SEVENTY NINE

8.9K 2.2K 667
                                    

"Mungkin dia bosan lihat kamu, makanya dia pergi," kata salah satu cowok berkacamata yang bersandar pada batang pohon disebelah Abigail. Dia tidak mengenalnya. Tapi kata-kata cowok itu sepertinya tepat sasaran. Dia memperbaiki posisi kacamatanya dan berkedip dua kali. "Terkadang bertahan lebih merusak daripada melepaskan."

Abigail hanya merespon kata-kata itu dengan senyuman tertahan.

"Karena ketika kamu melepaskannya, kamu benar-benar bebas."

Di sisi lain, Filosofi masih memeluk erat Fana. Ketika Kak Gaviantara menyuruh mereka berkumpul untuk membentuk kelompok, Filosofi malah mengajak Fana bersembunyi di atas pohon yang memiliki batang bercabang di setiap sisinya. Berpacaran sejak kelas 6 SD, membuat kedua remaja itu memahami satu sama lain. "Kamu memang nggak sempurna. Tapi aku bahagia." Itu kata-kata yang diucapkan Filosofi kecil pada saat menembak Fana di depan para gurunya. Dengan hidung memerah dan mata sembab, takut di tolak dan dipermalukan. "Jadi, mulai hari ini, kita pacaran. Ok?" Fana yang sejak awal memang menyukai Filosofi langsung mencium pipi anak itu.

Kembali ke masa sekarang, Filosofi benar-benar tidak mau melepaskan pelukannya. Sementara Fana hanya menghela napas pasrah ketika Filosofi beberapa kali mencium lehernya dan meninggalkan bekas memerah seperti bekas gigitan. Ini bukan pertama kalinya. Karena mereka pernah melakukan hal yang tidak seharusnya kedua remaja itu lakukan. Tepat di hari ulang tahun Filosofi yang ke enam belas. You know what? Yeah. It's about sex.

"Kalau suatu saat nanti hubungan kita berakhir-" Ucapan Fana terpotong ketika Filosofi tiba-tiba mencium bibirnya. Kedua remaja itu saling menatap tajam, kemudian melepaskan ciumannya. "Gue udah bilang. Setelah lulus sekolah, gue bakal nikahin lo."

Fana menipiskan bibir. "Tapi kalau kita putus-" Filosofi kembali membungkam bibir cewek itu agar berhenti mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Dia mendesis, "Kita hanya akan putus kalau Tuhan ngambil nyawa gue lebih dulu."

"Kalau seandainya nyawa gue yang Tuhan ambil lebih dulu-"

"Gue bakal nikahin mayat lo," ada nada tajam dalam suaranya.

Fana meringis ngeri. Filosofi melepaskan pelukannya dan turun dari atas pohon.

"Los, tunggu!" Fana turun dari atas pohon dan mengejar Filosofi. Ini gawat. Karena ketika marah, dia bisa mendiamkannya selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Tergantung tingkat kemarahan cowok itu. Bahkan keduanya pernah hampir putus ketika Fana ketahuan jalan dengan salah satu seniornya di geng motor. Filosofi benar-benar kehilangan kendali dan berhasil membuat seniornya memutuskan keluar sebagai salah satu anggota inti. Sejak saat itu, hubungan Filosofi dan Fana mengalami fase break. Tapi tidak bertahan lama setelah Filosofi dan Fana melakukan 'itu'.

"Jangan marah, please." Fana memeluk Filosofi dari belakang. "Gue janji nggak akan bahas sesuatu tentang putus lagi."

Filosofi terkekeh sarkastik. Terserah. "Lepas."

"Nggak."

"Sekarang," suaranya terdengar mengancam. Fana mengecup bahu Filosofi sebelum akhirnya melepaskan pelukannya dari tubuh cowok itu. Dia berniat akan mengatakan sesuatu, tapi Filosofi sudah lebih dulu melangkah menjauh.

_LUKA_

"Mama, Denza takut!"

Meteor dan semua teman-temannya menghentikan aktivitasnya membangun tenda -mengalihkan atensinya ke arah salah satu siswi yang berdiri dengan wajah dingin di dekat perapian. Dia, Cadenza.

"Aku membenamkan wajahku diantara kedua lutut yang kutekuk, lalu menyandarkan punggungku di salah satu akar pohon besar yang tumbuh di tepi jurang di pedalaman hutan. Aku tersesat. Seluruh tubuhku terluka dan berdarah. Bibirku pucat. Aku kedinginan. Di bawahku, aliran sungai mengalir deras. Angin berhembus kencang, membuat seluruh aliran darahku seolah dibekukan."

Salah satu sudut bibir Kak Gaviantara terangkat, tersenyum miring. Cadenza mengunci tatapannya. Raut wajah cewek itu sama sekali tidak bisa ditebak. Setelah membuat keributan, melanggar peraturan dan membuat salah satu siswa jatuh pingsan, Cadenza diberikan tugas untuk bercerita sebagai hukuman dari koordinator lapangan.

"Aku mendongak saat merasakan usapan lembut pada rambutku yang tergerai. Tidak ada siapapun. Tepat saat aku menoleh ke arah kiri, aku merasa jantungku seperti ditikam belati. Sakit. Dia.. anak laki-laki itu menikam jantungku. Membuat luka tepat di dadaku.

Anak itu terlihat seumuran denganku, dua belas tahun. Dia tidak menunjukkan ekspresi apapun. Rambut hitamnya tertutupi tudung jaket bergambar bulan terbelah. Poninya menjuntai bukan hanya menutupi mata, tetapi juga hidungnya. Bibirnya pucat basah, bergetar, menggigil kedinginan. Aku menggigit bibir bawahku menahan sakit saat dia semakin memperdalam tikaman belatinya pada jantungku. Tepat saat penglihatanku mulai memburam, anak laki-laki itu mengunci tatapanku, menatap mata biruku dengan tatapan sayu. Dia mencabut belati yang menikam jantungku, membuat darah segar merembes keluar dari lukaku."

Meteor menutup telinga Abigail, berusaha menulikan pendengarannya. Cewek itu terlihat akan muntah.

"Aku muntah darah."

Abigail benar-benar muntah. Cadenza kembali melanjutkan, "Detik disaat aku merasa jiwaku seakan ditarik keluar dari dalam raga, aku melihat anak laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan bibir kami hampir bersentuhan. Aku memejamkan mata saat merasakan sesuatu yang dingin dan basah menyentuh bibirku. Lalu terdengar suara bisikan parau yang seakan menjadi tombak yang berhasil menembus dadaku. Melukaiku." Cadenza menarik napas dalam-dalam. "Gelap. Hitam. Pekat. Anak itu membunuhku setelah mengatakan bahwa dia mencintaiku."

Terdengar suara ringisan tertahan.

Cadenza tersenyum sinis. Tanpa aba-aba, dia langsung melemparkan pisau lipat di genggamannya ke arah Kak Gaviantara yang menatapnya penuh permusuhan. Cowok itu bergerak gesit saat menghindari serangannya. Dia menarik keluar ujung mata pisau yang menancap tepat di batang pohon, sebelah kiri matanya. Pupil kelabunya langsung menggelap. Kak Gaviantara menjatuhkan pisaunya ke tanah dan mendesis, "Selesai."

Untuk sesaat -hening.

Lalu terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Kak Gaviantara dan semua orang disana kompak mengalihkan atensinya ke arah semak-semak di dekat perapian. Samar, mereka melihat siluet dua remaja yang melangkah dari kejauhan. Berupa bayang-bayang yang menghitam tertutupi kabut asap. Lalu semua itu berangsur memudar. Terlihat Altezza dan Zee yang sama-sama memuntahkan darahnya ke tanah. Kedua remaja itu terduduk lemas, dengan hidung patah, wajah bengkak, dan memar karena cedera. "Shh.."

TBC.
923 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang