SEVENTY FOUR

8.2K 2.4K 696
                                    

Altezza melepaskan helm full face-nya. Pikirannya kosong. Penglihatannya seperti terbelah dua, antara dunia dan kehampaan.

Cowok itu meluruskan pandangan dan melihat satu tubuh terhimpit di bawah bodi mobil. Orang-orang yang ada disekitarnya mulai mengerubungi korban yang sudah jatuh tidak sadarkan diri. Tanpa berkata sepatah kata pun, Altezza turun dari atas motor dan berlari mendekati korban yang berjarak beberapa meter jauhnya. Orang-orang yang tadi mengerubungi korban mulai menjauh, memberikan ruang ketika Altezza tiba-tiba merangkak ke bawah bodi mobil untuk menarik korban yang terjepit. Cowok itu mendesis saat merasakan sesuatu yang basah mengenai matanya. Cairan kental itu merembes dari lukanya.

Altezza bisa mendengar suara deru napas korban yang tidak beraturan.

Gelap. Hitam. Pekat.

Altezza mengelap keringat yang menetes ke mata. Dia memeluk punggung korban sebelum akhirnya menyeret paksa tubuhnya sendiri keluar dari bawah bodi mobil. Sesekali mendesis saat punggungnya menyentuh sesuatu yang panas hingga melepuh. Cowok itu mencium aroma gosong. Dengan sisa tenaga yang dia punya, Altezza berhasil keluar. Dia membawa korban menjauh ke tempat yang lebih aman.

"Dia nggak mati, kan?" tanya salah seorang pengguna jalan yang melintas.

Altezza tidak mengatakan apapun. Dia membuka helm yang dipakai korban dan wajah Ergazza Gillova yang familiar membuat Altezza tanpa sadar menelan ludah. Altezza mulai merasakan ketakutan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Kesunyian terasa begitu mencekam. Semuanya membatu. Aliran keringat menembus ikat kepala di dahinya, menetes ke mata. Seperti mendapat sebuah hantaman keras, kepalanya berdengung sesaat.

Di sisi lain, Zee beringsut duduk setelah jatuh dari atas motor. Dia tidak mengingat apapun. Hal terakhir yang dia ingat adalah seorang pengendara motor yang mendorongnya menjauh hingga terbebas dari kecelakaan maut.

Zee tidak mengalami luka serius.

Salah seorang cowok berlutut di hadapannya. Dia membantu Zee melepaskan helmnya. Cowok itu menyentuh keningnya dan mengusapnya pelan. Zee berusaha mendorong tubuhnya yang terasa lumpuh menjauhi cowok itu. Ree menahannya. "Gue bukan hantu."

"Tapi- bukannya lo.. mati? Gue- lo. Atau gue," Zee meracau tidak jelas.

Ree tertawa pelan. Dia mengangkat kaosnya sebatas dada, memperlihatkan luka tusuknya yang perlahan mengering. Tertutupi kabut biru pudar. Dia tidak mati. Hanya mengalami henti jantung saat dilarikan ke rumah sakit. "Gue nggak mati. Tapi dia," Ree menunjuk ke arah Altezza yang mencoba memberikan pertolongan pertama, memompa dada saudaranya, berharap detak jantung cowok itu kembali berdetak. "...mungkin mati."

Zee menajamkan tatapannya dan menggeleng saat menyadari jika cowok itu adalah pengendara motor yang mendorongnya menjauh hingga terbebas dari kecelakaan maut. Tanpa berkata sepatah kata pun, Zee berdiri, berusaha sekuat tenaga mendorong kakinya yang terasa lumpuh mendekati Altezza dan korban kecelakaan itu. Napasnya memburu cepat. Altezza masih berusaha menyelamatkan nyawa Ergazza. Tangannya gemetar saat menyentuh tangan saudaranya. Dingin. Bibirnya menyunggingkan senyum tenang. Setelah detak jantung cowok itu benar-benar kembali, Ergazza segera dilarikan ke rumah sakit.

Altezza menyandarkan punggungnya di salah satu batang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Dia melihat Ambulance yang perlahan menghilang tertelan jarak. Orang-orang yang memperhatikan kejadian itu perlahan membubarkan diri dan kembali sibuk pada kegiatannya masing-masing.

Pelaku penabrakan Ergazza menggigit bibirnya, cemas. Dia dan teman-temannya masih berada di dalam mobil. Menatap satu sama lain, panik. Ini gawat. Mereka menabrak ketuanya sendiri. Salah satu dari mereka -menguap. Terlihat tenang. "Cabut, Jes." Gerrald memberikan instruksi.

Altezza mengangkat kepalanya dengan lemah. Mesin mobil kembali menyala. Kemudian ban mendecit saat Gerrald dan teman-temannya melarikan diri.

"Ini semua gara-gara lo," suaranya sedingin dan serapuh tetesan air beku. Altezza menatap Zee tanpa emosi. "Kalau sampai Kakak gue kenapa-kenapa, lo adalah orang pertama yang akan gue bunuh."

Meskipun rasa bencinya pada Ergazza sudah mendarah daging, Altezza tetap tidak bisa mengabaikan statusnya sebagai adik. Ergazza terlalu rumit. Dan Altezza lebih rumit lagi.

"Lo bisa bunuh gue kapan pun yang lo mau." Zee tertawa. Tawa yang terdengar janggal di telinga Altezza. "Papa dan Mama gue mengalami kecelakaan pesawat dan meninggal beberapa bulan lalu. Dan gue udah nggak punya siapapun." Zee mengigit bibirnya, tersenyum pahit. "Gue sendiri."

"Sendiri?" Altezza tertawa tanpa humor. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Ekspresi dingin di wajahnya berangsur santai. "Lo masih punya gue."

"Apa?"

"Mulai hari ini, lo cowok gue." Altezza menirukan perkataan Zee beberapa waktu lalu. "Itu artinya, gue cowok lo, kan?"

"Tapi waktu itu lo nolak gue."

"Oh, ya?" Altezza mengangkat satu alisnya. Dia terkekeh. "Gue cuma bilang kalau gue udah punya cewek."

"Tapi lo pergi. Itu artinya, lo nolak gue."

"Sejak kapan kata 'pergi' berarti 'nolak'?" Zee kehabisan kata-kata. Tanpa di duga, Altezza mendekat dan menarik cewek itu ke dalam pelukan. "Dimata gue, siapapun cewek selain lo, nggak boleh gue peluk." Zee mengangkat wajahnya sedikit, menatap Altezza khawatir sekaligus ngeri. Dia menahan napas saat merasakan usapan lembut pada pipinya yang memiliki bekas luka. Altezza menatapnya dalam kemudian mendekat dan menyentuh kening Zee dengan bibirnya yang pucat. "Apa gue boleh bilang ke Gracia kalau gue punya cewek selain dia?"

796 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang