13. Kamu Yakin?

84 9 0
                                    

"Ehem!"

Diana dan Fandy menoleh bersamaan. Mendapati Erwin dengan muka lebam yang tengah mengantongi kedua tangannya.

Diana sedikit khawatir dan ingin tahu apa penyebab lelaki yang pernah mengisi hati nya itu lebam. Seperti habis dipukul. Namun, tangan Fandy yang tiba-tiba menggengam tangannya membuat ia sadar, bahwa ia harus bisa menjaga hati Fandy.

Diana mencelos pergi, meninggalkan Erwin yang masih memandanginya. Fandy yang tangannya terpaut dengan Diana. Hanya bisa mengikuti langkah gadis itu.

Erwin ternganga. "Dia sudah punya kekasih baru? Cih murahan! Baru putus sudah punya pengganti."

Aih kenapa kesannya Erwin masih mengharap dan menginginkan Diana kembali.

Lelaki itu duduk, menyilangkan kedua kaki. Membuat orang yang berlalu lalang di taman--terutama kaum hawa-- melirik ke arahnya. Dasarnya tampan, mau wajah lebam pun tetap terlihat tampan.

"Jika Diana saja sudah punya kekasih baru, mengapa aku tidak? Pokoknya harus kudapatkan hati Faynara dari adiknya Diana. Biar Diana makin syok, ditambah lagi adiknya juga. Ini adalah pembalasan mantan kekasih yang elegan."

Tawa jahat terdengar renyah dari mulut lelaki itu, sebenarnya Erwin sedikit aneh, ia yang memutuskan. Tapi ia pula yang seolah-olah tersakiti hingga ingin balas dendam.

Tadinya, Erwin berniat jalan-jalan ke taman ingin menghirup udara segar setelah menghadapi berkas-berkas yang menyebalkan di kafe. Sedikit refreshing, ia memilih tempat terdekat. Namun bukannya lega, ia justru sesak melihat Diana yang menerima lelaki lain, lelaki yang asing di matanya.

Bukan sesak karena cemburu, melainkan ia sesak karena menyesal pernah berpacaran dengan gadis yang menurutnya murahan seperti Diana, yang mana baru kemarin malam putus, tapi paginya sudah dapat pengganti.

Erwin bangkit dari duduknya, mengancing jas kemudian meninggalkan taman. Hari ini, seperti arahan papanya. Ia harus pergi ke Bekasi menghandle perusahaan milik papanya yang sudah tiga hari tak terurus karena papanya sakit. Untuk kafe, ia memilih memercayakannya pada Fanya.

Memakai kaca mata hitamnya, lelaki itu mulai membuka pintu mobil dan membawa kendaraan itu pergi.

°•°

"Mau minum apa?" tanya Adrian.

Fay mengalihkan perhatian dari ponselnya. "Nanti ambil sendiri."

"Kamu lagi apa?" Adrian mendekatkan kepala ke arah Fay, sedikit mengintip ponsel Fay yang terlihat menampakkan gadis berhijab.

"Ini di internet ada yang buka lowongan buat jadi model gamis dan hijabnya sekalian."

"Oh, terus?"

"Ya berhubung gue udah nggak kerja lagi di kafe, gue mesti cari kerja lagi dong."

Adrian mengangguk. "Terus?"

"Terus-terus, lo kira gue kang parkir!"

Kan, lagi-lagi Adrian membuat Fay emosi. Gadis itu tak segan menggeplak tangan Adrian yang berada di belakang punggungnya. Posisi mereka duduk di karpet dan bersandar pada sofa, masih di rumah Adrian. Fay duduk berselonjor, sedangkan Adrian duduk menyerupai jongkok dengan posisi satu paha yang lebih tinggi. Tangan kirinya diletakkan di paha, sedang tangan kanannya tergeletak di sofa, belakang punggung milik Fay.

"Kan cuma tanya?" Adrian berujar lirih.

"Ya jangan buat gue emosi juga!"

"Jadinya, kamu mau gimana?"

Fay menghadap ke Adrian, menyuruh lelaki itu merubah posisi duduknya menjadi sila kupeng dan menghadap ke arahnya.

"Coba lo perhatikan gue baik-baik, gue cocok nggak jadi model?" titah Fay.

Adrian manut, dia mengamati Fay dari atas ke bawah. Mengangguk-angguk. "Ya cocok aja, kamu kan lumayan cantik, nggak pendek banget juga."

Fay tersenyum kecut. "Kalau cantik bilang aja cantik! Jangan pakai lumayan-lumayan segala."

"Iya kamu cantiiikkk sekali...."

"Kalau nggak ikhlas nggak usah ngomong!"

Adrian berstighfar dalam hati. "Ya, cowok selalu salah. Dan cewek selalu benar."

Fay terlihat kembali serius, memerhatikan ponsel. Kemudian menunjukkannya pada Adrian.

"Maksudnya?" Adrian tidak paham.

"Kalau misalkan gue pakai gamis, kira-kira cocok nggak. Yang model ini, oversize."

"Itu sih bukan oversize Fay. Namanya gamis ya pasti longgar begitu lah."

"Ya intinya gitu, cocok nggak?"

"Saya tidak tahu lah, kan saya belum pernah lihat kamu pakai."

Fay melotot, jawaban santai Adrian tidak membantunya.

"Kan di kira-kira."

"Memangnya kenapa?" Adrian balik tanya.

Fay menunduk, gadis itu terlihat ragu.

"Gue pingin jadi model gamis itu," lirih Fay.

Suasana hening, sebelum akhirnya ledakan tawa terdengar menggema mengisi ruangan serba abu yang menjadi ruang keluarga Adinata itu.

"Hahaha... Astaghfirullah, astaghfirullah.... Fay jangan bercanda kelewatan, tidak lucu." Adrian memegang perutnya yang rasanya sudah sangat teraduk karena tertawa. Tangannya tak tinggal diam, memukuli sofa berkali-kali melampiaskan.

Fay pergi dari sana, dia menuju teras. Menurutnya melihat rumah bagian depan Adrian itu lebih asyik dan menyenangkan daripada melihat Adrian yang tengah tertawa terbahak karenanya.

Fay menatap lurus pepohonan yang berjejer di teras Adrian, rumah orang kaya sih. Di rumah saja sudah seperti di taman. Bahkan rumah ini sepertinya bagaikan puluhan di satu desa. Pagar kaca terlihat mengelilingi rumah megah ini sepanjang jalan jika melewatinya.

Fay tak sadar jika Adrian sudah berdiri di sampingnya. Lelaki itu sudah berhenti tertawa dan menampilkan mimik wajah seperti biasa.

Adrian ikut melihat arah tatapan Fay, lelaki itu usil dengan meniup leher Fay. Fay tersentak, refleks ia mencubit perut Adrian dengan keras.

"Sudah Fay, lepaskan tanganmu!" Adrina memekik ulah cubitan Fay yang sangat keras.

Memelintir seonggok daging yang berada di genggaman tangan sekali lagi, gadis itu baru melepaskannya.

"Kamu ganas!" Adrian mengusap-usap perutnya.

"Salah siapa usil."

"Iya-iya."

"Tapi, ucapan kamu tadi itu... Itu bohong kan?" tanya Adrian.

"Itu bener, gue kan cuma jadi modelnya. Bukan dipakai sehari-hari."

Mulut Adrian komat-kamit hendak mengeluarkan suara, tapi diurungkan. Takut salah lagi.

"Apa segitu enggak pantesnya kalau gue pakai baju itu?"

Adrian menggeleng. "Bu-bukan Fay, tapi apa... Kamu yakin?"

Fay mengangguk antusias. "Gue akan belajar keluar dari zona nyaman."

"Apapun keputusanmu, saya dukung kok."

Fay tersenyum ke arah Adrian, dibalas senyum juga oleh lelaki itu.

"Makasih."

"Sama-sama."

"Yuk masuk!" ajak Adrian.

Fay hendak melangkah, tapi urung karena Adrian pun berhenti. Adrian menoleh ke belakang. "Ada yang lupa, rasanya kurang."

Fay mengernyit. "Apa?"

Adrian mendekat, kemudian tangannya ia angkat guna mengacak rambut Fay. Lelaki itu tersenyum mengejek ke Fay yang masih linglung, Adrian berlari masuk ke dalam rumah.

"AAA ...! MAS RIAN, AWAS LO!"

°•°

To be continued ....

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now