SIXTY EIGHT

8.5K 2.3K 508
                                    

Cadenza berdiri. Dia melepaskan hodienya, disaksikan oleh semua anak basket yang menatapnya tanpa ekspresi.

Altezza memutar mata. Lalu tatapannya terkunci pada cewek yang memakai hodie hitam dan masker yang menutupi sebagian wajah. Aliran keringat menembus ikat kepala di dahinya, menetes ke mata. Dia berdiri diam di belakang Cadenza. "Luka?" Altezza menajamkan tatapannya.

Zee berjalan pincang melewati Cadenza dan berdiri berhadapan dengan Altezza. Dia menyentuh dahinya yang berkeringat. Dan Altezza menurunkan tatapannya, melihat bekas luka memanjang di pergelangan kaki Zee yang dipasangi gips. Luka yang dia dapatkan usai terjatuh dari lantai dua balkon kamar Altezza, satu Minggu lalu.

"Lo, ok?" Zee menyentuh pinggul Altezza yang diperban.

Cowok itu menggeleng, menggenggam tangan Zee dan mengusapnya pelan.

"Gue khawatir." Zee tersenyum sinis. Dia menarik tangannya keluar dari bawah tangan Altezza. Genggaman kedua remaja itu terlepas tanpa perlawanan. Altezzza menyipitkan mata, curiga. Detik selanjutnya, cowok itu berteriak kesakitan usai Zee tiba-tiba meninju lukanya. Kata-kata mendekam di kerongkongannya. Pembuluh darah Altezza seperti meradang.

Salah seorang anak basket yang berdiri di belakang punggung sang kapten mendorong pundak Zee menjauhi Ezz. "Lo cari mati," desisnya berbahaya.

Zee menyunggingkan senyum miring.

Hal itu tanpa sadar memancing emosi para anak-anak basket. Kesembilan remaja itu menahan diri mati-matian untuk tidak menghajar Zee. "Lebih baik lo pergi sebelum habis," bukannya takut, Zee justru tertawa. Altezza dan teman-temannya tidak bisa lagi menahan emosinya.

Buana menarik napas dalam-dalam. "Kenapa?"

Zee menjawabnya dengan memutar mata ke arah Altezza.

"Ezz?" semua pasang mata kompak mengalihkan atensinya ke arah Altezza. Cowok itu tidak mengatakan apapun. Dia terlihat tenang. Mereka semua mulai merasakan keganjilan di udara. Zee menggertakkan rahangnya ketika Altezza menipiskan jarak diantara keduanya.

"Apa salah gue?"

"Lo tanya apa salah lo?" kedua tangan terkepal di sisi tubuh Zee, geram. "Setelah lo sengaja mendorong gue jatuh dari atas balkon kamar di lantai dua dan kaki gue mengalami patah tulang," jeda sejenak, "lo masih tanya apa salah lo, hah? LO MINTA GUE HAJAR?!"

Satu lapangan langsung hening.

"Gue mau lo." Zee menirukan kata-kata Altezza malam itu. "Sedetik setelah itu, lo langsung mendorong gue jatuh dari atas balkon," dia menarik dagu Altezza hingga kedua sisi pipi cowok itu terjepit diantara jarinya. "Mencoba untuk pura-pura kehilangan ingatan, hm?"

Diam.

Altezza memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Dia berusaha mengingat kejadian itu. Tapi, "gue sama sekali nggak ingat apapun." Altezza mengucapkan kata-kata itu tanpa mengeluarkan suara.

"Mustahil." Zee mundur selangkah.

Cowok itu menggigit bibirnya ketika merasakan nyeri pada kepalanya yang dililit perban. Sekelebat memori asing yang melintas di kepalanya membuat Altezza seperti terlempar kembali ke masa-masa kelam. Samar, dia melihat tubuhnya sendiri tergeletak di atas aspal -bersimbah darah, berusaha menggenggam tangan gadis yang memuntahkan darahnya ke tanah.

"Luka. Gue," Altezza mendekat. "Maaf."

Waktu seakan melambat beberapa detik. Cadenza menyingkirkan Zee dan Altezza mengangkat satu alisnya, "Denza, apa yang lo-" kata-kata cowok itu terhenti usai Cadenza dengan tiba-tiba menyentuh bibir Altezza dengan bibirnya. Dingin. Selama beberapa detik, kedua remaja itu sama-sama tidak bisa berpikir. Altezza mendesah, memejamkan mata. Dia menahan tengkuk leher Cadenza saat dia berniat akan melepaskan ciumannya. Bibir cowok itu perlahan membuka dan melumat bibir Cadenza dengan perasaan hampa. Cadenza masih menikmati itu hingga akhirnya Altezza menghisap bibir bawahnya, membuatnya tanpa sadar mendesah kan nama Altezza.

TBC.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang