TWENTY SIX

25.5K 5.6K 1.4K
                                    

Setiap sekolah pasti ada misteri. Meskipun ada yang hanya berupa kabar angin, misteri itu tetap menarik untuk dipecahkan oleh beberapa siswa yang memiliki kekepoan akut yang mendarah daging.

Meteor dan Zero kompak memutar mata kala mendengar percakapan beberapa teman sekelasnya yang sedang merencanakan sesuatu untuk memecahkan misteri kematian kucing Pak Ganteng, Daratan. Kucing yang beberapa waktu lalu menghilang ternyata telah menjadi mayat dan di temukan tewas menggantung di salah satu pohon cabai. "Nggak logis banget, Anjing. Mati di pohon cabai? Ya kali Daratan depresi gara-gara diputusin cewek dan berakhir gantung diri di pohon cabai?"

Para siswa itu terlihat begitu serius dalam memecahkan misteri kematian Daratan.

"DARATAN!!" Teriakan Pak Ganteng terdengar hingga seluruh penjuru area sekolah. Beberapa Guru laki-laki terlihat sedang menenangkan Pak Ganteng yang menangis sembari memeluk mayat kucing yang dilapisi kain putih.

Filosofi melirik sekilas melalui jendela kelas dan menyeringai sinis kala Pak Ganteng tiba-tiba jatuh pingsan dengan tubuh Daratan yang sudah menjadi kaku. Tidak bergerak sedikitpun.

Konyol banget.

"Los!" Teriakan Fana membuat Filosofi mengalihkan atensinya ke arah cewek itu. Dia menyipitkan mata ketika Fana tiba-tiba berjalan mendekatinya dan mencubit pipinya -gemas. Zee dan Abigail yang baru memasuki kelas juga menampilkan ekspresi wajah yang mencurigakan.

"Ada apa?" Filosofi mengangkat satu alisnya. Dia menyentuh kening Fana.

"Aku nggak demam." Fana menepis tangannya.

Zee dan Abigail menyilangkan kedua tangan di depan dada. Kedua cewek itu memutar mata dan menulikan pendengarannya.

"Los, lo sayang kan sama gue?" Fana tidak membiarkan Filosofi mengatakan kata 'tidak' dan dengan cepat membekap mulut cowok bermarga Kanaka itu. "Lo nggak akan tega buat gue kecewa dengan menolak permintaan gue kan?" Fana memegang kepala Filosofi dan memaksanya untuk mengangguk. "Bagus." Salah satu sudut bibir Fana terangkat, tersenyum miring. Dia merogoh tas ranselnya.

Zee dan Abigail tersenyum misterius.

Fana membuka kotak bekal makanannya. Sementara Filosofi seketika membekap mulutnya -mual. "Bau busuk!"

"Itu bukan bau busuk!" Fana menahan Filosofi agar tetap duduk.

Filosofi menoleh ke arah Purnama yang langsung pura-pura buta. Cowok bermarga Kanaka itu memiringkan kepala -menatap Meteor dan Zero yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya tajam, seolah memberikan isyarat tersembunyi, "apa lihat-lihat? Mau mati?"

Fana menulikan pendengarannya saat Filosofi terus merengek minta di bebaskan. "Buah bau busuk."

"Itu bukan buah bau busuk. Itu Durian. Setelah dimakan, nggak akan ada bau." Fana menggenggam satu potong buah Durian dan membawanya ke depan bibir Filosofi. "Buka." Filosofi menggeleng. "Buka, nggak?" Dia kembali menggeleng. Fana menajamkan tatapan, kemudian mendesis. "Buka, Los." Filosofi lagi-lagi menggeleng. "Buka atau kita-" Filosofi membuka mulut dan segera melahap durian di tangan Fana sebelum cewek itu berhasil menyelesaikan kalimat putusnya.

Fana dan teman-teman sekelasnya tertawa puas diatas penderitaan Filosofi. Yang paling bahagia jelas adalah Buana. Cowok itu bahkan mengambil spidol permanen dan mencoret wajah Filosofi menjadi gambar Babi dan itunya cowok.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang