"Angel, sebenarnya apa yang kamu katakan? Bukankah ada hal penting yang harus kita bicarakan sekarang?"

Angel menarik napas berat, seolah tidak mendengar panggilan Elliot. "Para malaikat yang semula menjadi tangan kanan Tuhan jatuh dalam kenistaan. Mereka kehilangan sayap, kehilangan kepercayaan dan kehilangan kehormatan. Sama seperti dirimu sekarang di mataku, El."

"Aku tahu, Angel. Tahu sekali, maaf," gumamnya nyaris tanpa suara. "Tapi, aku tetap merindukanmu dengan enggak tahu diri."

Angel hanya mendesah. Tidak ada kata rindu meluncur dari mulutnya. "Berhentilah, El!"

Elliot menaruh kotak ungu itu di sisi kanan tubuhnya. "Maafkan aku, Angel. Aku bersalah."

"Memang."

"Kalau begitu bisakah kita perbaiki semuanya bersama-sama."

Angel tersenyum masam. "Memperbaiki semuanya katamu, kenapa enggak malam itu saja yang kamu perbaiki?"

"Maaf, Angel. Kamu tahu kalau aku tidak bisa mengembalikan waktu meski aku ingin," sahut Elliot. Dia tidak punya jawaban lain yang lebih baik. Dia juga tahu kalau seharusnya memang malam itu diperbaiki atau kalau perlu dihilangkan. Namun, dia tidak punya kuasa untuk mengembalikan waktu.

"Dan kamu tahu kan kalau aku enggak pernah menerima maafmu?"

Elliot kemudian melirik gadis itu. Matanya langsung tertuju pada perut Angel terlihat agak menggembung. Perut gadis itu bahkan lebih besar dari minggu lalu. Elliot mendesah lega, setidaknya gadis itu belum membuang anak itu. Masih ada harapan. Harapan untuk mendapatkan hati gadis itu kembali dan menyelamatkan anaknya.

"Apa kamu benar-benar tidak bisa memaafkanku?"

Angel menunduk. "Iya. Semua ini terasa berat untukku. Saat melihat wajahmu, aku ingat semua kenangan buruk itu. Terkadang melupakan lebih sulit daripada memaafkan."

"Aku mengerti. Aku akan menunggu, Angel. Selama itu, aku akan terus meminta pengampunan."

"Aku pernah bilang, jangan menungguku," sahut Angel tegas.

"Aku tahu, meski begitu aku akan tunggu kamu sampai kapan pun," katanya bersikeras.

"Tidak ada yang bisa kamu dapatkan dari menungguku, El." Angel mulai terdengar kesal.

"Aku tahu. Tapi, bagaimana dengan anak itu?" Elliot menahan diri untuk tidak menyebutnya sebagai 'anak kita'.

Angel mengusap perutnya perlahan. "Kembali ke rencana awal, aku akan menggugurkannya."

Debaran jantungnya menanjak naik seolah ingin meloncat dari dada. Anak itu, dia harus menyelamatkannya. Dia sudah berhasil membuat Angel berubah pikiran selama beberapa minggu terakhir, bahkan saat itu dia tidak tahu kalau janin itu darah dagingnya. Maka ada kemungkinan untuk menyelamatkan anak itu. Tidak, dia harus menyelamatkan bayinya meski dengan memaksa Angel melahirkan anak itu nanti.

"Kamu ingin membuangnya? Anak itu?" Elliot gagal menyembunyikan getar dalam suaranya.

"Ya, tidak ada pilihan lain."

"Selalu ada pilihan, Angel. Tapi, kamu yang enggak mau memilih."

"Aku memilih yang kurasa paling baik, El. Membuang anak ini adalah yang terbaik."

"Bagaimana bisa itu kamu bilang yang terbaik sementara kamu hanya akan menjadi pembunuh." Suara Elliot menanjak tinggi.

"Pembunuh katamu!" Angel mendengkus tidak percaya. "Memangnya aku memintamu untuk memerkosaku malam itu? Memangnya aku senang hamil begini? Apa aku minta anakmu ini tumbuh di rahimku? Lalu, kamu pikir aku senang hamil seperti ini? Apa kamu tidak berpikir bagaimana perasaanku selama ini saat anak pemerkosa itu tumbuh sehat di dalam tubuhku? Kamu sendiri hanya pemerkosa lalu apa kamu merasa kalau kamu lebih baik dariku yang katamu seorang pembunuh?" Angel memekik sekarang.

Better Than Almost AnythingWhere stories live. Discover now