NINETY FOUR

5.3K 1.5K 204
                                    

"Pah, anak lo pingsan." Ergazza berteriak serak. Ketika dia pulang, semua lampu mati kecuali ruang tamu. Ergazza melepaskan sepatunya yang basah dan berjalan mendekati Altezza yang tergeletak tengkurap di depan pintu. Cowok itu mengerang. Dia seperti sudah kehabisan napas. "Mati, ya?"

Altezza mendesis. "Pergi."

"Dih, nggak mau." Ergazza bersikap seperti bocah tengil. Remaja tujuh belas tahun itu duduk bersila di depan muka Altezza yang menatapnya penuh permusuhan. Ergazza menopang dagunya dengan satu tangan. "Kenapa lo bisa bertahan sampai sejauh ini?"

Altezza tidak mengatakan apapun.

"Gue kangen sosok lo di masa lalu. Gue kangen Altezza kecil yang cengeng. Gue kangen nendang kepala lo, ninju mata lo sampai bengkak, gores perut lo pakai pisau sampai berdarah. Dan moment dimana lo nangis karena kesal sama sikap gue yang menyebalkan." Ergazza tertawa tanpa humor. "Gue kangen semua itu. Terutama moment ketika lo muntah-muntah dan perut lo gue tendang. Eum, kalau kejadian itu gue ulang hari ini, apa lo bakalan muntah sampai mau mati?"

Altezza menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Bisa lo pergi? Kata-kata lo buat gue mual, brengsek."

Ergazza mengabaikannya. "Gue nggak tau sejak kapan hubungan kita jadi sejauh ini. Gue benci lo, Ez. Tapi gue nggak benar-benar benci. Seandainya dulu lo nggak lemah dan sakit-sakitan, kita nggak akan mungkin sejauh ini, kan? Dan sebagai kakak yang baik, gue-"

"Menjijikkan. Diam lo!" Altezza berteriak parau. Dia menatap Ergazza dengan tatapan permusuhan yang jelas. "Kapan lo pernah berperan sebagai Kakak yang baik?"

Ergazza tertegun. "Jadi maksud lo, gue ini Kakak yang jahat, ya? Padahal, dulu gue selalu melindungi lo." Tapi itu jauh sebelum Ergazza membenci cowok itu.

Jejak Altezza Gillova, dia dulu penakut. Di umurnya yang ke enam tahun, dia sudah menjadi korban bullying para teman-teman cowok di kelasnya. Anak itu tidak memiliki teman dekat. Tidak ada seorang pun yang mau menjadikannya teman. Dia dikucilkan karena lemah. "Mmm.. hmp.. mmm!" Altezza kecil memberontak ketika mulutnya di bekap dan tubuhnya diseret kesana kemari oleh Filosofi dan Flash. Dua anak cowok yang membencinya tanpa alasan. Altezza di dorong kasar dan terjatuh sembari berdengap, tangan menekan luka. Dia terbatuk. "Sa-kit."

"Sakit?" Filosofi tertawa. Dia menendang perut Altezza sekuat yang dia bisa hingga anak itu bisa merasakan kuku kakinya patah dan berdarah. "Jangan lemah, dong. Kamu itu cowok!" Flash menjambak rambut Altezza, memaksanya untuk mendongak. "Jangan nangis. Dasar, cengeng! Hapus air mata kamu dan ayo kita bertarung!"

"A-ku nggak mau." Altezza menangis.

Flash mendecih.

Terdengar suara desisan berdengap yang kuat. Flash dan Filosofi terjatuh ketika punggungnya tiba-tiba ditendang oleh salah satu anak cowok. "SUDAH KUBILANG JANGAN GANGGU ALTEZZA LAGI!!"

Altezza membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya yang tertekuk. Matanya memerah. Hidungnya berair. Bibirnya bergetar, membisikkan kata maaf berulang kali. Flash dan Filosofi berdiri dan balas menendang Ergazza. Tapi anak itu tidak tumbang. Ergazza terlalu kuat untuk anak seumuran mereka.

"Kalian mau coba berkelahi denganku, eh?" Ergazza menyibak rambutnya yang menutupi dahi. Dia menatap dua anak cowok di depannya, tanpa emosi. "Dengar, aku sedang nggak mood berkelahi. Jadi lebih baik kalian pergi sebelum mati."

"Berisik!" Flash keras kepala. Dia tidak akan pergi sebelum memenangkan perkelahian. Sementara Filosofi hanya memutar mata, menyaksikan Flash dan Ergazza bertarung dengan tubuhnya yang kecil. Mereka hanya anak berusia enam tahun. Perkelahian kedua anak itu terlihat konyol.

"Kalau berani mengganggu Altezza sekali lagi-"

"Apa?" Flash menantang.

Ergazza menyeringai lebar. Dia menendang kemaluan Flash hingga anak itu berlutut, mengerang kesakitan sembari menekan kemaluannya yang mengeluarkan cairan. "Itu. Aku bakalan tendang itu kamu sampai bengkok."

Filosofi membantu Flash berdiri.

Ergazza menatap punggung kedua anak itu yang perlahan menjauh. Tatapannya beralih pada Altezza yang menangis di bawah ban mobil. "Sudah. Jangan menangis lagi. Kamu kelihatan jelek, tau."

Altezza menghapus keringatnya yang menetes ke mata. Dia berdiri, berusaha untuk tidak menangis. Tapi kemudian itu berhenti ketika Ergazza berlari dan memeluknya. Tangisan anak itu pecah. Dia balas memeluk Ergazza tidak kalah erat. Dia mengelap ingusnya di pundak sang Kakak.

Ergazza berbisik, "Kalau kamu begini terus, mereka akan terus mengganggumu."

"Ta-pi aku nggak bisa sepertimu," suara Altezza bergetar. Air matanya membasahi seragam sekolah Ergazza. "A-ku penakut. Nggak jago berkelahi dan-"

"Oh, kamu mau menjadi seperti ku, ya?" Ergazza melepaskan pelukannya. Dia mendekat, menyejajarkan posisinya untuk menatap mata Altezza di depannya. "Coba lihat aku." Altezza menatap Ergazza. Anak itu mengunci tatapannya. Dia mengangguk. "Oke, kalau gitu aku beritahu caranya supaya kamu terlihat seperti aku!" Ergazza bersemangat. Dia menangkup kedua pipi Altezza dan menekannya. "Gampang banget kok. Kamu tinggal melototkan mata, seperti ini." Ergazza melotot.

"Se-perti ini?" Altezza melototkan mata, menirukan Ergazza.

"Lebih lebar lagi. Iya, seperti itu. Selanjutnya, tatap mata lawanmu dengan tajam!"

Altezza menajamkan tatapan. "Seperti ini?"

Ergazza tertegun. Mata Altezza bagaikan mata elang yang setengah terluka. Dia seperti elang yang mengincar mangsa dengan kondisi tubuh berdarah, terluka parah. Taringnya patah, bersimbah darah. Anak itu memiliki sisi hewan buas yang berbahaya.

Altezza memejamkan mata, kemudian menjatuhkan kepalanya di pundak sang Kakak. "Jangan membenciku, Erga. Aku hanya punya kamu," bisiknya.

Ergazza hanya menanggapi kata-kata itu dengan senyuman tertahan. Karena satu Minggu setelah hari itu, dia mengingkari janji tersebut.

"Kamu ingat? Dulu kamu pernah tanya padaku, kan? Aku ingin jadi apa kalau sudah besar. Aku... Aku tidak masalah mau jadi apapun. Selama kamu tidak membenciku dan menjadi temanku terus..." Altezza terbatuk. Matanya berair ketika Ergazza mencengkeram lehernya dan menghantamnya dengan dahi.

"Seperti ini?"

-x word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang