Bab 84 ~ Gubuk di Tengah Hutan

225 81 1
                                    

"Tidak." Vida menggeleng, menjawab pertanyaan William. "Tepi sungai ini tidak aman saat malam tiba. Jika kita semua naik, perahu kita bisa dihancurkan dan kita tidak bisa pulang. Lalu jika hanya sebagian yang naik, maka kalian yang berjaga di sini bisa kalah jumlah dan menjadi sasaran empuk pemanah saat gelap. Kita semua harus tetap bergerak, tidak boleh berdiam di sini saat malam. Aku dan William akan naik ke bukit mencari dukun itu, sementara yang lainnya harus terus mendayung, kembali ke Vallanir."

"Eh? Nanti dulu," Freya langsung mengangkat jarinya, protes. "Kenapa hanya kalian berdua yang naik? Kenapa aku tidak ikut kalian?"

"Situasi di bukit belum tentu aman. Kalau terjadi sesuatu yang berbahaya nanti, dan aku serta William harus bertempur, bagaimana kami melindungimu? Lebih baik kamu pulang saja, lalu bawa prajurit lebih banyak kemari. Itu hal terbaik yang bisa kamu lakukan." Begitu melihat Freya hendak membuka mulut, Vida melanjutkan, "Ingat, dalam perjalanan kali ini, aku pemimpinnya. Jangan lupa pada janjimu dulu saat meminta ikut denganku."

William memandangi kedua gadis yang untuk sesaat saling melotot.

Vida tampak tegas, dan tidak seperti biasanya kali ini penjelasannya cukup panjang. Ucapannya yang menyinggung soal janji sepertinya tepat sasaran. Freya tak mampu membalas. Freya kelihatan kesal, tetapi kemudian mau menerimanya, dan akhirnya pergi bersama ketiga prajurit yang lain.

Vida mendaki bukit tanpa berkata-kata. William mengikutinya.

Awalnya ia ingin mengajak Vida berbincang. Banyak hal yang ingin ia tanyakan. Namun Vida mendaki hampir setengah berlari. William harus menjaga kecepatan jika tidak ingin tertinggal. Mereka menyusup di antara pepohonan. Suara air sungai terdengar di kejauhan. Tentunya itu adalah anak sungai yang lain, bukan Sungai Ordelahr yang mereka lewati selama ini.

Menjelang matahari terbenam mereka sampai di rumah sang dukun di tengah hutan, yang terbuat dari kayu dan di dalamnya mungkin ada dua atau tiga ruangan. Ukurannya hampir sama dengan rumah milik Bullock.

Dari jauh gubuk kayu itu letaknya cukup tersembunyi di balik pepohonan. Mungkin hanya orang yang pernah datang ke tempat ini yang bisa menemukannya. Di batang-batang pohon di sekitarnya ada berbagai simbol lingkaran atau semacamnya yang dicat dengan menggunakan warna putih. Mungkin fungsinya untuk pengusir hewan buas atau makhluk halus, atau yang lainnya.

Vida melihat ke sana-sini seperti mencari sesuatu. Mungkin karena tempat itu tampak sepi. Pintu dan jendela kayu rumah itu tertutup rapat dan tidak tampak asap keluar dari cerobongnya. Jangan-jangan si dukun sedang tidak ada. Gadis berambut kuning itu mengetuk pintu beberapa kali.

Setelah tak ada jawaban Vida membuka pintu, yang ternyata tak terkunci, dan masuk ke dalam rumah.

William memilih menunggu di luar.

Tak lama Vida keluar. "Dia tidak ada di sini."

"Ke mana dia?" tanya William.

"Barang-barangnya masih ada. Pakaian, dan juga makanan. Jadi mungkin hanya pergi sebentar. Kita tunggu saja." Ia berbalik dan masuk lagi ke dalam rumah. Lalu kembali muncul, begitu William belum beranjak. "Masuk. Kamu tidak akan suka hawa dinginnya kalau berada di luar saat malam."

William belum merasa kedinginan. Pikirnya, angin di lereng bukit itu juga rasanya tidak terlalu kencang karena terhalang pepohonan. Namun saat malam mungkin saja berbeda. Akhirnya ia pun ikut masuk.

Tak seperti perkiraannya, rumah itu ternyata hanya memiliki satu ruangan, dengan ukuran sekitar empat kali enam meter. Di bagian depannya, dekat pintu, ada meja pendek berbentuk persegi. Namun tak ada kursi sama sekali di dekatnya. Di kiri dan kanan ruangan ada lemari berderet-deret, yang penuh dengan kotak-kotak kecil, mungkin berisi berbagai macam ramuan atau peralatan ritual. Di ujung belakang ruangan ada perapian. Di antara perapian dan meja depan ada tikar dan selimut untuk tidur.

Vida tidak menyalakan perapian. Ia menyalakan lilin-lilin yang ada di atas lemari. Begitu lilin menyala ruangan terasa lebih hangat.

"Aku harap Helga tidak keberatan lilinnya kupakai," kata Vida sambil duduk di samping meja.

Ia mengeluarkan botol minuman dari dalam tas kulitnya, juga dua buah cawan, lalu mengisi keduanya. Mereka sudah makan tadi sore di perahu, jadi ini sekadar minum-minum sebelum tidur, mestinya.

William ikut duduk, di depan gadis itu.

"Kenapa tidak menyalakan perapian saja?" tanya William.

"Asap dari cerobong bisa dilihat dari jauh. Orang-orang Logenir tidak tahu tempat ini, tetapi jika mereka melihat asap itu, mereka bisa mencarinya."

Masuk akal. William mengangguk. Kenapa ia tidak paham hal sederhana seperti itu? Atau, ia mungkin sebenarnya paham, tapi hanya sedang malas berpikir. Dan juga, ia senang jika bisa bertanya sesuatu pada Vida.

Sayangnya, William belum bisa terpikir topik pembicaraan lainnya.

Keduanya minum, sampai beberapa teguk, dalam diam.

Setelah beberapa lama, setengah mengantuk, William baru bertanya, "Jadi dukunmu itu, Helga, apa dia bakal pulang malam ini?"

"Jika dia tidak datang malam ini, mudah-mudahan besok." Vida melihat William, kemudian menarik napas panjang. "Maaf."

"Apa?" tanya William heran.

"Maaf."

"Kenapa?"

"Karena telah membawamu kemari, dan semua yang kamu alami ..."

William mengangkat bahu. "Sejauh ini aku baik-baik saja."

"Aku belum mengatakan semua yang kutahu," kata Vida.

William tertegun. Apa ini? Gadis ini hendak mengatakan sesuatu?

"Nah. Itu dia. Kenapa belum?" William coba membalas dengan santai, supaya Vida ikut santai dan tidak membatalkan rencananya untuk bercerita. "Padahal aku selalu senang kalau kau mau bercerita. Serius, kenapa kau belum mau bilang, aku tidak paham. Aku percaya padamu, kau temanku. Aku tidak percaya kalau kau punya niat buruk padaku. Jadi ... aku tidak mengerti."

Vida termenung, sebelum menjawab. "Aku tak mungkin bilang, jika Freya dan yang lainnya ada di dekatku. Mereka akan sulit mengerti."

William terdiam sejenak. Sepertinya apa yang ingin disampaikan oleh Vida adalah sesuatu yang sangat penting, dan juga cukup rahasia.

"Tapi ... kau bisa percaya padaku?" William bertanya.

"Ya, karena kamu yang mengalaminya." Vida masih tampak ragu.

"Ya sudah, tolong jelaskan, supaya aku tidak mati penasaran!"

"Nanti saja, setelah kita bertemu Helga. Dia bisa lebih menjelaskan."

"Baiklah. Aku mati sekarang." William menyeringai.

"Maaf."

"Hei, sudahlah, aku merinding mendengarmu terus meminta maaf," William menukas. "Tenang saja, aku tidak masalah menunggumu berhari-hari. Tambah sehari pun tidak ada bedanya. Bahkan seumur hidup pun tak masalah!" Ia tertawa. "Aku sudah cukup senang dengan niatmu yang ingin berbicara padaku. Sangat senang. Ayo, kita minum lagi saja."

"Kamu sudah terlalu banyak minum," balas Vida.

William tertawa lagi. "Kau pikir aku sudah mabuk? Ini belum seberapa!"

"Ya, tapi kamu sudah mengantuk. Sebaiknya kamu tidur saja."

"Kau sendiri?" William menguap sambil merentangkan kedua tangan.

"Aku akan menunggu sebentar lagi, barangkali Helga pulang. Sekaligus berjaga. Nanti aku membangunkanmu, untuk gantian berjaga."

William setuju. "Baik. Jangan terlalu lama. Kau juga butuh istirahat."

Ia beringsut ke arah tikar yang tergelar di belakangnya, lalu merebahkan tubuh, melepaskan semua pikirannya, dan langsung terlelap.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now