FORTY FIVE

17K 3.6K 370
                                    

Meteor, Filosofi, Purnama dan Zero berdiri sembari bersandar pada bodi motor —melirik Altezza dan Grace seperti sekawanan anjing yang mengawasi predator. Tanpa kedua remaja itu ketahui, salah satu diantara mereka diam-diam menyukai Grace.

"Ezz?" Grace menghapus keringat dinginnya yang menetes ke mata. Ketika iris berwarna amber-nya itu terpaku, dia merasa seolah-olah semua rahasia terdalam di hatinya sedang digali. "Ada apa?"

"Ada kotoran di mata lo."

"Serius?" Grace memiringkan kepala, menatap pantulan wajahnya dari kaca spion motor. Pucat. Dahinya mengernyit. "Bohong, kan?"

Altezza tersenyum miring —tanpa berkata sepatah kata pun, dia menarik kerah depan jersey basket Grace dan menyentuh pipi cewek itu dengan bibirnya. Dingin. Grace tidak bereaksi. Waktu seakan melambat sepersekian detik. Altezza menjauhkan bibirnya dari pipi Grace ketika sesuatu di saku celana basketnya bergetar, menghancurkan kebekuan. Dia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ada satu pesan masuk,

Unknown: Dear love, gue berdoa untuk kesembuhan lo. Cepat sembuh.

Altezza tertawa hambar. Kepalanya terkulai di pundak Grace. Rambutnya yang basah menempel di wajahnya. Dia menelan ludah yang rasanya seperti duri. "Gue mau muntah."

_LUKA_

"Lo semua tau bahwa final sudah dekat, 'kan?" Filosofi melirik Altezza sekilas. Dia mencengkeram pergelangan tangannya yang patah. "Tapi kapten kita cedera."

"Ya. Dan kita semua harus datang ke perpustakaan selama istirahat untuk kelas tambahan khusus." Purnama mencekik lehernya sendiri. Dia membenamkan wajahnya di perpotongan leher Zero. "Lebih baik mati."

Filosofi mencengkeram bahu Purnama dan mengancam akan membantingnya ke tempat sampah. Cowok itu memiringkan kepala, memberikan kode pada teman-temannya untuk berbelok ke arah perpustakaan yang berseberangan dengan lab kimia. Kesembilan cowok itu berjalan membentuk formasi acak di belakang Altezza. Mereka semua berjalan santai melewati para siswi yang berdiri di sisi koridor kelas sebelas.

Jejak Altezza Gillova, Purnama Ilusi, Filosofi Emmanuel Kanaka, Meteor Abimana Lex dan Zero Earth Tyler —lima cowok yang paling mencuri perhatian mereka karena memiliki visual, mengalir darah remaja blasteran.

Beberapa siswi yang berpapasan dengan para anggota team basket di sekolahnya, sengaja memperlambat langkah hanya untuk menatap wajah sang leader —Altezza yang memiliki aura gelap, buas, dan ganas. Bekas luka memanjang di mata serta luka sobek di sudut bibirnya, menambahkan kesan nakal cowok bermarga Gillova itu.

"Kakak... punya pacar?" tanya salah seorang siswi yang berdiri menghalangi langkah Altezza. Dia menipiskan jarak dan mencengkeram ujung Jersey basket cowok itu, kaku. "Aku penasaran."

Altezza tidak mengatakan apapun. Dia menyisir rambutnya dengan jari, melirik penampilan adik kelasnya dari ujung kaki. Sexy. Tidak ada aksesoris yang melekat di tubuhnya. Hanya gelang tali yang melingkar di pergelangan tangannya, dan itu mengingatkankannya pada sosok Gracia. "Ya. Tapi gue dan dia sekarang udah beda dunia."

Waktu seakan melambat beberapa detik.

Filosofi bergerak cepat merangkul pundak sang kapten, mulut setia mengunyah permen karet. "Sekarang sih nggak ada. Memangnya kenapa?" alis sebelah kiri Filosofi naik. "Biasanya orang tanya begitu kalau mau nembak, kan?"

"Eum, itu," siswi itu melepaskan cengkeramannya. Dia menipiskan bibir. "Aku memang suka Kak Altez. Tapi aku juga nggak berniat mengubah status sejauh itu."

Filosofi dan teman-temannya —minus Zero dan Meteor kompak terkekeh.

Zero menyunggingkan senyum, kedua tangan di masukkan ke saku. Meskipun dia tersenyum ramah, matanya terasa dingin. "Cuma sebatas suka karena fisik?"

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang