42. Berhenti

25 7 0
                                    

“Mungkin cara kita ini memang sudah keterlaluan.” Kesadaran timbul dari hati terdalam Erwin. Lelaki itu sedang berbincang dengan Angeline di sebuah taman.

“Kok bisa lo jadi kayak merasa bersalah gini?” tanya Angeline.

Angeline menatap Erwin sinis. “ Lihat gue! Rencananya, gue ingin  para anak buah bokap lo itu nusuk Fay, tapi yang kena malah Adrian. Lo tahu? Gimana syoknya gue waktu itu? Tapi gue biasa aja kok. Justru gue ingin kita susun rencana lagi.”

“Apa itu artinya kamu benar-benar cinta?” Angeline terdiam. “Apa kita ini bisa dibilang mencintai jika kita berniat melukai?”

“Lo ngapain bahas ini, sih? Emang lo mau Adrian dan Fay nikah?!”

Kobaran amarah makin meletup ketika Erwin memilih pergi meninggalkannya. Sepertinya lelaki itu memang enggan membahasnya lebih lanjut.

Erwin menatap lurus jalanan yang lengang, hanya terdapat beberapa orang berlalu lalang di trotoar.

Dering ponsel membuyarkan lamunan, Erwin terkesiap melihat nama sang papa tertera di layar.

“Kenapa?”

“Rupanya pihak yang kamu celakai waktu itu melapor ke hukum. Anak buah papa itu menghubungi papa dan meminta diterbangkan ke luar negeri.”

“Tapi sekarang aman, ‘kan?”

“Aman kok, papa sudah menerbangkan mereka kemarin.”

“Baguslah.”

°•°

“Fay, kamu lihat papa?” tanya Adrian, lelaki itu terlihat membawa nampan berisi dua cangkir kopi.

“Kayaknya tadi ke depan, mungkin di teras?”

“Mungkin.”

Adrian berjalan keluar ketika sudah meminta izin ke Fay. Lelaki itu celingukan mencari sosok yang dicarinya.

Adrian Mendekatkan langkah ketika sayup-sayup suara terdengar di telinga. Berjalan pelan. Ia berusaha menangkap pembicaraan Ardan dengan seseorang di telepon.

“Astaghfirullah, berdosa Adrian.”

Balik badan, Adrian mendudukkan diri di kursi yang berada di teras rumah. Niatnya, ia akan menunggu sang papa saja yang menghampirinya.

“Loh? Ngapain?” tanya Ardan, kemungkinan terbesar lelaki itu sudah selesai berbicara dengan Fandy di telepon.

“Duduk, Pa!” perintahnya.

Ardan menurut, sedikit mengangkat kain yang melekat menutupi tubuh bawahnya, meletakkan ponsel di meja. Ia menempatkan kedua tangan di atas paha.

“Adrian sih hanya ingin ngobrol dengan, Papa. Ini kopinya.”

Adrian menunjuk kopi yang dibawanya dari dapur. Ardan lekas meneguk pelan-pelan. Nikmat rasanya, kepulan uap dari aroma kopi yang khas membuatnya memejamkan mata.

“Pas. Tidak terlalu manis, tidak terlalu pahit. Kamu tahu Papa.”

“Ini yang buat mama.”

Ardan mendengkus. Adrian terkekeh. Baginya, Ardan adalah sosok yang tidak terlalu ekspresif, lelaki itu cenderung lebih suka menampakkan raut datar.

“Tumben sekali, memangnya apa yang ingin dibicarakan?”

“Perihal pernikahan Adrian dengan Fay, Pa. Semenjak ayahnya meninggal, Fay nurut-nurut saja mau diajak nikah kapan.”

Giliran Ardan yang terkekeh menanggapi. “Benarkah? Bagus dong, bisa secepatnya kalau kamu mau.”

“Tapi ingat, menikah itu jangan karena kamu sudah merasa mampu menafkahi. Tapi menikahlah karena kamu sudah sanggup membimbingnya menuju syurga. Hakikat menikah itu tak lain dan tak bukan adalah untuk beribadah. Ibadah terlama dan teristimewa bagi kaum muslim.”

Adrian mengangguk. “Insya Allah, Pa. Ya sudah, biar nanti Adrian diskusi dengan Fay saja lah, dengan Papa sepertinya bukannya dapat pencerahan, malah nasihat panjang lebar.”

“Papa masuk dulu. Itu kopinya sudah habis, cangkirnya tolong kamu bawa, ya.”

Adrian mengambil ponsel Ardan ketika lelaki yang ia sebut papa itu mungkin lupa membawanya.

Adrian bangkit berdiri, mengantongi ponsel sang papa dan membawa cangkir ke dapur.

Menaruhnya di wastafel, ia terkesiap ketika getaran dari saku celana mengagetkannya.

Mengambilnya, Adrian menautkan alis. Pesan dari Fandy.

“Pa, polisi kembali mengabarkan bahwa preman-preman itu memang sudah tidak bisa ditemukan di wilayah dalam negeri. Satu-satunya cara untuk menyelidiki kasus penusukan Adrian ini adalah kita harus ....”

Pesannya tidak bisa terbaca semua, karena Adrian hanya melihat dari layar yang menyala. Tidak berani membuka secara langsung. Merasa kurang sopan walau yang dilakukannya juga tidak sopan.

Ponsel dalam genggamannya tertarik, Ardan menatap tajam Adrian.

“Em, maaf Pa, tadi niatnya mau Adrian kembalikan. Tapi ada pesan dan Adrian sempat membacanya.”

Ardan terlihat salah tingkah sendiri, jika begini ceritanya. Hancur sudah rencananya menyelidiki kasus itu.

“Berarti selama ini Papa dan Mas Fandy bekerja sama melakukan penyelidikan?” Ardan tidak menjawab.

“Tak usah lah Pa, sudah Adrian bilang, masalah ini tidak perlu diperpanjang.”

“Tapi, Papa hanya ingin tahu siapa dan apa tujuan mereka menyerang kamu.”

“Pa, please. Adrian tidak mau terlibat dengan masalah apa pun. Selama Adrian merasa tidak bersalah, Adrian baik-baik saja. Jadi tolong, Papa berhenti menyelidiki kasus ini, ya?"

Adrian melewati Ardan. Dalam hati, Ardan berkata, “Papa tidak janji.”

°•°

To be continued ....

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ