31. Masakan Perdana Calon Istri

61 7 0
                                    

Mentari perlahan naik menggantikan bulan yang sudah berjaga semalaman. Membangunkan insan-insan yang masih bergelut dalam mimpi dan dalam hangatnya selimut. Fay yang sudah bangun sejak dini hari itu keluar kamar tepat jarum jam menunjuk angka enam.

Di dapur, sudah terdengar riuh. Mendekat, ia melihat Mbah Ningsih yang duduk dengan secangkir teh di meja makan. Sedangkan Sarah dan Diana terlihat masih memotong bawang dan sejenisnya.


“Hai, Fay,” sapa Diana. Gadis itu masih tinggal di rumah orang tuanya sampai resepsi dilaksanakan.

“Iya, Mbak. Ada yang bisa aku bantu?”

Diana terlihat menoleh kanan-kiri, gadis itu mengamati sesuatu yang sekiranya bisa dikerjakan Fay. “Kami rencana mau buat nasi goreng, Fay. Kamu bisa?”


Fay gelagapan, mana mungkin ia bisa. Selama hidup bersama mamanya, ia tidak pernah memasak ataupun melihatnya. Setelah kepergian sang mama. Hampir setiap hari, gadis itu hanya makan nasi, mi instan, telur. Begitu seterusnya.


“Masa nggak bisa, ini yang paling mudah loh, Fay.”


“Mbak, ajari Fay! Jangan ngegas begitu, namanya orang nggak bisa, semudah apa pun itu tetap sulit baginya.”


“Ya sudah, Fay. Kamu belajar masak nasi goreng dulu.  Kita buat dua. Masakan kamu khusus untuk calon suami.”


Fay terlihat gelisah karena tidak yakin bahwa ia bisa. Namun tak ayal, kepalanya mengangguk singkat menyetujui. Diana menitah Fay dengan sabar, rupanya hanya sekadar memotong bawang saja Fay terlihat sangat kesusahan. Terlebih lagi saat menggorengnya, gadis itu berkali-kali menyipitkan mata dan menjauh dari kompor.


 Namun soal rasa, dalam artian pemberian garam dan penyedap lainnya, Diana angkat tangan, gadis itu membiarkan Fay mencoba dan menyesuaikan sendiri.

“Mbak, kenapa kita harus belajar masak? Em maksudnya, bukankah wanita tidak wajib bisa?” tanya Fay, gadis itu sedang menyiapkan nasi gorengnya. Dengan telaten, gadis itu menambahkan beberapa sayuran di atasnya. Hanya jadi satu piring, dan itu untuk calon suaminya, Adrian.

Ia akan ikut makan masakan Diana saja yang sudah jelas enak. Saat kembali mencicipinya, gadis itu merasakan nasi gorengnya tidak asin. Meraih garam, tidak tanggung-tanggung ia memberikan banyak garam pada masakannya yang sudah siap dimakan.


“Fay, yang kamu tahu, kewajiban seorang istri itu apa?”


Diana balik bertanya, Fay menoleh dan tersenyum. Sempat mencuci tangan sebentar dan kembali mengamati Diana yang masih berkutik dengan peralatan dapurnya. “Ya, patuh sama suami, Mbak.”

Dalam pikirnya, mengapa pertanyaannya bukannya dijawab, tetapi malah ia yang bertanya balik. Mbak Diana ini aneh sekali.

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now