Epilog 6 ~ Pulang (2)

Start from the beginning
                                    

"Pekerjaan itu tidak bisa aku tinggalkan, Bapak. Seperti ... yang aku bilang ... kami disuruh mencari orang. Lalu, kami berpencar. Diutus ke wilayah-wilayah berbeda. Ada yang tetap di Danqs. Ada yang ke sekitar Melbrond. Bahkan katanya ada yang ke Maltan juga. Keadaan sekarang sudah berubah, Bapak. Berpergian di selatan jauh lebih mudah. Hanya saja, hubungan Alton dan Tavarin memang sekarang panas. Hanya wilayah sini saja yang agak susah. Keluar-masuk Kerajaan sekarang diperiksa ketat. Tapi, aku sengaja meminta agar aku ditunjuk kemari!"

Boot kembali menyesap anggur sebelum melanjutkan. Seakan perlu tenaga.

"Jadi, salah satu jejak yang kami punya itu berujung kemari—ke ... kota di selatan. Prutton. Dan kemudian Ortleg." Boot melanjutkan.

Root mengangguk, setidaknya tahu Ortleg dan Prutton ada di mana.

"Terus?"

"Aku sengaja pilih kemari karena punya harapan bisa sempat pulang. Hanya saja, masalahnya ada petugas yang kepadanya nanti aku harus melapor. Dia ini datang dan pergi begitu. Dia jadi utusan antara orang kita di wilayah-wilayah lain. Tapi, sekali ini, musim panas ini, dia justru tidak datang-datang. Jadinya, aku di Ortleg lebih lama dari rencana. Alasan aku tak bisa langsung pulang meski sudah di Alton itu karena menunggu dia."

"... Memang orang seperti apa yang kalian cari, Nak?" Root menanyakan hal satu-satunya yang secara jelas ditangkapnya. "Kenapa? Kau yakin tidak sedang bekerja untuk penjahat."

"Tidak, Bapak! Ini pekerjaan dari pemerintahan Quazar! Yang kami cari itu ... pasangan ibu dan anak."

"Ibu dan anak?" Alis Root terangkat.

"... Yang pernah lama berpergian hanya berdua. Anaknya laki-laki. Mungkin saja si ibu sekarang sudah bersuami lagi." Boot awalnya tampak enggan menceritakan ini, tapi akhirnya memutuskan kalau tak ada salahnya.

"Ibu dan anak? Yang lama berpergian ... hanya berdua?" Sang ayah menggumam.

Bangsawan Elniri mencari orang seperti itu? Mungkin istri gelap dan anak haram ya?

"Iya." Boot kembali melanjutkan. "Ada kabar dari Prutton, yang dikasih lewat orang-orang kami di Rhunton, kalau ada pasangan ibu dan anak seperti itu di Ortleg. Tapi ... Tapi, jejak yang aku kejar ke Ortleg ternyata jejak mati. Si ibu ternyata sudah meninggal baru-baru ini. Si anak sekarang juga menghilang. Aneh sekali. Tak ada yang benar-benar tahu ke mana jejaknya. Aku jadi tak bisa lagi memastikan apa iya ini ibu dan anak yang kami cari atau bukan."

"Memang kau tidak tahu nama mereka?"

"Tidak tahu. Katanya, mereka mungkin tidak memakai lagi nama asli."

"Oh begitu."

"Lalu, masalahnya, aku ... aku kan sudah janji ke petugas yang nanti diberi laporan tentang ini. Janjian untuk bertemu di Prutton. Tapi, aku tunggu berapa lama pun, si petugas tak datang-datang!" Boot menghela napas panjang. "Ini masalah. Apapun hasil pencarian yang aku dapat, aku ... aku tadinya mau dibayar. Mahal. Bayaran itu termasuk ongkos yang nanti aku pakai untuk kembali ke Danqs lagi! Kupikir, kalau kesampaian bisa kembali ke Orulion dan bertemu Bapak, kupikir ... kupikir setidaknya aku perlu pulang bawa uang. Uang yang bisa aku berikan sesudah sepuluh tahun tak pulang! Padahal ... Padahal sebenarnya aku juga takut pulang karena takut kalau melihat Bapak mungkin sudah meninggal." Suaranya memelan dan Boot menitikkan air mata.

"Oh, Nak." Root merasa terharu, tapi mengingat harga diri anaknya, akhirnya merasa lebih baik pembicaraan mereka diteruskan. "Lalu ... orang petugas ini tak datang-datang?"

"Iya. Dan ... dan aku sekarang kehabisan uang dan bekal, Bapak. Tak ada cara aku bisa ke Danqs sekarang. Ditambah Alton dan Tavarin mungkin mau perang, lagi. Makanya, ya sudah, kuputuskan mending sekalian saja aku pulang kemari."

Boot mencoba tersenyum. Senyum yang berbeda dari senyum polos yang diingat ayahnya, karena betapa banyak bekas pukulan di wajahnya—tapi tetap saja senyum anaknya.

Root pun memeluk putranya lagi. Lalu, entah sejak berapa tahun lamanya, pria tua itu terkekeh. Tanpa terasa, air mata di pipinya juga kembali meleleh. Pasti pengaruh anggur. "Jangan lagi kau sedih, Nak! Kau sudah pulang sekarang! Aneh sekali cara takdir bekerja! Yakin kau nanti tidak dicari?"

Boot mengangkat bahu. Tawanya tertahan.

"Kalau memang dicari, biar ... biar itu diurus nanti."

"Ya? Tapi kalau soal perempuan, jangan lari ya. Kau tetap harus tanggung jawab ya. Kalau perlu, kau selalu nanti bisa bergabung dengan Pasukan Taupin!"

"Ya ampun, Bapak! Aku taubat! Aku ternyata tidak sekuat ituuu!"

Si tua Root menjadi semakin terkenal di Orulion semenjak itu. Dia dikenal sebagai orang yang punya cerita paling banyak. Di samping pernah jadi tuan rumah bagi pahlawan Ordelahr, William Tuck, anaknya pun akhirnya pulang dari perantauan dan kembali sebagai sosok yang tidak main-main. Meski begitu, jauh di lubuk hatinya, sebenarnya masih banyak hal yang tidak dipahaminya.

Tanpa terungkap lewat kata-kata, Boot dan Root—serta sang paman, Moor--selanjutnya sama-sama memanfaatkan sebaik mungkin sisa waktu yang mereka punya. Meski sang ayah sudah berusia senja. Meski ada kemungkinan pecah perang di depan mata. Atau bahkan, bila dunia sampai berakhir sekalipun—sesuai keyakinan orang-orang Ordelahr, kehidupan harus terus berlanjut.

Tak ada artinya kita ikat diri kita ke masa lalu.

Satu pikiran yang sempat terbersit di benak Root, adalah doa agar pemuda bernama Tuck yang ditemuinya itu pun pada suatu hari akan bisa pulang nanti. Untuk bisa kembali pada orang-orang terkasihnya. Untuk akhirnya menemukan kembali kebahagiaan, di manapun dirinya berada sekarang.  

Northmen SagaWhere stories live. Discover now