3. Kekalutan Adrian

159 8 0
                                    

Seorang pria dengan jas dokter tengah duduk di ruangan, kepalanya menumpu di atas lipatan tangan, memikirkan seorang gadis yang baru ditemui tadi malam. Kepalanya mendongak menatap jam yang menempel pada dinding. Helaan napasnya terdengar gusar, ia bangkit dan melepaskan jas. Kakinya dengan gesit melangkah menuju tempat parkir, setelahnya, mobil melesat pergi dengan sang pengemudi yang tampak tak tenang.

“Ayo, Adrian! Berpikirlah. Dimana Fay sekarang?”

Kepalanya celingak-celinguk mengamati keadaan sekitar lewat kaca mobil, meneliti orang-orang yang mungkin saja merupakan salah satu dari  yang dicari. Tangannya memukul setir dengan kuat, merasa gagal kala sudah membuat Fay lari, dan ia tak bisa menemukan dan membawanya kembali.

“Lebih baik saya pulang dulu, sudah petang, saya juga lapar gara-gara tadi tidak jadi makan.”

Adrian memutar balikkan mobil menuju rumahnya. Sekian menit berlalu, ia telah sampai di halaman depan. Matanya menangkap sosok Diana yang tengah bercakap santai dengan ibunya, jangan tanyakan Ardan, karena jawabannya hanya satu. Ia sibuk!

“Assalamu’alaikum, Ma, Mbak,” salamnya ketika berhadapan dengan dua wanita yang merupakan bagian dari keluarganya, tangannya terulur dan menyalami satu per satu.

“Loh, di mana, Fay?” tanya Diana.

Adrian menggaruk tengkuk gugup, ia bingung harus menjawab apa. “Dia ... it-itu, anuu. Saya mandi dulu,” jawabnya, membuat Diana dan Sarah segera berpandangan, namun setelahnya, mereka menggeleng bersamaan. Seolah tidak ingin ikut andil dalam permasalahan yang tengah Adrian hadapi.

Di lain tempat, Fay tengah mondar-mandir berjalan ke sana-kemari mencari lowongan kerja, bajunya sudah lusuh, bau badannya juga sedikit tak sedap karena keringatnya yang bercucuran sejak siang. Sudah dua jam sejak dirinya meninggalkan pemakaman. Ia tidak dapat kerjaan. 

“Arghhhh!”

Kakinya menendang kaleng minuman di trotoar ke sembarang arah.

“Hey, kamu!” panggil pria berkepala botak yang sudah berjalan ke arah Fay. Fay gelagapan, kemudian menetralkan mimik wajah kembali datar.

“Apa?” tanyanya ketika pria botak sudah di depannya.

“Lo gimana, sih? Pala gue sakit ini!” Pria botak dengan boxer dan kaos dalaman saja itu  memegang jidatnya mendramatisir keadaan.

Fay menatap jijik pada pria di hadapan. “Terus? Lo kira gue peduli!” Fay meninggalkan pria yang menurutnya tidak jelas itu.

“Laki kena kaleng gitu aja ngerintih. Cih!”

Fay kembali melanjutkan perjalanan tak tentu arahnya, kepala mulai terasa pening, kakinya pegal, dan yang pasti ... perutnya juga lapar. Ia mendudukkan diri di pinggir trotoar, kepalanya menunduk menatap jalanan. “Hah! Gue udah kaya orang gila aja.”

Tak peduli itu semua, dia mulai menumpukan kepala di atas lutut, mulutnya tidak berhenti menggerutu merasa sial dengan hidupnya yang penuh dengan cobaan. Sang mentari sudah mulai menenggelamkan diri, meninggalkan awan berwarna oranye. Fay mendongak menatap lekat senja di langit sana.

Azan Magrib terdengar menggelagar, sudah waktunya salat, Fay tidak beranjak dari tempat. Memilih untuk tidak menghiraukan panggilan Tuhan. Menurutnya, untuk apa salat jika hidupnya tetap sama, buang-buang waktu saja! Padahal yang dilakukannya kali ini justru buang-buang waktu.

°•°

Adrian keluar dari dalam kamar dengan tergesa, langkahnya terhenti ketika Sarah mendekat dan bertanya, “Mau ke mana waktu Magrib gini?”

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon