EIGHTY TWO

8.7K 2.1K 544
                                    

Jauh di dalam kegelapan, jauh dari kehangatan, tubuh kedua remaja itu sama-sama membeku. Suara bisikan Zee membuat Altezza membuka mata, kemudian mendesis. "Luka," lidahnya menyapu telinga cewek itu. Napasnya hangat. Tubuhnya menggigil ketika Zee memeluknya. Altezza kehilangan kendali. Dia menaikkan bra Zee kemudian terdengar bunyi klik yang menghancurkan kesunyian.

"Altez." Zee menggigit bibirnya, cemas saat merasakan kaitan branya perlahan terlepas dari punggung.

"Oh, shit!" Filosofi berteriak, menginstruksikan teman-temannya yang masih berada di dalam air untuk menjauh. Sebagian dari mereka memutuskan untuk keluar dari air setelah melihat bra Zee mengapung di permukaan air. Filosofi meraih bra Zee dan melemparkannya ke arah Altezza. Altezza menangkapnya. Tangannya perlahan turun ke punggung Zee, menariknya mendekat dan membawa cewek itu ke dalam pelukan.

"Sialan," Altezza mengerang. Zee berusaha menjauhkan diri dari Altezza, tapi Altezza malah menekan punggungnya semakin merapat dan menenggelamkan tubuh mereka perlahan ke bawah air hingga ke dasar.

Kak Gaviantara mengintruksikan semua cowok-cowok disana untuk kembali ke tenda perkemahan. Tersisa Altezza dan Zee yang masih mempertahankan kedekatannya. Tidak ada lagi suara yang terdengar di telinga mereka.

Altezza melepaskan pelukannya dan berenang menjauh. Dia bisa melihat mata Zee yang bersinar tajam di dalam kegelapan yang membutakan. Rambutnya tergerai, menutupi sebagian wajah. Tatapan Altezza turun ke dadanya. Salah satu sudut bibir Zee terangkat, tersenyum sinis. Dia membiarkan Altezza menatap dadanya selama beberapa detik sebelum akhirnya berenang mendekat, dan menutup mata cowok itu dengan satu tangannya yang bebas. Altezza tertawa pelan, membuat gelembung udara keluar dari mulutnya. Dia menggenggam tangan Zee dan mengusapnya pelan, seolah isyarat sederhana itu bisa mengungkapkan semuanya.

Perlahan Zee menurunkan tangannya, mengamati Altezza. Tatapannya tidak terbaca.

Tanpa sadar, kedua remaja itu sudah berada di dalam air selama dua menit tanpa bernapas. Altezza menarik Zee kembali ke permukaan. Keduanya terbatuk dan menghirup udara, rakus. Terdengar suara teriakan cowok-cowok yang marah- lebih tepatnya iri pada Altezza. Zee tertawa pelan, mengangkat wajahnya sedikit, mengunci tatapan Altezza yang juga sedang menatapnya. Seolah-olah dunia menjadi sunyi dan hanya ada mereka berdua.

Altezza mendekat, menyentuh pipi Zee dan mengusapnya pelan. "Lo cantik kalau dilihat dari jarak sedekat ini."

Zee tersenyum tipis dan mendongak, menatap langit hitam yang terlihat mendung pucat dengan perasaan kebas.

"Ekhm!" Pak Bagus berdehem keras, berharap jika kedua remaja itu segera sadar akan keberadaannya di belakang mereka. "Ekhm-ekhm-ekhm-ekhm-ekhm!"

Altezza dan Zee sama-sama menoleh, menatap pria itu dingin. Hal itu tanpa sadar membuat amarah Pak tuyul semakin memuncak. Altezza dan Zee menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk kembali berenang hingga ke dasar. Filosofi dan teman-temannya berjalan tanpa suara ke arah Pak Bagus dan langsung menutup kepala pria itu dengan karung. Pak Bagus meronta-ronta saat tubuh mungilnya diangkat menjauh dari air terjun.

Altezza memejamkan mata. Seperti patung es yang tidak memiliki darah mengalir di tubuhnya. Cowok itu merasakan sesuatu yang kosong, hampa. Seperti kehilangan sesuatu. Zee menyentuh pipi Altezza yang sedingin es. Dia tertawa, meski dia terluka. Tapi, tidak ada yang melihat dia terluka. Mereka pikir Altezza bahagia hanya karena senyum kecil di wajahnya. Dia membodohi mereka semua.

"Lo nggak akan tau indahnya sembuh sampai lo merasakan sakit."

Pelan-pelan mata itu terbuka, menatap cewek di depannya setengah sadar. Mencoba merekam setiap detik kedekatannya dengan Zee. Dia bisa merasakan usapan lembut pada pipi dan keningnya yang terluka, dan rasa sakit cowok itu sedikit teralihkan. Jika diberikan kesempatan untuk membuat satu permintaan, Altezza hanya akan meminta Tuhan untuk membekukan waktu saat ini juga.

Pagi merambat lambat dan waktu seakan bergerak sangat cepat. Satu detik terasa seperti satu jam di dalam air. Altezza mendekat, semakin menipiskan jarak diantara mereka. Zee mencengkeram pundak Altezza dan kukunya menekan kuat hingga meninggalkan bekas. Tangan cowok itu perlahan masuk ke dalam kaosnya.

Zee menggigit bibirnya saat tangan Altezza perlahan bergerak menyentuh perutnya, naik ke atas dan memasangkan bra tanpa tali ke payudaranya yang hanya tertutupi kaos tipis sebatas dada, memperlihatkan perut dan pusarnya yang tidak memiliki cacat. Bahkan tanpa cela.

Setelah selesai, Altezza dan Zee memutuskan untuk keluar dari air dan berbaring di atas bebatuan basah di bawah pohon. Kedua remaja itu berbaring dengan membisu, memperhatikan cahaya yang berangsur menerangi langit seperti gelombang pasang yang terbuat dari api.

Altezza menutup matanya dengan lengan kiri. Kepala dan perutnya terasa sangat sakit. Sesekali terpejam, dan napasnya memburu cepat. Dia menekan lukanya. Darah merembes keluar. Mungkin, Filosofi benar. Luka di perut cowok itu membutuhkan beberapa jahitan. Karena sudah tidak kuat dengan rasa sakitnya, dia berteriak keras, membuat semua orang yang berkumpul di tenda perkemahan berlari panik mendekati Altezza. Napasnya semakin lama semakin pendek, dan semakin cepat, terlihat seperti penderita sesak napas parah. Lalu, keadaan sunyi senyap. Dan semuanya menjadi gelap dalam penglihatan Altezza.

TBC.
771 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang