Bab 91 ~ Kesempatan Kecil

225 77 1
                                    

"Hah?!" William terperangah mendengar ucapan terakhir Vida.

Apa-apaan ini? Dia hanya sedang bercanda, kan?

"Tenang, William, jangan marah dulu," kata Vida.

"Maksudku begini," lanjut gadis itu. "Tentang apa yang akan terjadi di desaku, seandainya kita nanti datang, aku khawatir mungkin tidak akan semudah dan sesederhana yang kamu pikir. Aku takut kamu nanti terjebak di sana. Aku tahu, aku kemarin bilang, bahwa sebagai laki-laki kamu harus berani menghadapi ini semua, berani berbicara mengenai keinginanmu. Namun, aku juga tak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu. Kamu punya keinginan, orang lain juga punya. Jika tidak ada kesesuaian, pasti akan terjadi masalah. Kamu orang asing di desaku, posisimu tidak menguntungkan. Aku pasti akan membantumu, tetapi posisiku juga tidak menguntungkan.

"Itulah kenapa aku kemudian terpikir pada pilihan ini. Kita berpisah dulu sekarang, untuk sementara waktu, tanpa diketahui oleh Freya dan orang-orang yang lainnya. Aku tahu di mana Helga biasa menyembunyikan rakit-rakit miliknya. Kita akan ambil dua. Kamu pulang ke selatan, aku pulang ke utara. Aku akan melanjutkan tugasku mencari pedang itu. Setelah tugasku selesai nanti, dan posisiku lebih kuat, aku akan ke selatan untuk mencarimu. Setelah itu kita bisa hidup bersama, sampai akhir hayat. Bagaimana? Menurutku ini pilihan yang cukup baik dan indah, dan masuk akal buat kita."

William tercenung, memikirkan setiap kata yang diucapkan Vida.

"Apa ini berarti aku tidak perlu lagi memeriksakan diri ke dukunmu itu?" tukasnya. "Kalau itu aku senang-senang saja. Tapi, jika kemudian sesuatu terjadi padamu saat sedang mencari pedang di daratan es, sementara aku berada jauh di selatan, maka aku akan menyesal sampai seumur hidupku. Menyesal sampai ke tulang-tulang! Tidak, Vida, aku akan tetap pergi bersamamu. Atau ... begini saja, bagaimana jika kita berdua sekarang langsung saja ke daratan es? Kita temukan pedang itu, setelah itu kamu membawa batu dan pedangnya ke desamu. Sedangkan aku pulang ke selatan. Setelah semua urusanmu selesai, kamu lalu ke selatan juga, menemuiku. Bagaimana?"

Vida tak langsung menjawab. Kemudian ia mengangkat wajahnya, menatap William tanpa berkedip. "Kurasa itu bagus juga. Berarti, kita pergi secara diam-diam, melewati sungai dan desaku terus sampai ke utara, tanpa diketahui oleh orang-orang dari sukuku?"

"Menurutmu, mungkin atau tidak?"

"Mungkin, tapi kemungkinannya kecil. Mereka akan tahu."

"Walaupun tahu, apakah mereka bisa menahan kita pergi ke daratan es?"

Vida termenung lagi. "Mungkin tidak, kalau kita bergerak cukup cepat."

William nyengir lagi. "Nah. Berarti bisa, kan?"

"Tapi kalau Freya tahu, mungkin dia akan mengikuti kita lagi."

"Dia kenapa sih? Kenapa selalu mau mengikutimu ke mana saja?"

"Dia pernah bilang, baginya aku ini segala-galanya," kata Vida. "Aku kakak, teman terbaik, juga guru baginya. Dia lebih sayang padaku dibanding pada ayah atau ibunya. Dia ingin menjadi seperti aku, dan ikut ke mana pun aku pergi."

"Hmm ... ya, itu bisa dipahami. Tapi tidak bisa begitu terus."

"Berarti, kamu bisa paham, kenapa seharusnya aku tidak menyakitinya. Dia menyukaimu, tapi aku, orang terdekatnya, justru mengambilmu darinya."

"Kamu bicara seolah-olah aku, dan juga kamu, tidak punya perasaan sendiri," tukas William. "Kita dua orang, sedangkan dia hanya satu orang. Dia harus belajar menerima. Aku akan bicara padanya, dan menjelaskannya. Jika ternyata dia tetap tidak mau mengerti, tidak mau memahami aku dan juga dirimu, berarti memang benar aku yang salah karena dulu telah menculiknya, dan mungkin pantas dihukum. Tapi aku tetap tak akan bisa dipaksa."

"Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu ..." balas Vida.

"Terus bagaimana? Kamu tetap ingin kita berpisah? Aku tidak mau!"

Vida mengangkat wajahnya, menatap William, kemudian mengangguk. "Baik, kita tidak akan berpisah. Kita ... lakukan apa yang bisa kita lakukan. Besok kita coba pergi ke daratan es, tanpa diketahui oleh semua orang. Setelah menemukan pedang Grokhark, kita berpisah sebentar. Kamu pulang ke selatan, sementara aku kembali ke desaku, untuk menyerahkan batu dan pedangnya pada ayahku. Setelah itu aku pergi lagi, untuk menyusulmu."

"Rencana yang bagus, kan?" William tersenyum. "Aku membayangkan, jika seandainya kamu tidak ingin tinggal terlalu jauh di selatan, kita bisa tinggal di tepi sungai. Kamu tahu, tinggal di rumah terpencil, seperti tempat kita pertama bertemu dulu. Tentunya nanti bukan di rumah itu. Kita bisa membangun rumah kita sendiri. Kita tidak perlu lagi peduli pada semua orang."

Vida tertawa. "Orang sepertimu? Tidak peduli pada orang lain? Tidak mungkin."

"Hmm? Kenapa tidak?"

"Seperti kubilang tadi, kamu bukan orang biasa. Hidupmu tidak akan berhenti di sungai bersamaku. Suatu hari nanti, kamu akan menjadi orang penting."

William menggeleng. "Aku tidak mau memikirkan itu."

Vida tersenyum. "Aku cuma mau bilang, banyak hal bisa terjadi selama perjalanan kita, dalam hidup kita, yang baik maupun yang buruk. Dan jika ternyata itu tidak sesuai dengan rencana atau keinginan awal, maka kita harus siap menghadapinya, dan mungkin menerimanya. Aku akan siap. Dan semoga para dewa tetap berpihak pada kita."

"Vida, aku belum mau memikirkan apa yang mungkin akan terjadi."

"William ..."

"Kamu. Aku hanya ingin memikirkanmu saat ini."

Keduanya saling memandang, lalu menyatukan bibir.

Apa pun yang akan terjadi besok, dan besoknya, mereka belum perlu memikirkannya. Karena saat ini, malam ini, masih milik mereka berdua.

Keduanya menggunakan waktu yang tersedia seoptimal mungkin, baru kemudian benar-benar tertidur sebelum tengah malam.

Saat fajar menjelang barulah mereka bangun. Setelah yakin bahwa keadaan aman mereka keluar dari dalam gua, mandi bersama di bawah air terjun, lalu mencari ikan buat dibakar. Mereka sarapan ketika matahari terbit, setelah itu mulai bergerak. Mereka memasuki hutan di sebelah barat. Nanti mereka akan sampai di Sungai Ordelahr. Lalu, jika menyusuri tepiannya ke utara mereka akan sampai di lokasi tempat Helga biasa menyembunyikan rakitnya. Vida menjelaskan soal rakit Helga itu saat mereka tengah berjalan di hutan, dan awalnya William sempat kaget.

"Bukannya dukunmu itu sudah setua kakekmu? Dia masih kuat buat menyembunyikan rakit di hutan dan menyeretnya ke sungai?"

"Jaraknya ke sungai tidak jauh, tetapi cukup tersembunyi, dan Helga kuat, walaupun sudah tua," Vida menjelaskan. "Dia punya sihir tertentu, yang membuat dia agak ditakuti oleh orang-orang kami, karena bukan hal yang biasa buat kami. Mungkin itu juga yang membuat dia dulu memilih hidup mengasingkan diri."

Mereka menyusuri hutan berbukit, menuruni lerengnya, hingga akhirnya tiba tak tak jauh dari tepi sungai. Supaya aman, mereka tetap berjalan ke utara di sela-sela pepohonan. Lewat tengah hari mereka sampai di dataran yang sedikit menurun, di mana terdapat rongga gelap besar di bawah akar-akar pohon yang tertutup oleh rerimbunan semak. Vida menyibak semak-semak itu, lalu tersenyum, begitu menemukan sebuah rakit kecil yang terbuat dari batang-batang pohon yang diikat sejajar.

"Masih ada rakitnya, tapi hanya ada satu," katanya. "Dayungnya dua."

"Kita hanya butuh satu rakit. Kita tarik sekarang?" tanya William.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now