucap Zevana dengan raut wajah yang tiba-tiba cemberut.

"Biar surprise--" Ucapan Heru tertahan karena suara dingin Al Queenzee yang tiba-tiba terdengar.

"Bilang padanya kalau kamu tidak akan ikut tinggal bersama mereka," ucap Al Queenzee dingin.

"Maksudnya?" tanya Zevana heran. Dia belum mengetahui masalah apa yang terjadi.

"Jadi, Om berencana untuk mengajak kamu tinggal bersama Om dan tante Widia. Disana juga ada anak-anak Om kok," jelas Heru. Aura sekitar semakin terasa suram.

"Ze mau. Tapi Bang Alfen ... "

"Abang ngizinin kok sayang. Tinggallah sama Om Heru. Daripada kamu di sini tekanan batin." Alfeno menyindir keluarganya.

"Wah beneran! Kalo gitu Ze ma--"

"GAK BOLEH," teriak seluruh anggota keluarganya serentak, kecuali Alfeno.

"Vana tidak akan kemana-mana," ucap Faris tegas. Dia tidak rela Zevana meninggalkan rumah itu.

"Tapi kenap--" Ucapan Zevana tertahan lagi karena bentakan Faris.

"SAYA BILANG ENGGAK YA ENGGAK. " Zevana terkejut karena bentakan Faris. Sedingin-dinginnya sikap Faris pada Zevana, dia tidak pernah meninggikan suaranya di depan Zevana.

"T-tapi kenapa Abang? Ze cuman mau ... tinggal sama Om Heru." Zevana berucap lirih. Dia sudah mulai nangis sesegukan karena takut pada Faris.

Zara mendekati Zevana. Tatapan Zara melembut. Dia menghapus air mata Zevana. "Kita cuman gak mau kamu pergi," ucap Zara lembut.

Kali ini Zara berusaha mengalahkan egonya. Dia sadar, kalau dia hanya takut kehilangan adiknya. Belum terlambat, semua masih bisa diperbaiki.

"Beri Ze satu alasan. Kenapa Ze gak boleh pergi Kak? Buat apa Ze tinggal bersama orang-orang yang benci Ze. Buat apa?" tanya Zevana dengan tatapan sendu.

Hati Zara teriris mendengarnya. Dia menggelengkan kepalanya. Tidak, adiknya tidak boleh pergi, dia harus tetap tinggal di kediaman Hernandez.

"Kakak gak benci Vana. Kakak sayang Vana."

Zara memeluk Zevana Erat. Zevana mendorong Zara guna melepaskan pelukan.

"Bullshit Kak. Pokoknya Ze mau tinggal sama Om Heru," ucap Zevana lalu memeluk Heru yang ada di dekatnya.

"Good girl."

Heru mengacak-ngacak rambut Zevana karena gemas. Widia mendekat lalu mencubit pipi Zevana karena anak itu sangat menggemaskan.

"Jangan harap!" Alano bangkit lalu dengan cepat mengangkat Zevana ala karung beras. "Vana tidak akan tinggal bersama orang lain," ucao Alano sebelum benar-benar meninggalkan ruang keluarga.

"Abang apa-apaan! Turunin Ze Abang! Turuniin." Zevana memberontak dengan menggerak-gerakkan kakinya. Tapi itu percuma karena tenaga Alano terlalu kuat.

Alano membawa Zevana ke kamarnya sendiri, setelah pintu terbuka, wangi khas Alano langsung tercium indra penciuman. Kamarnya dengan tema gelap sangat elegan. Alano mendudukkan Zevana ke kasurnya.

"Diam disini!" titah Alano. Lalu Alano keluar dari kamar itu dan mengunci Zevana di dalam kamar.

"Abaang bukain! Abaaang, jangan dikunci."

Dorr
Dorr
Dorr

"Menurutlah Vana. Saya menyayangimu." gumam Alano, lalu meninggalkan Zevana yang menggedor-gedor pintu.
.
.
.

"Hahaha." Heru tertawa kecil melihat tingkah keluarga Hernandez ini. Hanya karena Zevana ingin dia bawa tinggal bersamanya.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Damarion kesal karena tingkah aneh temannya ini.

"Aku hanya lucu denganmu Rion."

Damarion menaikkan sebelah sebelah alisnya. "Kau sebenarnya sayang pada putrimu itu, melebihi apapun. Kau hanya tidak menyadarinya saja." Heru menepuk bahu Damarion.

"Aku hanya mengetes kalian. Dan lihat apa reaksi kalian." Heru menatap dalam mata Damarion. "Kalian sayang padanya. Sadari itu," ucapnya sendu.

"Tidak." Damarion memalingkan pandangannya.

"Ada apa denganmu kawan. Kau takut sesuatu terjadi?"

"Sadarlah kawan. Sebelum Tuhan yang menyadarkanmu."

Setelah mengucapkan itu. Heru dan istrinya meninggalkan ruang keluarga menuju kamar tamu.

Bersambung.

This About Zevana | EndOnde histórias criam vida. Descubra agora