"Hm."

"Apa lo pernah peluk cewek selain gue?" Altezza mengangguk. "Bunda gue."

"Cewek lo?" Altezza menggeleng. "Dia nggak suka dipeluk."

"Pegangan tangan, ciuman?"

Altezza kembali menggeleng. Karena hal paling romantis yang anak itu lakukan ketika pacaran di usia empat belas tahun adalah belajar di kamar dan menghabiskan waktu dengan menonton film bersama Gracia. "Dia terlalu berharga untuk gue rusak."

_LUKA_

"Whahahauztrqwsfgtwnbngst!"

"Trqwgbbmnytzpqrwshzmyt?"

"Qgvymxckeiapwasu!"

"Yoi! Hahahahahanjg."

Ergazza dan teman-temannya membuat keributan, membuat Kak Gaviantara dan orang-orang yang berkumpul di perapian menutup telinganya rapat, berusaha menulikan pendengaran. Cadenza yang baru keluar dari dalam tenda langsung mengunci tatapan Altezza yang berjalan pincang mendekati tenda perkemahan. Salah satu sudut bibir Cadenza terangkat, tersenyum miring. "Altezza!"

"Denza, apa yang lo-" ucapan Altezza terhenti ketika Cadenza dengan tiba-tiba berlari mendekat dan langsung melompat menaiki dadanya. Altezza yang mendapatkan serangan tiba-tiba dari Cadenza pun refleks menahan kedua tungkainya dengan tangannya, menahan tubuh cewek itu agar tidak terjatuh menghantam tanah.

Bayangan hitam menutupi langit.

Altezza menatap Zee yang juga sedang menatapnya. Cewek itu tidak mengatakan apa-apa. Tapi tatapannya terlalu tajam. Dia cemburu? Tanpa sadar, salah satu sudut bibir Altezza terangkat, tersenyum sinis. Dia menahan wajah Cadenza dan menyentuh pipi cewek itu dengan bibirnya. Tatapan tajam di mata Zee berangsur dingin. Altezza tertawa pelan.

Zee menggigit lidahnya dan tanpa berkata sepatah kata pun, dia mendekat ke arah Ergazza dan langsung menyentuh bibir cowok itu dengan bibirnya yang pucat. Untuk sesaat, hening. Altezza tertawa tanpa humor dan merebut obat di tangan Guruh, kemudian langsung menelan obat itu secara utuh. Zee melepaskan ciumannya. Altezza mengunci tatapannya. "Gue sama sekali nggak cemburu."

"O-ow." Filosofi dan teman-temannya pura-pura terkejut.

Ergazza menyentuh bibirnya. Ini ciuman pertamanya.

Altezza menurunkan Cadenza dari gendongannya dan melangkah gamang melewati perapian menuju air terjun di balik pepohonan. Jam empat pagi. Cowok itu membuka kaosnya dan melompat, menenggelamkan tubuhnya di air terjun yang dingin. Tubuhnya pucat menggigil. "Oh, shit!" Filosofi dan teman-temannya berlari cepat ke arah air terjun, membuka kaosnya dan melompat ke Altezza yang terlihat akan tenggelam ke dasar air. Ketujuh cowok itu tenggelam beberapa saat sebelum akhirnya muncul kembali ke permukaan. Altezza terbatuk.

"Altez, lo itu apa-apaan?!"

"Gue kenapa?" Altezza terlihat tenang, sangat kontras dengan bibirnya yang pucat, bergetar kedinginan.

Filosofi mendekat dan mendekap tubuh Altezza. "Lo minta gue hajar, ya!" tujuh tahun lalu, Altezza pernah dirawat di rumah sakit hanya karena membelah hujan di malam hari bersama Grace. "Lo itu benar-benar nggak kuat dingin."

"Lo terlalu berlebihan, Los." Purnama berenang ke arah Filosofi. "Altezza juga nggak kedinginan sampai mati."

"Oh, ayolah. Altezza nggak selemah itu kali." Antara menunjuk ke arah Altezza yang terlihat tidak suka saat teman-temannya membahas tentang kematiannya. "Lihat? Wajahnya terlihat sangat-sangat bahagia."

Altezza memberikan tatapan permusuhan yang jelas.

"Sangat bahagia sampai dia berniat akan membunuh gua." Antara tertawa. Altezza memutar mata dan membenamkan sebagian wajahnya ke permukaan air. "Altezza pingsan."

"Gue, nggak." Altezza mengangkat wajahnya sedikit, menampilkan wajah datar tanpa ekspresi. Terdengar teriakan para siswi yang memuji punggung Altezza dari kejauhan. Di antara teman-temannya yang lain, kulit Altezza adalah yang ter-putih. Di penuhi luka yang membuat badan cowok itu terlihat semakin keren. Altezza menghela napas lelah dan kembali menenggelamkan seluruh tubuhnya ke dasar air. Berusaha menulikan pendengarannya saat siswi-siswi itu menyuruh Altezza memunculkan diri ke permukaan air.

Zee melepaskan hodienya, menyisakan kaos tipis sebatas dada, membuat teman-teman Altezza segera memalingkan muka. Zee terkekeh, kemudian meregangkan otot tangannya sebelum akhirnya melompat, bergabung dengan para cowok-cowok yang terlihat tidak kuat dingin. Dia berenang ke arah Purnama dan menenggelamkan tubuhnya hingga ke dasar, melihat Altezza yang sepertinya sudah kehabisan napas. Cowok itu menatapnya penuh permusuhan.

Zee berenang mendekat, menggenggam tangan Altezza dan menarik cowok itu kembali ke permukaan. Seperti lukisan yang sangat indah, namun tidak terjelaskan. Altezza menipiskan jarak diantara mereka, dan dahinya menyentuh dahi Zee saat dia menunduk. "Gue nggak suka." Altezza mendekatkan wajahnya lebih dekat ke Zee, dan bibir kedua remaja itu hampir bersentuhan. Altezza tertawa lemah dan Zee menahan napas ketika merasakan tangan Altezza perlahan bergerak masuk ke dalam kaosnya. "Al-tez, apa yang lo- ahh."

1,2k word.

CACAT LUKAWhere stories live. Discover now