Bab 48 ~ Pertolongan Kedua

275 92 1
                                    

Bangsat, William memaki dalam hati. Ia harus lebih dulu bertindak.

Sebelum Mornitz bergerak maju, William menendang perutnya sehingga tubuh laki-laki itu terdorong membentur bandit lain di belakangnya. Kedua tangan William masih terikat, tetapi ia masih bisa berdiri kemudian menghentakkan sikunya ke ulu hati Darron yang berdiri di sampingnya. Pemuda itu jatuh terduduk sambil mengerang.

Pedang Boulder dari perahu sebelah terayun mendekat. William mundur mengelak, tetapi akibatnya ia kehilangan keseimbangan. Tumitnya tersandung dinding perahu, dan tubuhnya terjungkal ke sungai. Kepalanya masuk ke air lebih dulu, sebelum kemudian seluruh tubuhnya tenggelam.

Di dalam sungai William bergerak panik. Dengan kedua tangan dan kaki terikat ia sempat berpikir bahwa ia mungkin akan benar-benar tenggelam. Kakinya menendang-nendang mencari pijakan di dalam air.

Kemudian ia berusaha untuk tenang. Dasar di sungai bagian ini ternyata tidak begitu dalam. Ia bisa melihat bebatuan berkat sinar matahari yang menembus hingga ke dasar sungai. Ia mendongak, melihat perahu di atasnya. Sebuah benda lain tampak jatuh ke sungai, meluncur ke arahnya.

Sebuah pedang!

William menghindar, dan memperhatikan ujung pedang yang kini jatuh lalu terselip ke sela bebatuan di dasar sungai. William mendekat kemudian mengapit bilah pedang di bebatuan dengan kedua kakinya, berusaha memotong tali yang mengikat pergelangan tangannya. Sedikit lagi ...

Berhasil!

Ia melepaskan tali yang mengikat kakinya. Begitu tali terlepas ia meluncur, berenang menjauh dari perahu. Napasnya sebentar lagi habis.

Ia muncul ke permukaan, dan kaget. Boulder ternyata sudah telentang di tepi perahu dengan sebuah pisau menancap di dadanya.

Dua bandit lain di perahu sebelahnya juga sudah tewas, satu dengan kepala terpenggal, satu lagi dengan isi perut terburai.

Darron dan Brenis tidak tampak, mungkin sudah jatuh ke sungai.

Di atas perahu, dua orang tengah bertarung.

Mornitz melawan si gadis jangkung berambut kuning.

Vida? Dari mana dia bisa datang secepat ini?

Tidak, tidak mungkin dia baru datang. Dia pasti sudah lebih dulu berada di dekat sini, dan menyerang ketika melihat William terjatuh.

Laki-laki berjubah hitam dan gadis berambut kuning itu mengadu pedang. Setiap kali mengayunkan pedangnya Mornitz menggeram, seperti ungkapan kemarahan. Namun setelah diperhatikan lebih jauh mungkin itu lebih tepat disebut sebagai suara orang yang sedang sangat ketakutan.

Mornitz wajar takut, karena selain tampak lebih terampil menggunakan pedangnya, Vida juga cerdik. Setelah menahan beberapa serangan dari Mornitz, kedua kaki gadis itu menghentak ke kiri dan ke kanan, membuat perahu bergoyang-goyang liar.

Saat Mornitz yang gugup hilang keseimbangan, pedang di tangan kiri Vida bergerak cepat menghantam pedang laki-laki itu untuk membuat pertahanannya terbuka. Pedang gadis itu kemudian melaju lurus untuk menusuk perut si jubah hitam.

Mornitz mundur, berusaha menghindar, tetapi akibatnya tumitnya terantuk balok tempat duduk di belakangnya. Mornitz jatuh terduduk dan genggaman pedang di tangan kanannya melemah. Vida mengayunkan pedangnya, dengan mudah membuat pedang Mornitz terlempar.

Panik, laki-laki itu melemparkan sebuah dayung dengan tangan kirinya. Vida mengelak, dan balas melompat dengan pedang tertuju lurus ke depan.

Mornitz melenguh saat pedang itu menembus perutnya. Darah muncrat dari perut dan juga mulutnya. Seolah tidak puas Vida mencabut pedangnya lalu mengayunkannya mendatar, memenggal kepala sang bandit.

Vida menoleh ke arah lain dan berseru menggunakan bahasa Hualeg. William bisa melihat sekarang, ada perahu lain yang berisi dua prajurit berkapak sedang mendekat ke bagian sungai di mana Darron dan Brenis tengah berenang. Kedua bandit itu pasti ketakutan setengah mati sekarang.

"Vida!" seru William sambil melambaikan tangan dan berusaha menjaga tubuhnya tetap terapung. Gadis itu menoleh. "Jangan dibunuh!"

Raut wajah gadis itu berubah heran.

"Kumohon, jangan bunuh mereka ..."

Vida terdiam, lalu menoleh pada dua prajuritnya yang sedang mengejar. Gadis itu memberi perintah. Kedua prajuritnya mengerti dan meletakkan kapak mereka.

Vida mendorong keluar mayat Mornitz dan bandit lainnya dari atas perahu. Ia mendayung mendekati William yang berada di tepi sungai yang dasarnya cukup dalam, di samping bebatuan, lalu menarik tubuh pemuda itu.

"Terima kasih." William tersenyum lebar begitu sampai di atas.

Seseorang, entah dari mana, tiba-tiba melompat ke belakang William. Tawa seorang gadis terdengar.

Ternyata si gadis berambut merah, yang kini tersenyum lebar padanya.

Rupanya gadis itu melompat dari atas batu di tepi sungai.

Gadis itu mengeluarkan serentetan kata-kata dalam bahasa Hualeg sambil menunjuk-nunjuk ke sana. William hanya tertawa kecil sambil mengatur napasnya. Apa pun yang gadis itu katakan, sepertinya menyenangkan.

Sementara itu Vida masih memperhatikan perahu lain di seberang sungai. Kedua prajuritnya sudah meringkus Darron dan Brenis.

Vida kelihatan ragu saat melihat dua bandit itu, dan bertanya pada William, "Kamu tidak ingin mereka mati? Mereka mau bunuh kamu tadi."

"Dua orang itu ... bukan musuh yang berbahaya," William menjawab, walau sebenarnya ia tidak yakin dengan jawaban itu, terlebih jika mengingat niat buruk Darron padanya tadi.

"Mereka hanya perlu dihukum," lanjutnya. "Lagi pula, kematian akan menimbulkan dendam lanjutan pada ayah pemuda itu di selatan. Yang mungkin akan membahayakan beberapa orang. Masalah tidak akan selesai."

"Kalau semua dibunuh sekarang, ayah di selatan itu tidak akan tahu," Vida berpendapat.

"Begitu ya? Bunuh semuanya dan lupakan, begitu? Sayangnya, aku tak ingin seperti itu. Sudah terlalu banyak yang mati," tukas William. "Sudahlah, biar mereka nanti jadi urusanku."

Gadis itu memandanginya, lalu mengangkat bahu. "Baik."

"Kalian kenapa bisa ada di sini?"

"Kami ada urusan. Kami banyak pergi, kami tahu banyak tempat, dan kami lihat banyak hal yang tidak kalian lihat. Tetapi kalian tidak perlu takut, kami tidak seperti orang Logenir. Kami tidak berbahaya buat kalian. Lalu siang tadi, kami lihat dia," Vida menunjuk Boulder yang telah menjadi mayat, "yang dulu ikut kamu. Dia muncul dari balik hutan, di sini, lalu menunggu lama, tapi tampak tidak tenang. Freya bilang sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi, tapi belum jelas seperti apa. Jadi kami sembunyi, dan amati semuanya."

"Freya?"

"Adikku." Vida melirik gadis berambut merah di samping William. Gadis manis berhidung mancung itu tersenyum mendengar namanya disebut.

"Dia ... tahu sesuatu sedang terjadi?" tanya William ragu.

"Dia bisa merasakan sesuatu."

William terdiam. Merasa? Seperti yang dilakukan Tuan Horsling?

Tiba-tiba ia merinding, membayangkan betapa ia dulu hampir membunuh Freya saat pertama kali bertemu dengannya di sungai. Untung saja ia tidak jadi melakukannya, karena gadis itu kini menyelamatkannya.

Gadis berambut merah itu mengucapkan sesuatu, dan meringis lagi.

"Apa katanya?" tanya William pada Vida.

"Hm." Vida tampak ragu. "Dia ... sangat senang bisa menolong kamu."

William mengangguk-angguk sambil tersenyum pada Freya.

"Kalau begitu, terima kasih sekali lagi," katanya. "Tampaknya semakin banyak balas budi yang harus kuberikan pada kalian."

Vida memandanginya lekat-lekat. "Kamu keberatan, jika nanti harus balas budi pada kami?"

Northmen SagaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu