5. Perpisahan

138 10 0
                                    

"Mbak, kamu kemarin tidurnya kegasikan, nggak tau kan ada tragedi orang mau ciuman tapi gagal,” ujar Sarah membeberkan peristiwa semalam. Diana menautkan alis bingung. “Gimana Ma? Mbak nggak paham deh.”

Ardan terkekeh ketika matanya melirik Adrian dan Fay yang tampak gugup. Belum sempat Sarah melanjutkan ucapannya. Adrian berdiri, “Adrian selesai. Langsung ke rumah sakit ya Ma, Pa, Mbak.”

Adrian pamit, menyalami keluarganya dengan takzim. Fay tergesa ikut berdiri. “Fay juga mau ikut Om Rian.”

Semuanya terbahak dengan keras, Ardan menatap putranya mengejek. “Setua itu kamu, Nak. Sampai dipanggil om. Nggak ada bedanya sama Papa yang Fay panggil om juga.”

Kembali meja makan itu terisi dengan gelak tawa, membuat Adrian melirik tajam Fay. Sedangkan yang dilirik pura-pura tidak tau. Hanya membuang muka. Adrian melangkah lebar keluar dari tempat yang membuat wajahnya memerah malu. Kaki kecil Fay di belakangnya mencoba mengimbangi.

“Jadi kemarin itu, Adrian mau cium Fay. Tapi keburu terciduk papa, jadi gagal deh.”Sarah kembali buka suara ketika dirinya hanya berdua dengan Diana. Kebetulan anak gadisnya memberitahu ingin menghabiskan waktu di rumah saja.

“Ish, papa nggak seru! Anaknya lagi pacaran diganggu.” Diana mencebik sebal mengingat kelakuan papanya. Sekaligus menyesal karena tidak terlibat dalam drama kemarin malam.

“Tapi benar papamu loh, Mbak. Adrian nggak boleh seenaknya sama Fay sebelum mereka menikah. Makanya kemarin Mama jewer telinga Adrian.”

“Diana kira, Mama hanya jadi penonton. Tapi kayanya seru deh kalo Fay jadi bagian keluarga kita.”

“Iya, dong. Walau penampilannya begitu, Mama yakin Fay adalah gadis baik-baik. Lagipula mana ada yang bisa taklukin hati beku adikmu itu.

Gadis dengan hijab pashmina ungu itu mengangguk setuju. Terbit senyuman tak biasa dari bibir mamanya. “Kamu juga Mbak. Sudah kepala tiga kok nggak nikah-nikah, mau jadi perawan tua.” Sarah berucap sarkas menyindir gadis yang duduk anteng di sebelahnya.

“Eh Diana masih dua sembilan ya Ma. Belum genap tiga puluh,” desisnya tak terima.

“Lagian Diana sudah dapat calon kok. Sebentar lagi juga melamar,” lanjutnya dengan riang.

Sarah menatap putrinya lekat, mencari sebuah kebohongan dari netra yang memancarkan binar keceriaan itu. Siapa tau anaknya ini kerasukan jin halu! “Bohong!”

“Dih terserah kalau Mama nggak percaya, Diana ke atas dulu mau telepon ayang beb. Bye, Ma.” Diana mengecup pipi mamanya yang masih terduduk kaku di tempat.

Diana memang bukan tipe anak gadis yang dekat dengan mamanya. Tapi apakah ia juga harus merahasiakan siapa calon suaminya? Mengapa sejauh ini Diana diam saja dan tiba-tiba mengatakan sudah mempunyai calon. Sarah menepuk lirih kepalanya, pening.

Fay melirik Adrian yang serius mengemudi, sejak keluarnya mereka dari dalam rumah hingga setengah perjalanan ini. Dirinya hanya didiamkan oleh lelaki tampan dengan kemeja biru langit di sebelahnya. Fay menghirup napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Dengan takut-takut dia melirik kembali ke arah Adrian.

“Jangan dibuang, mubazir!”

Fay memutar otaknya mencerna kalimat singkat, jelas, dan padat dari Adrian. Ah tidak jelas deng. Apaan dia, dari tadi diam sekali ngomong malah sulit untuk dipahami.

“Gimana?” Fay bertanya dengan lembut. Memanfaatkan situasi karena Adrian sudah mulai bisa diajak bicara.

“Kamu kalau ambil napas, jangan dikeluarkan lagi! Mubazir. DOSA.” Fay melongo mendengar serentetan kalimat yang keluar dari mulut Adrian dengan mulusnya. Dirinya menatap horor Adrian yang masih lurus melihat jalanan.

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now