EIGHTY THREE [FLASHBACK]

8.8K 2.1K 522
                                    

Altezza kecil memutar papan belakang skateboard-nya seratus delapan puluh derajat ke arah depan, menekuk lutut ketika meluncur, lalu melompat, dan mendarat di bagian belakang skate-nya. Dia melakukan trik kickturn dan ollie berurutan di satu waktu. Zero dan ketujuh temannya yang sedang berlatih di belakang Altezza, terjatuh kompak usai Altezza tiba-tiba menghentikan laju skateboard-nya di tengah-tengah latihan. Bukannya merasa bersalah, anak berusia sembilan tahun itu justru tertawa, memamerkan gigi ginsulnya yang terlihat manis.

Zero dan ketujuh temannya mengeram kesal. "Ezz. Itu nggak lucu!"

Altezza mengangkat bahu, kemudian berjongkok untuk menyentuh luka di salah satu kaki temannya yang tergores. "Dia berdarah. Lucu, tau. Keren."

"Apa?" Purnama melotot tajam. Anak itu memperbaiki posisi topinya dan berdiri. "Luka itu nggak keren. Mati lebih keren!"

"Mati nggak kelen. Luka juga nggak kelen. Otak kalian gesel!"

"Diam lo, cadel!" Purnama membungkam Guruh. Anak itu kembali menatap Altezza dan mengunci tatapannya. "Mati lebih keren."

"Luka, darah, dan mati sama-sama keren." Filosofi mengangguk kemudian mengangkat bahu.

Purnama mendengus sebal. Anak itu mengambil skateboard-nya yang teronggok di lantai dan kembali melanjutkan latihan bersama Meteor, Zero, Filosofi dan teman-temannya, menyisakan Altezza yang berdiri sendirian di lapangan skate. Anak itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, terlihat santai saat menghentakkan bagian belakang dari papan skate, meng slide kaki depannya ke arah luar dan melompat di waktu yang bersamaan.

Olahraga skateboard memang merupakan olahraga yang bisa dibilang dapat menimbulkan berbagai jenis cedera. Tapi cedera ketika latihan adalah sesuatu yang keren di mata Altezza. Darah dan luka adalah hal yang anak itu suka.

Altezza mengangkat kaosnya sebatas dada, memperlihatkan luka gores di pinggulnya yang memar. Terdapat kabut biru pudar di sekitar lukanya. Luka yang anak itu dapatkan ketika Ergazza menggores pinggulnya dengan pisau buah. Ergazza membencinya dan beberapa kali berniat menghabisi nyawanya. Bahkan ketika tidur, anak itu selalu mengigau sambil bergumam, "mau Altezza. Aku mau bunuh dia."

"Altez-"

Altezza kehilangan konsentrasinya dan terjatuh. Anak itu meringis sambil menekan lukanya. Sesekali terpejam, menahan sakit. Dia mengangkat wajahnya sedikit, melihat ke arah anak cewek yang berdiri santai sambil memeluk papan skate. "Ergh." Altezza berdiri dan berjalan pincang melewati anak itu.

"Tunggu," anak itu menahannya. Altezza mendengus sebal. "Omong-omong, muka kamu pucat. Sepertinya kamu butuh istirahat."

"Tidak apa-apa. Aku hanya sakit kepala." Altezza mengangkat bahu dan menoleh saat merasakan kepalanya seperti di pukul. "Ergh, Luka. Kamu apa-apaan?" dia meraih tangan Luka dan menggenggamnya.

"Aku, gabut."

Altezza memutar mata dan melakukan putaran papan skate menggunakan tumit.

Luka membalas menggenggam tangan Altezza. Keduanya saling menggenggam. Dia meletakkan kakinya di ujung papan dan kaki lainnya di tengah papan. Altezza dan Luka menunduk sedikit, lalu melompat, dan mendarat di ujung papan depan, lutut kedua anak itu menekuk ketika melakukan pendaratan.

Mereka melakukan high five dan tertawa.

"Woi! Ada yang pingsan!"

Teriakan itu mengalihkan perhatian Altezza. Dia mengamati sekitar, mencari sumber suara. Di tengah lapangan skate yang luas, terlihat anak perempuan yang terlentang di salah satu kaki lawannya. Altezza menajamkan tatapannya. Dari luka di bibir dan keningnya yang sobek, sudah dapat dipastikan jika gadis itu pingsan karena dipukul. "Woi!" Gerrald membanting papan skateboard nya dan berlari mendekati adiknya yang jatuh tidak sadarkan diri. Semua orang perlahan mundur, memberikan ruang pada sang leader. Gerrald menepuk pipi Gracia. "Bangun. Cia, bangun."

Gracia tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Wajah pucatnya terlihat pulas di pangkuan sang leader. Gerrald mengangkat wajahnya sedikit, menatap ke arah pelaku pengeroyokan Gracia. "Maksud lo apa, brengsek!"

Ergazza menguap, terlihat tenang. "Aku nggak salah, Kak. Dia aja yang terlalu lemah," anak itu tertawa, dibalas dengan anggukan para teman-temannya. Ergazza memang terkenal sebagai ketua perkumpulan anak nakal di sekolahnya. Dan Gerrald adalah wakil ketuanya.

"Dia adik gue, Erga!" Gerrald emosi. Ekspresi santai diwajah Ergazza berangsur pucat.

"S-serius lo, Kak?" Ergazza mundur selangkah. Bukannya meminta maaf, dia malah menyalahkan temannya yang tidak bersalah. "Ini semua salah lo!"

"Rafa?" Rafael menganga.

"Iya. Harusnya lo bilang ke gue kalau cewek ini adiknya Kak Gerrald." Ergazza menendang anak itu hingga terjungkal. "Sekarang, lo minta maaf ke gue."

"Yang seharusnya minta maaf itu, kamu. Bukan Rafa!"

"Gue nggak salah. Jadi, nggak perlu minta maaf," ada nada tajam dalam suaranya. Rafael tertawa hambar. "Dengar." Ergazza menarik napas dalam-dalam. "Gue nggak akan ngehajar Gracia kalau tau dia adiknya Kak Gerrald."

Filosofi dan teman-temannya yang memperhatikan kejadian itu dari kejauhan hanya bisa menghela napas lelah, tidak paham dengan jalan pikiran Ergazza. Anak itu benar-benar membenci kekalahan. Sementara Altezza memilih melepaskan genggamannya dan meluncur dengan lurus melewati tiang slide. "Dia, cantik."

Altezza menggeleng. Dia menoleh, memfokuskan tatapannya pada Luka yang juga sedang menatapnya. Gadis itu memajukan bibirnya, cemberut. Salah satu sudut bibir Altezza terangkat, tersenyum tipis. "Luka-ku lebih cantik."

"Jejak, awas!" Sebagian skaters menghentikan latihannya dan berteriak. Altezza mengangkat satu alisnya. Karena tidak melihat ke depan, sesuai dugaan, Altezza menabrak tiang slide, kehilangan keseimbangan dan terjatuh, terguling beberapa kali dan mendarat di tiang slide berikutnya. Zero dan teman-temannya berlari mendekati anak itu. Altezza meringis tertahan.

"Kamu berdarah."

"Itu keren." Filosofi dan Purnama kompak mengangkat bahu, kemudian menggeleng. "Nggak. Mati lebih keren."

Meteor memukul kepala Filosofi dan Purnama dengan kepalan tangan. Anak itu memutar mata. "Ezz, ayo berdiri," dia mengulurkan tangan.

Altezza menggeleng dan berdiri sendiri. Dia berjalan pincang melewati Meteor dan menghentikan langkahnya setelah sampai di hadapan Luka. Anak itu mengerutkan kening, melihat setetes air jatuh melewati pipi. "Jangan nangis," Altezza menyentuh mata Luka dan mengusapnya pelan. "Cengeng."

"Biarin cengeng juga!" Luka menepis tangannya dan berbalik badan memunggungi Altezza. Tanpa gadis itu sadari, Altezza saat ini sedang menahan pusing. Luka menggigit bibirnya saat merasakan sebuah tangan menyentuh pinggangnya. Altezza memeluknya dari belakang. Anak itu mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya di perpotongan leher Luka sambil bergumam, "nggak boleh nangis. Nanti aku sedih."

TBC.
950 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang