SIXTY SEVEN

9.2K 2.3K 219
                                    

Satu Minggu berlalu setelah hari itu. Altezza menjadi bahan pembicaraan di seluruh sekolah. Begitu akhirnya lukanya sembuh, cowok bermarga Gillova itu kembali masuk untuk mengikuti latihan terakhirnya sebelum pertandingannya melawan team basket dari sekolah lain. Dua pelatih di sekolahnya sudah menahan anak itu agar berhenti. Tapi Altezza bersikeras dan mengancam akan berhenti dari ekskul basket dan melepaskan kedudukannya sebagai Kapten tim.

"Sudah cukup. Istirahatlah, Ezz."

Altezza merotasikan bola matanya, jengah. "Sudah selesai?"

Pelatih mengangguk, dan menghela napas panjang. Mereka kecewa.

Saat Altezza memutar mata, sesuatu menarik perhatiannya di ujung lorong. Grace berdiri. Dia menatap matanya dan memiringkan kepalanya ke belakang, mengisyaratkan agar cowok itu datang. Altezza menjatuhkan tasnya dan berjalan santai menghampiri Grace dan berhenti tepat di depannya, bersandar di dinding yang sama -berhadapan. "Apa?"

Grace memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Dia menunduk, memperhatikan perban yang menutupi luka cowok itu. "Berapa umur lo ketika pertama kali berkelahi?"

Alis Altezza bertaut. "Kenapa lo tiba-tiba menanyakan itu?"

"Ada seseorang yang mencoba mencelakai lo," kata Grace dengan sedikit lebih pahit dalam suaranya kali ini.

"Gue tau. Dan gue harap, orang itu bukan orang terdekat gue."

Grace tertawa tanpa humor. Dia menggeleng dan menepuk pundak sang kapten. "Lo tau siapa Ero, Ezz."

Altezza tidak mengatakan apapun. Dia melihat punggung Grace yang perlahan menjauh. Cewek itu terlalu misterius.

Filosofi yang baru datang dari arah berlawanan menyandarkan punggungnya di dinding yang sama, berhadapan. "Apa lo percaya jika orang yang menjebak lo di Bar waktu itu adalah Ero?" Altezza hanya menatap Filosofi, bibirnya terangkat ke atas. "Semua orang tau Zero." Filosofi terkekeh. "Lo dijebak," dia melirik ke lapangan basket. Matahari mengintip ke bawah lapangan, menghangatkan kulit, jeda dari hujan sebelumnya.

"Kenapa?"

"Sederhana. Kita bersahabat."

Altezza tertawa, yang membuat bahunya sedikit bergetar saat dia berbalik dan berjalan kembali ke pinggir lapangan. Dia membungkuk, meraih tasnya. Filosofi mendekat. Tanpa diduga, dia mengangkat kaos Altezza sedikit ke atas, memperlihatkan perban yang menutupi lukanya yang masih membuka. Altezza mendesis. Perutnya terasa perih ketika Filosofi menekannya. "Ini perlu dijahit."

"Nggak sedalam yang lo kira. Hanya goresan," kata Altezza.

Filosofi menggeleng. Dia kembali menekan lukanya. Kali ini cukup kuat, membuat perbannya bergesekan setiap beberapa detik. Altezza tersentak. Dan luka di bawahnya terasa semakin sakit. "Ini lebih dari sekedar goresan."

Altezza tidak menjawab dan hanya mundur selangkah menjauhi Filosofi. "Gue nggak apa-apa. Jangan berlebihan."

"Berlebihan?" Filosofi menggeleng. "Bukan gue yang berlebihan. Tapi lo yang selalu memanipulasi keadaan supaya terlihat baik-baik saja padahal disini..." Filosofi menyentuh dada Altezza, setengah menghajar. "Berdarah."

"Sial. Omong kosong juga ada batasnya," kali ini pernyataan itu seakan merobek leher Filosofi, seperti geraman. Altezza melangkah melewatinya dan berkumpul bersama anak basket lainnya yang sejak tadi memperhatikan cowok itu dari kejauhan. Mereka tidak mengatakan apa-apa. Sadar jika suasana hati Altezza saat ini sedang begitu berantakan.

Sebuah kursi menggores lantai. Lalu terdengar suara hantaman keras dari arah belakang. Mereka semua menoleh kompak. Seseorang menarik perhatian Altezza di ujung lorong. Matanya sedikit menyipit. Gadis dengan hodie abu berjongkok sambil memegangi kakinya yang sedikit terkilir. Lalu tanpa di duga, dia mendongak dan mengangkat satu alisnya seolah berkata, 'apa?'

507 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang