40. Surat dari Wawan

37 8 0
                                    

Tiga hari berlalu, terasa sangat lama bagi Adrian yang merindukan seseorang. Ya, selama itu Fay tidak pernah ada kabar.

Hari ini, Adrian sudah kembali ke Jakarta. Lelaki itu keluar dari mobil  memegangi bekas lukanya.

“Loh? Tante baru pulang?” tanya Fanya, ia sedang berada di halaman depan rumah. Menyirami bunga.

“Ya, seharusnya sudah dari tiga hari yang lalu, tetapi ada saja musibah. Adrian ditusuk seseorang.”

“Ditusuk?”

“Iya, Fa. Entahlah saat dalam perjalanan, tiba-tiba ada tiga preman yang menghadang jalan kami dan mengajak berkelahi. Para preman itu mau menusuk Fay, tapi Adrian menyelamatkannya.”

Fanya mengangguk-angguk.

“Apa kamu melihat Fay pulang?”

Alis saling bertautan. “Maksudnya?”

“Fay sudah lama tinggal bersama kami. Dari Bandung dia izin pulang terlebih dahulu.”

“Tapi Fanya nggak lihat, Tan. Justru baru tahu kalau Fay tinggal di rumah Tante.”

Sarah tersenyum sekali lagi, berpamitan pada Fanya dan melenggang masuk ke dalam rumah dengan memapah Adrian.

“Adrian ditusuk? Apa ini rencana yang disusun oleh ....”

Fanya menggeleng, gegas masuk dan bersiap ke kafe. Biar apa yang menjadi pikirannya ia tanyakan secara langsung saja.

“Ma, boleh minta ponselnya?”

Sarah mengeluarkan ponsel dan menyerahkan pada putranya.

Adrian membuka daftar panggilan, nomor tak dikenal berada di urutan paling atas.

“Mama tahu, ini nomor siapa?” Adrian menghadapkan layar ke Sarah yang sibuk menyiapkan obatnya.

“Nggak tahu, memang ada apa?”

“Nomor ini ada di urutan paling atas dalam daftar panggilan.”

“Mungkin Fay yang meneleponnya saat ponselmu ada padanya. Kamu hubungi saja nomornya dan tanyakan ada apa.”

“Iya, Ma.”

Ponsel berdering, namun tak kunjung diangkat. Apa orang ini sangat sibuk?

Adrian memandangi layar dengan napas gusar. Harusnya ia marah atas sikap Fay, tetapi entah mengapa ia justru merasa khawatir dan Adrian ingin sekali tahu nomor itu. Firasatnya mengatakan bahwa ada yang tidak beres.

Bi Ina masuk ke kamar membawa makanan untuk Adrian. Setelah menaruhnya di atas nakas, wanita tua itu melangkahkan kaki keluar.

Terhenti, Bi Ina kembali berbalik badan ketika Adrian bertanya, “Apakah Fay pulang, Bi?”

Sarah ikut memerhatikan.

“Tidak Mas, Mbak Fay sama sekali nggak pulang. Bibi kira beliau pulang hari ini sama kalian.”

°•°

“Pak,” sapa Fanya ketika berada di ruangan Erwin.

“Kenapa?”

“Apakah Bapak yang menyusun rencana atas penusukan yang terjadi dengan Adrian?”

Erwin bergeming, tak ingin membahas sebenarnya. Lagi pula, ini murni kesalahan Angeline. Gadis itu yang memaksa anak buah papanya yang ada di Bandung untuk mencelakai mereka.

Mereka sempat berebut, memilih siapa yang akan mereka celakai. Namun Angeline menang, gadis itu usul agar Fay saja. Karena jika Adrian, tentu ia tak rela.

“Pak, apa seperti ini definisi cinta menurut orang berpendidikan seperti Bapak?”

“Apa maksudmu?”

“Cinta itu tentang mengikhlaskan apa yang menjadi kebahagiaan orang itu, bukan malah dengan cara melukai seperti ini. Ini obsesi, Pak!”

Fanya berani menaikkan suara, gadis itu tak peduli lagi akan kehilangan pekerjaan atau tidak. Dirinya muak melihat lelaki sedewasa Erwin masih berpola pikir bocah.

“Yang terkena tusuk Adrian. Jika Fay, apakah Bapak rela?”

“Itu bukan kemauan saya, Fanya! Itu adalah rencana Angeline,” bantah Erwin tegas.

“Meski rencana Angeline, apa Bapak pikir, Bapak tidak ikut andil? Saya tidak habis pikir dengan kalian. Begini dibilang cinta, heh!”

Fanya bersedekap dada, memandang remeh bosnya dengan senyuman sinis terukir di wajahnya.

“Kamu! Berani sekali kamu meremehkan saya!”

Pada akhirnya, Erwin ikut tersulut emosi. Fanya mendekat pada Erwin. “Saya memang butuh uang, tetapi saya tidak sudi lagi bekerja dengan Bapak. Nanti akan saya urus surat pengunduran diri. Dan satu hal lagi, Fay dan Adrian selama ini tinggal satu atap. Rasanya mereka sudah benar-benar serius dan saling mencintai ya, Pak.”

Bunyi high heels Fanya menggema di ruangan kedap suara itu. Tangan Erwin terkepal. Kalut, lelaki itu memilih duduk dan menyeruput kopinya.

°•°

Fay kembali mengunjungi makam ayahnya yang ditempatkan di dekat makam sang mama.

Beberapa hari terakhir, Fay meminta izin kembali tinggal di rumah Ayu. Gadis bertutur kata lembut itu sempat kebingungan ketika mendapati Fay yang datang dengan menangis.

Hingga Ayu tahu semuanya ketika Fay sudah mulai bisa bercerita. Terenyuh, Ayu tersenyum lembut menenangkan gadis tegar yang sejatinya rapuh itu.

“Menurut Mbak, apa langkah selanjutnya yang harus aku ambil?” tanya Fay, ia masih fokus menabur bunga di kedua makam yang berbeda.

“Berdoa Fay. Tapi Mbak rasa, kamu perlu kembali ke Adrian dan mulai bercerita sebagaimana mestinya.”

“Aku takut, Mas Rian pasti marah.”

“Kenapa harus takut? Jika yang kamu lakukan adalah suatu kebenaran. Pulanglah!”

“Aku butuh waktu Mbak, rasanya belum sanggup kehilangan ayah. Aku juga belum siap kalau sampai kena marah Mas Rian.”

“Baiklah, Mbak ngerti kok.”

°•°

“Mau ke mana?” Sarah menautkan alis melihat Adrian sudah rapi.

“Ke rumah sakit bentar.”

“Kamu belum sembuh total, loh.”

Adrian tersenyum dan menepuk bahu mamanya, meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.

Sesampainya di rumah sakit, Adrian langsung memasuki ruang rawat Wawan. Tetapi tak lama kemudian, tiga kerutan muncul di dahi sempit Adrian, Apa Wawan dipindah? Untuk menjawab pertanyaannya, Adrian gegas menuju ruangan Dokter Sandra.

“Dokter sudah pulang?” tanya Dokter Sandra, berbasa-basi.

“Ya, em begini, Dok. Pasien yang saya titipkan ke Dokter Sandra di mana, ya? Tadi saya ke sana dan tidak menemukan siapa-siapa.”

Kini, alis Dokter Sandra yang saling bertaut. “Tiga hari lalu saya menyuruh Suster mengabari Dokter, pasien atas nama Wawan sudah meninggal dunia pukul satu siang.”

Adrian terkejut, lalu otaknya secara otomatis berputar pada nomor yang berada paling atas dalam daftar panggilannya dan kepergian Fay yang tiba-tiba saat mereka sedang berada di Bandung hari itu.

“Terima kasih.”

Dalam perjalanan, Adrian sempat menghentikan langkah ketika salah seorang suster mencegatnya.

“Dokter, sebelum pasien atas nama Wawan meninggal dan kondisinya memburuk, beliau sempat menitipkan surat ini untuk Dokter.”

Adrian membolak-balik amplop yang di dalamnya terdapat sebuah surat. “Baik, terima kasih. Kalau boleh tahu, Suster lihat gadis berhijab syar’i datang ke ruang pasien saat pasien meninggal dunia?”

“Betul Dok, saya melihat gadis seperti yang Dokter katakan. Ia datang kemari dan menangis ketika melihat pasien. Gadis itu mengaku sebagai putri pasien dan meminta pihak rumah sakit untuk memakamkan di TPU Kamboja.”

Cukup mendapat penjelasan singkat itu, sekarang ia tahu bahwa inilah yang menjadi alasan Fay meninggalkannya.

Kini, ia hanya perlu pergi ke TPU Kamboja untuk mencari makam Wawan. Pasti jika Fay yang meminta, makam Wawan akan bersisian dengan makam mamanya. Dan Adrian dapat memastikan kalau dia tahu.

°•°

To be continued ....

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now