33. Pasien Itu ...

36 9 0
                                    

“Kamu tunggu di sini saja, ya!” seru Adrian, lelaki itu gegas memakai jasnya dan keluar dari ruangan meninggalkan Fay sendirian.

Memasuki ruang rawat, ia disambut oleh beberapa suster yang sudah siap menangani pasien.

“Siapkan peralatannya sekarang, Sus!”

Para suster yang bekerja dengan Adrian itu sudah menyiapkan beberapa peralatan yang dibutuhkan.

Langkah pertama, Adrian melakukan pemeriksaan kondisi fisik. Termasuk tekanan darah, dan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti tes darah dan tes urine, untuk mengevaluasi kondisi keseluruhan penderita hipertensi emergensi.

“Sus, siapkan infus!”

“Baik, Dok.”

Suster itu sigap memasangkan infus pada pasien. Sedangkan Adrian masih mengecek tekanan darah.

Karena langkah kedua dalam menangani hipertensi emergensi adalah pemberian obat-obatan dalam bentuk suntikan atau infus, seperti sodium nitroprusside, labetalol, nicardipine, fenoldopam, dan clevidipine. Yang difokuskan untuk mencapai tekanan darah target dalam kurun waktu 24-48 jam, guna mencegah kerusakan organ yang lebih parah.

“Alhamdulillah, tekanan darah pasien sudah stabil,” gumam Adrian.

“Suster, berikan obat antihipertensi oral untuk mengontrol tekanan darah!”

Tak menunggu lama, salah satu suster gegas melakukan apa yang disuruh oleh Adrian.

“Dokter, pasien gagal napas!” seru salah satu suster. Adrian mendekat, ia segera memasang alat bantu napas.

Semua menghela napas lega, hipertensi emergensi bisa berakibat fatal dan bukanlah kondisi yang bisa dianggap sepele. Oleh karena itu, mencegah hal ini terjadi lebih baik dari mengatasinya.

Caranya adalah dengan memantau tekanan darah secara rutin, minimal satu tahun sekali.

Jika memiliki riwayat tekanan darah tinggi, konsumsilah obat yang diberikan dokter secara rutin meski merasa baik-baik saja. Karena hipertensi emergensi bisa terjadi tanpa gejala.

Selain itu, lakukan kontrol ke dokter secara rutin sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

°•°

“Mas, sudah selesai?” tanya Fay, Adrian sudah duduk di kursinya.

“Kamu kelihatan panik banget, loh.”

“Ya, masalah ini tidak bisa dianggap sepele.”

“Memang kamu memberikan pengobatan untuk penderita apa?”

Adrian menceritakan semuanya pada Fay. Entah, hati Fay tiba-tiba merasa terenyuh kasihan ketika pasien Adrian dibawa oleh warga tanpa keluarga yang menemani.

“Aku .... boleh jenguk?”

“Boleh, tapi tunggu sebentar ya. Saya capek.”

Fay mendekat, gadis itu dengan telaten memijit pundak Adrian dengan tangan kecilnya.

“Sudah ‘kan? Ayo!”

“Bagaimana Pak, ada keluhan?” tanya Adrian ketika sudah berada di ruang rawat pasien yang baru saja ditangani. Lelaki paruh baya itu sudah sadar. Tapi, tatapannya terpusat pada gadis berhijab lebar di sisi Adrian.

“Saya, merasa pernah kenal kamu.”

Lelaki itu menunjuk Fay. Adrian mengernyit, lewat tatapan itu ia bertanya. Namun dibalas gelengan kepala.

“Ini istrinya, Pak Dokter ya?”

“Insya Allah calon, doakan ya, Pak.”

“Melihat kamu, saya jadi ingat anak perempuan saya. Mungkin sekarang sudah besar sama seperti kamu. Tapi entahlah, mungkin dia benci atau bahkan enggan untuk bertemu dengan saya. Saya adalah ayah yang jahat.”

Fay mendekat, gadis itu mengusap bahu lelaki yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit dengan selang infus yang menempel di tangan.

“Sabar ya, Pak. Saya yakin, anak Bapak tidak akan membenci Bapak.”

Fay menangkupkan tangan di depan dada. “Nama saya Fay, dia Dokter Adrian.”

Lelaki itu mengangguk. “Saya Wawan.”

Deg.

Jantung Fay memompa lebih cepat. Ia menggeleng. Hanya nama saja yang mirip. Tidak, tidak mungkin jika pasien bernama Wawan ini adalah ayahnya.

Fay mengamati lebih dalam, ia melihat tahi lalat di bawah telinga, tepatnya di bawah rahang pasien itu. Benar, tidak salah lagi, ayahnya bernama Wawan. Dan tahi lalat itu, yang menjadi ciri khas dari lelaki yang dibencinya. Matanya melotot. Ia menjauh dari brankar mendekati Adrian.

Selang beberapa detik, gadis itu melenggang keluar dari ruangan. Adrian mengikuti langkah Fay yang menuntunnya ke arah taman.

Pantas saja, lelaki itu merasa tidak asing dengannya. Benar juga, ucapan Fay tadi itu, ia tarik kembali. Gadis itu bahkan sudah mendarah daging rasa bencinya. Tetapi apa tadi? Ia yang mengatakannya sendiri bahwa pasti anaknya tidak akan membencinya.

Bahkan jika Fay tahu, ia tidak akan sudi mengelus bahunya guna menenangkan.

“Fay, kamu baik-baik saja?”

Fay menyembunyikan muka di kedua telapak tangannya. Gadis itu sepertinya tidak menangis. Tetapi .... Terlihat seperti sedang menahan amarah.

Tangannya mengepal, mukanya memerah. Dan tanpa sadar gadis itu menghambur ke pelukan Adrian.

“Hiks hiks.” Tangisan itu pecah, kembali menyayat hati Adrian.

Lama, gadis ini sudah tidak pernah lagi menangis. Tetapi sekarang ia bahkan sampai kembali memeluk Adrian. Jika dalam keadaan sadar, pastilah Fay akan sesegera mungkin melepas pelukannya karena takut dosa.

“Di-dia ....”

“Siapa?” tanya Adrian. Lelaki itu tidak membalas pelukan Fay. Hanya menyerahkan tubuhnya tanpa berniat mengelus punggung Fay.

Takut, jika tiba-tiba Fay sadar dan akan mendorong dirinya dan menuduhnya yang macam-macam atau bahkan mengambil kesempatan.

“Pasien kamu tadi, di-dia ayah, Mas.”

Kalimat tersendat itu belum bisa dijabarkan oleh Adrian. Hingga beberapa menit Adrian terperangah.

“Bagus dong, Fay!”

Fay menjauhkan tubuh. “Maksudnya?”

“Dengar, kita akan segera menikah. Sebagai seorang perempuan. Kamu wajib mempunyai wali. Kita minta restu ayahmu sama-sama, ya?”

“Mas, kamu-“

“Saya tahu, tapi kamu itu sedang dalam proses hijrah, berniat menjadi lebih baik lagi. Jadi saya mohon, lapangkan dada dengan cara memaafkan. Apalagi ayah itu adalah cinta pertama untuk anak gadis-“

“Cinta? Orang yang pertama kali menyakiti aku, Mas! Bukan cinta pertama aku. Apa ia masih pantas aku sebut ayah?”

“Fay, istighfar!”

“Kamu nggak akan pernah tahu, Mas. Gimana sakitnya aku.”

“KAMU NGGAK PERNAH TAHU! KAMU NGGAK AKAN TAHU SAKITNYA AKU DITINGGAL LELAKI BAJINGAN ITU, DIA UDAH BUANG AKU DAN MAMA. DIA, DIA YANG MEMBUAT HIDUPKU HANCUR. KAMU NGGAK AKAN PERNAH TAHU, KARENA KAMU NGGAK MERASAKAN SEMUA ITU!” teriak Fay.

Adrian tersulut emosi, ia tidak suka perempuan berteriak di depannya apalagi di tempat umum.

“FAY, DIAM!” Adrian balas berteriak.

Harusnya, dalam sebuah hubungan, satu menjadi api, satu menjadi air. Yang mana jika salah satu sedang tersulut emosi, maka yang satu berusaha mendinginkan.

“Lihat, kamu sama aja kayak ayah, tahu nggak!” Suara Fay sudah lirih, gadis itu menutupi mukanya yang sudah banjir air mata dengan sebelah tangan.

Fay melenggang pergi dari taman, Adrian meraup muka frustrasi. Kali ini bukan kesal, tetapi menyesal. Ia tahu, perlakuannya justru membuat hati Fay kian terluka.

“Maafkan saya, maafkan saya, Fay. Harusnya saya bisa memahami kamu. Harusnya saya tidak memaksa kamu.”

°•°

To be continued ....

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now