ELEVEN

39.9K 7.8K 11.7K
                                    

Altezza menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya yang tertekuk. Dia kini sedang duduk di pinggir lapangan setelah tadi selesai berlatih basket. Entah kenapa, akhir-akhir ini Altezza merasa kekebalan tubuhnya menurun. Tidak seperti dulu, dia jadi gampang kelelahan dan jatuh sakit. Cowok itu memejamkan mata ketika Grace mengusap rambutnya lembut, penuh perhatian. Dia memang suka sekali di elus. Terutama di bagian pipi dan rambut.

"Seandainya dulu kita nggak ngelakuin hal itu, mungkin sekarang lo nggak akan selemah ini. Lo nggak akan terlihat sesakit ini," gumam Grace.

Altezza terkekeh. Dia tidak selemah yang Grace pikir. "Apa lo menyesal ngelakuin hal itu sama gue?" Grace tidak menjawab. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus menjawab apa. "Itu pertama kalinya buat gue, Grace." Altezza mengangkat wajahnya sedikit, balas menatap Grace dengan pandangan kosong. "Dan gue ngelakuin hal itu sama lo, sahabat kecil gue."

Grace menggeleng, terkekeh pahit. "Gue bukannya menyesal, Ez. Tapi," Grace menggantungkan kalimatnya sepersekian detik. "...bersalah."

Altezza tidak mengatakan apapun. Cowok bermarga Gillova itu mengalihkan atensinya ke arah empat sahabatnya; Meteor, Purnama, Filosofi dan Zero yang kini sedang berlatih basket di tengah lapangan bersama Zee dan Abigail.

"Terkadang saat gue menutup mata, gue nggak bisa melihat."

Zero mendelik tajam ke arah Filosofi. Tatapan matanya yang ganas seakan mengisyaratkan, 'bangsat, tutup mulut lo.'

Filosofi terkekeh.

Zee menguasai bola. Dia berlari dengan langkah tertatih melewati dua cowok yang mencoba merebut bolanya. Saat berada beberapa meter dari target -ring basket, Zee melemparkan bola di tangannya tanpa perhitungan, membuat bola basket itu terpental keras dan mengenai punggung Meteor, salah sasaran. "Oh, shit." Meteor mendesis ketika bola basket yang di lempari Zee menghantam punggungnya.

Zee berlari mendekati Meteor. Cowok itu mengunci tatapannya. Netra abunya bertabrakan. Meteor melihat dari tempat yang lebih tinggi sebab pucuk kepala Zee hanya mencapai dagunya.

"Permainan yang bodoh," kata Meteor tanpa mengeluarkan suara. Dia menatap Zee dingin.

"Lo kelihatan sakit." Zee balas menatap Meteor tidak kalah dingin. "Mau gue buat lebih sakit lagi?"

Mendengar keributan yang hendak terjadi, Filosofi bergerak cepat menarik Zee bersembunyi dibalik punggungnya yang tegap. Zee dan Meteor bukanlah lawan yang seimbang. Cowok bermarga Kanaka itu mengatakan sesuatu dengan bahasa isyarat. Zee mengangkat satu alisnya. "Dia tunarungu?"

Filosofi mengangguk.

Zee menghembuskan napas panjang, merasa bersalah. Abigail merangkul pundaknya. "Dia baik. Meskipun kelihatannya sakit."

Zee menjilat bibirnya yang mendadak kering. Meteor menatap matanya tanpa berkedip. Zee mengangkat kedua tangannya, seperti gerakan seseorang yang menyerahkan diri pada Polisi. "Gue minta maaf, ok? Lo boleh pukul gue."

"Tarik kata-kata lo barusan, Zee."

Zee mengangkat bahu. "Gue serius-" Zee menghentikan kata-katanya ketika merasakan mulutnya seperti disumpal sesuatu. Seseorang menghajar pipinya hingga dia terhuyung, menabrak pundak Abigail. Zee tau itu adalah Filosofi.

Filosofi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Dia kelihatan santai, bahkan setelah memukul seorang cewek. "Jangan tersinggung, oke? Gue menyelamatkan lo dari Meteor." Filosofi mendekat, menghapus keringat yang mengalir membasahi dahi Zee. "Tanpa kemampuan bela diri, lo sama saja mengirim raga lo supaya mati."

Zee menyentuh pipinya. Sengatan rasa perih menjalar hingga ke mata. Dia berbalik memunggungi Meteor, mencoba menyembunyikan matanya yang semerah darah. Jari Filosofi tanpa sengaja menusuk matanya ketika cowok itu menamparnya. Zee menahan air matanya agar tidak keluar.

"Kalau ditahan terus, nanti yang keluar bukan air mata. Tapi darah." Zee mengangkat wajahnya sedikit, menatap Zero yang menyeringai sinis. "Dasar, idiot."

Zee mendesis geram. Dia merasa seperti sedang dikepung oleh tiga kawanan binatang buas yang sewaktu-waktu bisa menerkamnya tanpa pemberitahuan, mengoyak dan memakan dagingnya hingga menyisakan tulang.

Zero menabrak pundak Zee saat dia berjalan melewati cewek itu. "Ayo," dia merangkul pundak Meteor dan mengajaknya ke pinggir lapangan, melakukan sesuatu untuk menghentikan Purnama yang berniat mati dengan cara menahan napas. Wajahnya membiru.

"Sedikit lagi." Purnama membayangkan paru-parunya mengempis, kemudian meledak dan mati.

Hal itu tanpa sadar membuat salah satu sudut bibir Zero terangkat, tersenyum miring. Dia mengepalkan tinju ke dada Purnama, membuat cowok yang sedang menahan napas itu melotot tajam, seolah menantang Zero untuk meninjunya lebih keras. "Sampai mati kalau bisa."

"Lo mati, gue juga mati."

Paru-paru Purnama kembali beroperasi usai cowok itu memutuskan menghentikan aksi percobaan bunuh diri. Dia bernapas kembali. "Sialan. Padahal sedikit lagi."

Meteor dan Zero sama-sama terkekeh. Entah berapa kali kedua remaja berhasil menghanguskan keinginan Purnama untuk mati.

Filosofi meluruskan pandangan, menatap Zero.

Abigail menyentuh pundak Filosofi. "Sesuatu yang rumit dan asing. Lo gay?" katanya datar, tanpa emosi. Cara Abigail bicara sedikit mengingatkan Filosofi pada sosok Meteor.

"Lo manusia yang penuh imajinasi nggak penting, ya." Filosofi terkekeh sarkastik.

Di sisi lain, Altezza dan Grace berjalan bersisian menghampiri pelatih. Tatapan Altezza terkunci pada Zee yang kembali berlatih basket tanpa Abigail. Cewek itu terlihat sedikit kesusahan ketika hendak memasukkan bola ke dalam ring. Sepertinya, Zee sama sekali tidak memiliki bakat dalam bermain basket. Altezza menyunggingkan senyum sinis. Tanpa dikomando, kakinya melangkah melewati pelatih dan berlari ke arah Zee. "Woy, bitch!"

794 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang