SIXTY SIX [FLASHBACK]

8.7K 2.3K 376
                                    

Darahnya terasa seperti membeku dan Luka menahan napas, mencoba memperoses apa yang baru saja dia dengar. 'Aku suka kamu,' tiga kata yang mengutuk perasaannya terhadap anak itu. "Kamu..," Luka menelan ludah yang tercekat di tenggorokan. Dia menatap anak laki-laki di depannya tidak percaya. "..suka aku?"

Eh?

"Aku nggak serius." Jejak mengangkat bahu. Dia berjalan pincang di belakang teman-temannya, menuju lapangan bola.

"Tunggu." Luka menahan lengan Jejak. "Itu nggak lucu, tau."

Jejak menarik napas dalam-dalam. "Dengar. Aku nggak serius saat mengatakan 'aku suka kamu'. Jadi, lupakan saja. Okay?"

"Nggak bisa begitu." Luka memprotes. Dia membawa tangan Jejak ke dadanya. Anak itu mengangkat satu alisnya, tidak paham. "Apa maksudnya?" Luka tidak mengatakan apapun. Jejak lalu meletakkan tangannya yang bebas di atas dadanya sendiri. Dia tidak merasakan apapun. Detak jantungnya tidak secepat detak jantung gadis itu. "Suka itu, apa?"

"Kamu nggak tau?"

"Nggak." Jejak menggeleng polos. "Kamu?"

"Jelas." Luka mengangguk. "Nggak juga."

"Jejak, Ayo!" Dia dan Luka mengalihkan atensinya ke arah anak laki-laki yang berteriak memanggil Jejak. Anak itu memakai topi kupluk dengan kaos hitam tanpa lengan. Dia, Zero Earth Tyler; murid populer di sekolahnya.

Jejak menarik tangan Luka untuk berlari menghampiri Zero. Keduanya saling menggenggam. Mereka memasuki lapangan bola. Semua tim beranggotakan sebelas orang berkumpul di pinggir lapangan, menunggu kehadiran tim lawan. "Huft. Selalu seperti ini," Zero berjongkok -sebal. "Menunggu tanpa kepastian itu membosankan, tau."

"Biasa saja. Nggak ada rasanya," gumam anak laki-laki yang sedang memegang bola ditangannya. Dia, Meteor.

"Jelas lah. Kamu kan nggak punya perasaan," sahut anak cowok yang memakai topi seperti seorang idiot. Dia, Filosofi.

"Aku punya." Meteor menyangkal dengan bahasa isyarat.

"Oh, ya? Nggak ada tuh." Filosofi menjulurkan lidahnya, "wlee!"

"Berisik banget." Meteor melepaskan alat bantu pendengarnya. Semua ini karena siswi baru di sekolahnya. Namanya, Fana. Meteor dan Filosofi menyukainya. Tapi sayang, kedua anak itu berbeda keyakinan, antara rosario dan arah kiblat.

Luka mengeluarkan kalung salib yang selalu Jejak sembunyikan di balik kaosnya. Anak itu memajukan bibirnya, cemberut. "Kamu sama seperti Fana."

Jejak menggeleng dan menggenggam kalung salibnya. "Aku dan Fana hanya mempercayai Tuhan yang sama."

Luka menunduk, membuat sebagian wajahnya tertutupi rambut.

"Jangan menunduk." Jejak menarik dagu Luka dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Aku masih suka kamu."

"Bohong."

Jejak tidak menyangkal. Lalu tatapannya beralih pada seorang gadis yang duduk santai di bawah pohon yang tumbuh di pinggir lapangan. Wajahnya pucat dan matanya terlihat sembab. Di sebelahnya, seorang anak laki-laki seusianya berdiri sembari mengusap rambut gadis itu, sayang. "Mereka siapa?"

"Ah. Itu Gerrald dan adiknya, Gracia." Filosofi mengangkat satu alisnya. "Kenapa?"

"Hanya penasaran." Jejak mengangkat bahu. "Dia cantik."

427 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang