ONE HUNDRED AND TWO

5.8K 1.5K 197
                                    

"Ergh, sial." Argen melepaskan kaos basketnya dan melangkah gontai mendekati teman-temannya yang sedang menyaksikan kebucinan ketuanya dan Luka. Cowok itu berhenti di sebelah Meteor yang berdiri diam sambil memainkan rubik dengan satu tangan, terlihat bosan. Dia dan Meteor memiliki satu kesamaan. Sama-sama gagal dalam hubungan percintaan.

Argen meluruskan pandangan, melihat ke Filosofi yang juga sedang menatapnya. Cowok itu tidak berkata apa-apa. Tapi tatapannya terlalu tajam.

"Hi, Gen?" sapa salah satu cowok.

Argen tidak mengatakan apapun dan berniat berjalan melewati teman-temannya menuju parkiran. Tapi saat akan menuruni tangga, lengannya langsung di cengkeram oleh Filosofi. Argen meringis. Filosofi mendesis, "keluar dari ekskul basket dan bukan lagi bagian dari anak Trigger, bukan berarti lo dan gue selesai." Argen tertegun. Filosofi melepaskan cengkeramannya dan menyibak rambut Argen yang menutupi dahi. "Persahabatan itu halus seperti gelas, sekali pecah bisa diperbaiki tapi akan selalu ada celah."

_LUKA_

Ree mengendarai sepeda motornya dengan keadaan mabuk. Pandangannya sedikit mengabur. Sesekali sengaja menjatuhkan diri ketika tidak sengaja menabrak salah satu pejalan kaki. Cowok itu menyipitkan mata, menajamkan tatapannya saat dengan samar melihat siluet seorang cewek yang berjalan pincang mendekati pagar pembatas besi yang membentang di sepanjang jembatan. Dia,

"Cadenza." Ree tersenyum misterius.

"Lo, ok?" tanya salah satu cowok, pejalan kaki yang melewati Ree.

Ree menggeleng, mengabaikan sebagian kakinya yang terhimpit bodi motor. Matanya masih terpaku pada Cadenza yang mencoba naik dan berdiri di atas pagar pembatas besi, terlihat kacau. Ada beberapa luka memar di sekitar perut dan lehernya. Tubuhnya menggigil, kedinginan.

Ree yang menyadari situasi pun, segera menarik kakinya yang terhimpit dan berlari pincang mendekati Candenza, kemudian mencengkeram kakinya dengan gerakan spontan. "Butuh dorongan, Ca?"

"Apa?"

"Mau bunuh diri, kan?"

"Nggak," suaranya bergetar.

Ree tertawa serak, kemudian membuka jaketnya dan ikut menaiki pagar pembatas besi yang di bawahnya terdapat aliran sungai yang mengalir deras. Dia menyampirkan jaketnya ke pundak Cadenza hingga menutupi kulit punggungnya yang terbuka. Cowok itu tersenyum sinis. "Nggak punya uang untuk beli baju atau memang sengaja mau memamerkan tubuh, hm?" setelah mengatakan itu, Ree melompat turun dan meninggalkan Cadenza yang terlihat mematung.

_LUKA_

Altezza mendongak. Awan hitam membentang gelap. Tidak ada hangat memeluk raga, hanya dingin yang menikam rasa.

Altezza memasukkan tangannya yang di bebat perban ke dalam saku, merasakan dengan teliti bagaimana rinai hujan membujuknya lalu diam-diam meresap menggerogoti setiap celah kain yang melekat pada tubuhnya, kemudian membasahi tubuh kering cowok itu.

"Shit. I have a crush on you."

Kalimat Luka beberapa hari lalu terus terngiang seperti sebuah kaset rusak di telinga Altezza. Cowok itu mendesah, lalu membaringkan tubuhnya di atas rerumputan taman kota. Tidak berapa lama, dia seperti mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Berharap setengah mati itu bukan Luka, Altezza menoleh. Ternyata, dia Luka. Altezza menghela napas berat dan menegakkan tubuh. "Kenapa lo kesini?"

"Karena lo sendirian." Luka memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, kemudian mengangkat bahu. "Dan karena gue tau, bagian paling sakit dari sendirian adalah kesepian."

Altezza menggeleng, tersenyum sinis. "Kesepian adalah satu hal, kesendirian adalah hal lain." Altezza berdiri. Dia mendekat, menipiskan jarak diantaranya dan Luka. Mereka dekat, tetapi terasa seperti tidak. "Gue suka mendengarkan kebohongan disaat gue tau kebenarannya."

"Apa maksud lo?"

"I have a crush on you," kata Altezza dengan suara rendah. Dia menirukan kata-kata Luka. Cowok itu mengulurkan tangan, menyatukan poni Luka dengan telunjuknya ke bagian samping kening. "Gue tau, lo nggak serius saat mengatakan itu."

Luka tidak mengatakan apapun.

"Aku, kamu, bukan kita. That's our relationship." Altezza menirukan kata-kata Luka beberapa waktu lalu. Dia terkekeh sarkastik. "Omong kosong. Bullshit."

Luka membuang muka.

"Hei. Lihat gue." Altezza mengangkat dagu Luka. Sesuatu meleleh dari matanya. Altezza menyeka keringat dingin cewek itu dengan lengan bajunya, kemudian menjambak rambut Luka, memaksanya untuk mendongak. "Apa gue kelihatan kecewa?"

"Nggak."

"Apa gue kelihatan terluka?"

"Nggak." Luka menegaskan. Dia mencengkeram tangan Altezza.

"Gue nggak menduga lo akan menangis seperti ini. Maaf."

"Gue nggak menangis, brengsek," suaranya bergetar.

Altezza membuka mulut, berniat mengatakan sesuatu yang buruk. Tapi kemudian itu berhenti ketika Luka mengunci tatapannya. Dia tersesat kedalam matanya. Jurang yang memisahkan mereka masih ada. Sarat pertanyaan, tuduhan dan rasa bersalah. Semuanya memiliki retakan.

"Shit." Altezza menggigit bibirnya ketika merasakan nyeri pada kepalanya yang dililit perban. Sekelebat memori asing yang melintas di kepalanya membuat Altezza seperti terlempar kembali ke masa-masa kelam. Samar, dia melihat tubuhnya sendiri tergeletak di atas aspal -bersimbah darah, berusaha menggenggam tangan gadis yang memuntahkan darahnya ke tanah. Anak itu merangkak, luka di bagian kepalanya dalam dan berantakan. Darah merembes keluar. Anak itu muntah-muntah. Ini bukan pertama kalinya. Tapi Altezza berharap, kenangan buruk masa lalunya tetap menghilang. Dia berharap Tuhan tidak mengembalikan ingatannya. Karena jika gadis itu bukan Gracia, Altezza masih memiliki satu lagi alasan untuk bertahan.

"Shh." Luka memegang tangan Altezza. Beberapa helai rambutnya tercabut dari akar. Altezza menjambak rambutnya terlalu keras.

"Maaf." Altezza melepaskan cengkeramannya. Luka berdiri dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Gue mau pulang."

"Ikut." Altezza memegang ujung kaos Luka.

"Terserah." Luka menyeret langkah menuju trotoar. Dia dan Altezza tidak saling bicara. Mereka lebih memilih diam, membiarkan suara menggelegar awan menghancurkan kebisuan. Hingga akhirnya, Luka mendesah, merasa tidak nyaman ketika Altezza tiba-tiba memasukkan tangannya ke dalam kaosnya. Dia menggigit bibirnya ketika tangan Altezza perlahan bergerak turun, mengusap perutnya hingga ke pinggul. "Gue dingin," bisik Altezza. "Mau peluk." Luka menghela napas lelah dan merentangkan kedua tangannya, seolah memberikan isyarat. "Gue gendong."

TBC.
884 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang