TWENTY SEVEN

23.6K 5.4K 1.3K
                                    

Purnama menunduk sambil memegangi dahi. Cowok bermarga Ilusi itu memiringkan kepala, menatap Zero dan Meteor yang sedang berbicara dengan bahasa mata di seberang bangkunya. Zero merasakan tatapan Purnama menembus punggungnya. Meteor mengangkat satu alisnya seolah berkata, 'apa?'

"Hari ini lo sakit. Mungkin besok lo mati." Filosofi merangkul pundak Purnama.

Zero dan Meteor menipiskan bibir. Altezza memutar mata. Dia memundurkan bangkunya sedikit ke belakang dan menaikkan kaki di atas meja, memilih untuk memainkan rubiknya dengan satu tangan, terlihat bosan.

"Sejak kecil Purnama itu kena penyakit mau mati kalau nggak diperhatikan." Filosofi menggenggam tangan Purnama. Telapak tangannya yang basah karena keringat bertemu dengan telapak tangan Filosofi yang kapalan. Purnama tampak pucat dan kecil, mengingatkan Filosofi pada sosok Purnama yang dia temui pertama kali.

Zero berdiri dan melangkahkan kakinya mendekati Purnama yang menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher Filosofi. "Sebelum gue hajar, ayo ikut gue bolos pelajaran bahasa."

"Zero-"

"Tutup mulut lo," suaranya terdengar mengancam. Zero menunjuk Buana, sang sekretaris kelas. "Jangan beritahu Guru atau bibir lo gue sobek."

Buana menggeleng. Dia berlutut, menjatuhkan diri di bawah kaki Zero. Cowok itu menelan ludahnya yang tercekat di tenggorokan. "To-long jangan membolos." Buana mencengkeram kaki Zero.

"Brengsek. Bangun nggak?" Zero menggertakkan rahang. Dia menendang perut Buana hingga cowok itu terbanting, jatuh ke lantai. "Dasar sialan."

"Hei." Buana terbatuk, memegangi perut. "Lo seharusnya berterima kasih-"

"Ya ya -terimakasih banyak, bangsat." Zero memotong. Dia mencengkeram lengan Purnama, berniat menarik cowok bermarga Ilusi itu membolos kelas hingga pelajaran sekolah usai. Tapi langkahnya mendadak berhenti. Zero menajamkan indera pendengarannya.

"Tunggu. Dia gay?"

"Bicara apa lo. Mau cari mati?" Zero menggertak. Tinjunya mengepal, dan Filosofi bergerak cepat mencengkeram leher Zero, memaksa cowok bermarga Tyler itu untuk meredamkan emosinya yang tidak terkontrol dan akan meledak sewaktu-waktu.

Siswa yang menyulut kemarahan Zero bersembunyi di belakang punggung Filosofi. Dia menatap Zero takut.

"Tau apa lo?" Filosofi berbalik memunggungi Zero, menghadap siswa itu. Dia mengangkat satu alisnya. "Lo tau apa sampai bicara sembarangan tentang Zero Earth Tyler?"

"Gue nggak tau apa-apa. Gue cuma berpikir dia gay."

Zero tersenyum sinis. Dia menyingkirkan Filosofi dan berdiri berhadapan dengan siswa tersebut. "Hei." Zero menyentuh dadanya, setengah menghajar. Dia bisa merasakan detak jantung cowok di depannya berdetak cepat. Cowok bermarga Tyler itu menajamkan netra kelabunya yang jahat, kemudian mencengkeram leher siswa itu sebelum akhirnya menghantamnya dengan dahi. Dia mendesis, "perbaiki pola pikir lo. Dasar sampah."

_LUKA_

Zero memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, berjalan melewati lorong yang terhubung dengan toilet. Sesekali berhenti melangkah guna menghentikan perkelahian diantara para siswa-siswi nakal yang suka memangkas waktunya. Zero menyentuh luka di matanya. Salah satu sudut bibirnya terangkat, tersenyum miring. Dia berniat kembali memasuki kelas, namun langkahnya seketika terhenti kala mata elangnya menangkap sosok Erga yang baru saja keluar dari toilet cewek.

Zero mendekat, mencengkeram lengan Ergazza. Cowok itu meringis ketika Zero semakin menguatkan cengkeramannya pada lengannya yang di perban.

"Shh.. gue nggak ngapa-ngapain, tolol. Lepas."

Zero mengangkat satu alisnya. Cowok itu bahkan belum bertanya apa-apa.

"Sial." Ergazza memaki kebodohannya sendiri.

Zero terkekeh. Dia memiringkan kepala, menatap toilet. Cowok itu menemukan satu hal yang janggal. Lampu yang biasanya menyala tiba-tiba padam. Tanpa mempedulikan Erga, Zero segera berlari memasuki toilet cewek dan menemukan jika salah satu bilik toiletnya terkunci.

Menempelkan telinganya di permukaan pintu toilet, Zero dengan samar mendengar suara parau seorang cewek. Dia menajamkan indera pendengarannya. Suara itu perlahan menghilang. Yang terdengar hanya suara napas yang tidak beraturan.

Zero terdiam lama dan sempat berpikir untuk memanggil satpam keamanan untuk mendobrak pintu. Sampai akhirnya, Zero mendengar suara tubuh membentur lantai terlebih dahulu, membuat Zero memutuskan melangkah mundur dan menghantamkan diri untuk mendobrak -menghancurkan engselnya. Sesekali mendesis kala lengan kanannya tanpa sengaja tergores oleh paku tajam yang menancap di daun pintu.

"Fuck." Zero menendang pintu itu keras hingga mengalami kerusakan. Pintu terbuka perlahan dan menampilkan Zee yang tergeletak tidak sadarkan diri di bawah kloset duduk.

"Zero?" itu suara Grace. Zero memutar leher ke belakang dan mendapati Grace menyipitkan mata, curiga. Cewek itu melangkah mendekati Zero dan melihat ke arah Zee. "Oh," komentarnya datar.

Zero tidak mengatakan apapun. Dia menahan napas ketika merasakan usapan lembut pada lengannya yang terluka. Grace melepaskan seragam sekolahnya dan menekan luka Zero agar darahnya tidak lagi menetes mengotori lantai. Cowok itu tertawa serak, kemudian membuka seragamnya. Otot- otot di lengan bawahnya tertarik dan menonjol. Dia menyampirkan seragamnya ke pundak Grace hingga menutupi kulit punggungnya yang terbuka.

"Gue cowok, kalau lo lupa."

Grace hanya menanggapi kata-kata itu dengan memutar mata. Dia mengunci tatapannya pada dada Zero yang dipenuhi bekas luka. Ragu, Grace menyentuhnya. Cowok bermarga Tyler itu mendekat dan menipiskan jarak. Dia meniup mata Grace hingga terpejam sebelum akhirnya membungkuk —menggendong Zee menuju UKS.

764 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang