38. Kritis

29 7 0
                                    

Ngiung ... Ngiu ngiu ngiu ....

Sirine ambulans terdengar, detik itu juga Adrian gegas dibawa masuk ke dalam. Keluarga menyusul dari belakang.

Rumah sakit sudah menyiapkan ruang instalasi gawat darurat (IGD). Adrian memang terkenal hingga luar kota, buktinya dokter yang akan menanganinya sempat mengenali dengan menyebut namanya.

Luka tusuk bisa menyebabkan infeksi berlanjut ketika tidak segera mendapat pertolongan. Luka ini bahkan bisa menyebabkan nyawa terancam apabila luka mengeluarkan darah yang sangat banyak atau menyebabkan munculnya semburan darah.

Kemudian darah yang apabila keluar tidak berhenti setelah ditekan dengan kuat selama 10 menit. Terjadi di leher, dada, perut, atau wajah. Misalnya di mata lalu darahnya masuk ke dalam tenggorokan. Disertai gejala berupa nyeri hebat, napas cepat, kesulitan bernapas, muntah pusing, bahkan penurunan kesadaran.

Bila mendapati kondisi-kondisi di atas pada korban luka tusuk, segera hubungi instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit untuk mendapatkan penganan medis secepatnya.

“Ya Allah, Pa. Bagaimana dengan Adrian? Papa juga, tadi Mama ‘kan sudah bilang. Panggil polisi, Pa. Astaghfirullah ... Hiks hiks.”

Ardan merengkuh Sarah, menenangkan seorang ibu yang tengah merasakan sakit karena putranya juga sedang kesakitan.

“Maaf, ini semua salah aku.”

Sarah mengusap air mata, gegas mendekat pada gadis yang sedang tertunduk itu.

“Tidak, Fay. Ini sudah menjadi takdir Adrian. Segala musibah bukankah tidak ada yang tahu?”

Mereka berdua menangis. Hingga harus tertunda ketika handle pintu terputar dan menampakkan dokter dan para suster.

“Keadaan Dokter Adrian masih kritis. Tapi untungnya juga kalian segera membawanya ke sini. Karena jika tidak akan membuat nyawa lebih terancam. Berdoalah Bu, Pak. Agar sesegera mungkin Dokter Adrian bisa melewati masa kritisnya.”

Tubuh Sarah kian melemas. Tulang seolah rontok dan sendi-sendi sudah tidak lagi bergerak dalam tubuhnya.

Adrian merupakan anak yang tangguh, lelaki itu sejak kecil sudah terkena penyakit. Hingga menurut orang-orang zaman dulu, ketika besar nanti akan terhindar dari penyakit.

Lama, Adrian tidak pernah merasakan sakit. Tapi kali ini, lukanya saja sudah sangat mengancam nyawa dan membuat kondisinya kritis.

“Apa sebaiknya aku hubungi Mbak Diana?” usul Fay.

Sarah menatap Ardan sebentar. “Em, bagaimana, ya, takutnya menganggu mereka.”

“Teleponlah, Fay, bagaimanapun Diana harus tahu ini. Mumpung lokasi kita juga belum jauh dari tempatnya, " sahut Ardan.

“Baik Om, Fay telepon!”

°•°

“Apa?!” Teriakan Diana mampu membuat Fandy mendekat. Lelaki itu bertanya kenapa tanpa mengeluarkan suara.

Diana memutuskan panggilan setelah tahu alamat rumah sakit, ia meletakkan kembali ponsel ke atas meja. “Adrian ketusuk, Mas. Dan se-sekarang dia sedang dalam kondisi kritis.”

Fandy selalu tenang menghadapi segala situasi. Apa pun itu, dia tersenyum dan menyuruh Diana bersiap. Segera mereka pergi ke rumah sakit.

Sesampainya di sana, hati Diana ikut terenyuh melihat Fay dan Sarah yang masih menatap sendu ke arah pintu IGD.

“Bagaimana, Ma? Ada perkembangan?”

Serempak, Fay dan Sarah mendongak bersamaan menatap Diana. Keduanya menggeleng. “Dokter belum keluar lagi.”

Wajah keduanya lusuh. Diana mengamati gamis Fay yang terdapat bekas percikan darah.

“Fay, gantilah pakaianmu. Lihat, banyak darah di sana.”

“Enggak pa-pa, Mbak. Mas Rian kayak gini gara-gara melindungi aku. Aku bakal tungguin dia di sini, aku nggak mau ke mana-mana.”

Diana duduk di sisinya. Sedangkan Fandy, lelaki itu pergi ke kantin rumah sakit membeli minum untuk keluarganya.

“Waktu sudah hampir Zuhur. Ada baiknya kamu berganti pakaian, salat dan berdoa untuk keselamatannya. Kita serahkan semua pada Tuhan, kita juga percayakan ini pada tenaga medis yang sedang berusaha menyelamatkan Adrian.”

Merenung sebentar, Fay mengangguk dan beranjak ke toilet untuk berganti pakaian. Ketika selesai, Fay langsung pergi ke mushola.

Segenap hati ia mendoakan Adrian, meminta pada pemilik alam dan seisinya agar mau memberikan kesembuhan untuk calon suaminya.

Entah, tiba-tiba saja otak Fay dengan otomatis memutar memori bersama ayahnya, Wawan. Ada sedikit perasaan yang mengganjal di dasar hatinya. Entah apa itu, ia mencoba bersikap seperti biasa dan tidak peduli.

°•°

“Dokter, pasien hipertensi emergensi di ruang rawat inap nomor 43 mengalami ensefalopati,” ujar seorang suster pada Dokter Sandra, yaitu dokter wanita yang diutus Adrian untuk menjaga Wawan selama dirinya pergi ke Bandung.

Pada beberapa kondisi, hipertensi emergensi juga bisa menyebabkan ensefalopati, yaitu ketika tekanan darah yang sangat tinggi memengaruhi fungsi otak secara langsung. Gejala yang ditimbulkan jika hal itu terjadi dapat berupa sakit kepala parah, penglihatan kabur, kebingungan, kejang, dan penurunan kesadaran.

Jika tidak segera diatasi, hipertensi emergensi dapat menyebabkan kerusakan parah pada organ tubuh. Beberapa kondisi kerusakan organ yang terkait dengan hipertensi emergensi adalah stroke, gagal jantung, kerusakan ginjal, edema paru, serangan jantung. Aneurisma, dan eklamsia pada ibu hamil.

“Kita terlambat, Sus!”

Dokter Sandra mulai menyuruh para suster untuk menyiapkan segala keperluan. Sudah siap.

“Detak jantung pasien melemah.”

Dokter Sandra mulai memegangi alat pacu jantung—defribrilator. Yaitu alat untuk mengatasi gangguan irama jantung atau aritmia yang dapat mengancam jiwa. Alat yang dapat ditempelkan pada dada atau area perut pasien untuk membantu mengontrol ritme jantung yang tak normal.

Alat itu akan mengirimkan kejutan berupa listrik ke jantung untuk membantu merangsang agar detak jantung dan otot jantung bisa kembali normal.

Alat pacu jantung juga membantu Dokter Sandra memonitor dan mengontrol detak jantung pasien. Sedangkan elemtroda atau alat sensor mendeteksi aktivitas listrik pada jantung dan mengirimkan data melalui kabel ke komputer di dalam generator.

Tiit .... Tiit ....
Monitor detak jantung berbunyi, membuat dokter dan para suster melirik ke arahnya. Garis lurus terlihat, tanda sudah benar-benar tidak ada sedikit detak jantung di dalam tubuh pasien.

Semua angkat tangan, menyerah.

“Qodarullah.” Ini kuasa Allah.

Para suster sudah mencabut seluruh peralatan medis yang menempel. Suster lain ada yang mencatat detail kematian pasien.

“Hubungi Dokter Adrian, Sus.”

“Baik, Dok.”

Panggilan tersambung, butuh waktu beberapa menit untuk menunggu.

“Selamat siang, Dok. Pasien yang dokter amanahkan kepada Dokter Sandra atas nama Wawan, penderita hipertensi emergensi yang berada pada ruang rawat nomor 43. Baru saja meninggal dunia tepat pukul 13.15—“

Tuuttt ....

Suster itu menautkan alis, bingung karena ucapannya disela oleh dokter Adrian dari seberang. Padahal ia belum selesai berbicara.

°•°

To be continued ....

Info seputar penanganan medis di atas saya dapatkan melalui internet. Barangkali ada yang keliru, mohon maaf yang sebesar-besarnya. 🙏

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now