ONE HUNDRED AND ONE

6.5K 1.7K 705
                                    

"Seharusnya kita bisa lebih tegas ke Altezza. Tapi seperti yang kita tahu, dia keras kepala." Meteor menatap teman-temannya tanpa emosi. "Selain itu, egois." Altezza keluar dari ujung lorong, berdiri berhadapan dengan Meteor di dekat jendela yang hampir mencapai seluruh panjang dinding. Dia menyandarkan punggungnya dan menatap tetesan-tetesan air hujan yang jatuh membasahi langit. "Seandainya hari ini gue kecelakaan terus mati,"

"Lo gila."

"Sepertinya kami salah dengar. Mohon ulangi kata-kata lo barusan?" Filosofi dan teman-temannya tersenyum mengejek. Altezza terkekeh. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, kemudian mengangkat bahu. "Dia bisa berpikir seperti singa," sahut Purnama datar.

"Dia bisa berpikir seperti singa," cemooh teman-temannya. Mereka menatap Altezza. "Bukannya dua tahun lalu lo sudah tewas bersama teman perempuan lo?"

"Pacar gue," koreksinya. Otot rahang Altezza berkedut-kedut di bawah kulit pucatnya, sementara dia mengabaikan mereka. Altezza menjilat bibirnya yang mendadak kering. Saku depan celana basketnya bergetar, memecahkan kecanggungan. Cowok itu meraih ponselnya dan menekan tombol utama. Layar menyala, menampilkan pesan teks dari nomor tidak dikenal.

Gue di tempat parkir. Kita harus bicara sekarang.

Cowok itu mendongak. Matanya mengamati mobil-mobil yang diparkir di halaman sekolah sampai dia melihat Luka, bersandar pada sepeda motornya. Ponselnya ada di tangannya dan Luka mengawasi Altezza dari seberang tempat parkir yang luas. Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi tatapannya terlalu tajam.

Kaki gue cedera.

Dan lo nggak lumpuh.

Altezza memutar mata. Jarinya bergerak, menekan beberapa huruf untuk membalas pesan tersebut.

Gendong gue.

Luka menghela napas saat bel kedua berbunyi. Dan lorong-lorong menjadi sepi. Dia berniat akan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku ketika pasan lain masuk, dari Altezza lagi.

Sekarang.

"Shit." Luka berlari membelah rintik hujan tanpa pelindung. Dia mengikat rambutnya asal, membuat leher putihnya terekspos jelas. Kaos hitamnya sedikit tersingkap. Dia basah. Luka berhenti setelah berdiri berhadapan dengan Altezza yang menatapnya tanpa emosi. Raut wajahnya terkesan dingin. "Apa?" Altezza tidak mengatakan apapun. Tangannya terulur, menyentuh perut Luka dari dalam kaos. Lembut. Luka menahan napas, merasakan usapan Altezza yang perlahan turun hingga ke pinggul. "Al-tez, apa yang lo- akh.." Luka membekap mulutnya, sesaat setelah Altezza meremas pinggulnya dan mengusap paha bawahnya, bermaksud untuk menurunkan roknya yang sedikit tersingkap.

"Kenapa lo?" Altezza mengangkat satu alisnya, tersenyum mengejek.

Filosofi dan teman-temannya sama-sama terkekeh. "Lanjutkan. Kami nggak terlihat."

Luka menggigit bibirnya. Rasa asing yang menggelitik masih membekas di kulitnya. Dia mencengkeram jersey basket Altezza. Tangannya gemetar. "Altez, lo itu apa-apaan?"

"Gue?" Altezza menunjuk dirinya sendiri. "Gue kenapa?" Cowok itu tertawa, kemudian menggenggam tangan Luka yang berkeringat. "Dih. Disentuh doang langsung gemetaran?"

"Ini pertama kalinya buat gue." Luka menggeleng, mengingat sesuatu. Dia mengoreksi, "selain di air terjun."

Altezza menarik napas dalam-dalam. "Apa lo berpikir gue pernah melakukan hal ini ke cewek lain?"

"Iya. Lo sendiri yang bilang." Luka memalingkan muka. Cengkeramannya pada jersey basket Altezza melemah. "It's about sex, right?" Altezza menutup mulutnya dengan lengan kiri. Sementara Filosofi dan teman-temannya kompak menyembunyikan wajah dibalik jersey basket. Luka terlihat polos. "Altezza masih perjaka, Ka. Maksud dari kata, 'itu pertama kalinya buat dia' adalah mandi hujan."

"Apa?" Luka menganga. Sedetik kemudian dia baru tersadar satu hal. Cewek itu menipiskan bibir. "Oh."

"Meow."

Altezza dan teman-temannya kompak memiringkan kepala, menatap ke arah tas ransel Luka yang perlahan terbuka. Kepala Lautan menyembul, kemudian melompat, membebaskan diri dari tas babunya. Tatapan Altezza terkunci ke hewan peliharaan tersebut. Salah satu sudut bibirnya tidak sengaja tergigit. Cowok itu terkekeh getir. Dia kehilangan Rain. Luka yang menyadari hal itu berinisiatif mengulurkan tangan, mengusap pipi dan punggung Altezza -perhatian. "Lo bisa menganggap Lautan sebagai hewan peliharaan lo, kalau lo mau."

"Boleh gue bawa pulang?" Altezza bertanya polos.

"Ya nggak lah. Dia masih punya gue."

"Lo juga punya gue. Lo boleh gue bawa pulang?"

Luka meringis, menatap Altezza khawatir sekaligus ngeri. "Nggak." Altezza memajukan bibir bawahnya, cemberut. Luka yang melihat hal itu spontan membekap mulut cowok itu. "Nggak usah sok imut. Jijik tau, nggak?"

Altezza terkekeh dan memilih merebahkan kepalanya di atas pundak Luka. "Pusing banget." Luka tidak mengatakan apapun. Dia menyamankan posisi kepala Altezza. Pundaknya terasa kebas, tetapi Altezza malah memakainya sebagai bantalan. Tangan cowok itu memegangi sebelah tangan Luka yang jatuh diatas bahunya tanpa sadar. "Gue suka banget di elus. Terutama di bagian pipi dan rambut." Luka memutar mata. Itu kode. Ragu, dia menyibak rambut Altezza dan mengusap pipi cowok itu, perhatian. "Selain itu, apa lagi yang lo suka?"

"Lo."

Luka menipiskan bibir. "Nggak hanya gue. Lo suka semua cewek yang nggak gampang patah, kan?"

"Tapi yang gue jadiin cewek cuma satu," Altezza memberi jeda. Dia menggenggam tangan Luka dan mengecupnya singkat. "Kamu."

Darahnya terasa seperti membeku dan Luka menahan napas, mencoba memperoses apa yang baru saja dia dengar. 'Kamu,' satu kata yang mengutuk perasaannya terhadap anak itu. "Lo...," Luka menelan ludah yang tercekat di tenggorokan. "Suka gue?"

"Lebih dari itu. Dia udah sayang lo," jawab Filosofi, mewakili Altezza. Dia mengangkat satu alisnya. Sahabatnya tidak menyangkal. Itu artinya, dugaan Filosofi selama ini benar. Luka sudah terjerat. Dia menyayangi Altezza. "Dasar, goblok." Filosofi mengejek lirih. Tidak satupun wajah berkedut. Hanya janji dalam hati. Altezza tidak mau mati sendiri. Luka mendorong pundak Altezza menjauh. Dia mengingat kembali percakapannya dengan cowok itu beberapa waktu lalu.

Luka mundur selangkah, terlihat menjaga jarak. Dia dan Altezza saling menatap tajam, kemudian tertawa. "Lo gila."

"Gue nggak waras." Altezza kelewat santai. "Tapi seandainya gue mati lebih awal, lo bebas."

"Apa?"

"Kecelakaan." Altezza menjawab cepat. "Seandainya gue mati lebih awal dibandingkan vonis dari penyakit gue, kita selesai."

"Altez, lo-" Luka kehilangan kata-kata. Dia menunduk, menghembuskan napas sesaknya yang serasa mencekik. Altezza mengerutkan kening, melihat setetes air yang jatuh melewati pipi. Cowok itu mendekat dan menyentuh mata Luka dengan bibirnya yang pucat sebelum akhirnya menarik cewek itu ke dalam pelukan. Luka seperti sudah kehabisan napas. Dan usapan lembut pada kepalanya membuat rasa sakit Luka sedikit teralihkan. Altezza tertawa serak. "Lo nangis, sayang?" bisiknya.

"Gue, nggak." Luka mencengkeram jersey basket Altezza dan membenamkan wajahnya lebih dalam ke dada cowok itu. "Shit." Dia menggigit bibirnya, kemudian mendesis, "I have a crush on you."

997 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang