Bab 35 ~ Serangan Kedua?

285 94 5
                                    

William duduk di lantai memandangi gadis berambut merah yang kedua tangan dan kakinya masih terikat. William telah melepas sumpal di mulut gadis itu, jadi sekarang dia boleh berteriak sekeras-kerasnya, kalau dia mau.

Namun sampai menjelang malam ternyata gadis itu hanya menatap William lekat-lekat. Dia tak bersuara sama sekali, walaupun tak lagi terlihat ketakutan seperti kemarin. Mungkin karena dia sudah merasakan bahwa William tak memiliki niat buruk padanya. Apalagi setelah tadi William menyuapinya makan dan memberinya minum. 

Ya, dia tidak sampai menyemburkan air ke wajah William rasanya sudah menjadi pertanda yang cukup baik.

Tetapi bagaimana kalau nanti dia tahu bahwa pagi ini teman-teman Hualegnya sudah kalah, lima puluh dari mereka terbunuh dan Williamlah yang membunuh paling banyak? 

Atau jangan-jangan, gadis itu sudah tahu? Dia pasti sudah mendengar bunyi pertempuran tadi pagi, dan bagaimana prajurit desa bersorak-sorak merayakan kemenangan. Mungkin ketakutannya itu kini sudah berubah menjadi kemarahan dan dendam kesumat.

William belum tahu apa yang harus ia lakukan pada gadis itu. Dorin, orang desa yang kata Morrin bisa menjadi penerjemah, ternyata sudah menghilang. Sepertinya laki-laki itu kabur ke selatan bersama beberapa orang, tak hanya mengungsi ke perbukitan. Sebuah tindakan yang bisa dimengerti. Sekarang, kalau sudah tidak ada penerjemah, buat apa lagi gadis ini?

Rogas bilang gadis itu sudah tak lagi dibutuhkan. Orang-orang Hualeg sudah kalah dan mungkin tidak peduli pada gadis itu. Jadi sekarang terserah William mau memperlakukannya seperti apa.

"Kau bisa menjadikannya budak," kata Rogas sambil tertawa. "Kau yang memenangkan perang hari ini, dan kau mestinya mendapat sesuatu. Jadi anggap saja dia sebagai hadiah."

"Maksudmu apa?" tanya William kesal.

"Ya ... kau tahulah."

"Bangsat!" William hampir menghajar Rogas. "Kau pikir aku ini apa?"

"Kau tahu, jika orang-orang Hualeg itu yang menang perang, mereka akan melakukan hal yang sama pada perempuan-perempuan kita di desa."

"Aku tidak seperti mereka!"

"Ya terserahlah. Dia urusanmu." Rogas mengangkat bahu kemudian meninggalkan William dan gadis itu di kamarnya.

William memandangi gadis itu. 

"Dengar, jika seandainya kau mengerti. Sepertinya tidak, tapi aku tetap harus mengatakan ini padamu. Rekan-rekanmu sudah kalah, tapi aku yakin mereka tak akan berhenti dan akan menyerang lagi nanti. Kalau aku bisa berharap, aku tidak ingin itu terjadi. Aku kehilangan banyak teman, teman-temanmu juga banyak yang mati. Nikmatnya kemenangan cuma sebentar, dan kesedihan selalu jauh lebih lama, saat tahu kita kehilangan teman atau keluarga. Kalian apa tidak pernah berpikir seperti ini? Kenapa kalian tidak bisa datang sebagai teman, hah? Kalian perlu sesuatu, kita bisa berdagang, tidak perlu seperti ini. Mungkin aku bodoh karena berharap seperti itu, tapi mungkin juga tidak, kalau mau berpikir lebih jauh." 

William menggeleng-gelengkan kepalanya kesal. "Jadi, jika kau bisa menjawab, aku ingin tahu, apa yang bisa kau lakukan ... supaya kejadian semacam ini tak terulang lagi di masa datang."

Gadis itu menjawab dengan bahasa asing yang tak bisa dimengerti. Suaranya tinggi. Tangannya yang terikat menunjuk-nunjuk ke arah lain.

William menggeleng. "Sudahlah. Tidur saja. Jangan khawatir, aku takkan melakukan apa-apa padamu." Ia membaringkan tubuhnya di lantai kayu. 

"Kita lihat besok. Mungkin aku akan membebaskanmu. Rogas tidak akan suka, yang lain juga, tapi itu terserah aku. Kau bisa pulang. Dua hari yang lalu, temanmu, si cewek berambut kuning, membiarkanku pulang, jadi kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama? Kalau aku beruntung, begitu kau tiba di negerimu kau bisa bilang pada teman-temanmu supaya tidak lagi menyerang ke selatan. Tidak ada lagi perang, dan kita semua bisa hidup seperti orang beradab." William mendengus. "Kalau kau baik, aku percaya kau akan melakukannya."

Ia termenung, memikirkan sendiri kata-katanya. Berdamai dengan orang-orang Hualeg, mungkinkah itu? 

Betapapun aneh kedengarannya, mestinya itu bukan hal yang mustahil. Sudah pernah ada cerita di mana ayahnya dulu bisa berdagang dan hidup damai dengan orang-orang selatan. Jadi kenapa tidak bisa terjadi lagi?

Atau ... jangan-jangan memang harus William yang mengusahakan hal ini. Ayahnya dulu sudah membuka jalan, dan mungkin kini ia yang harus meneruskannya. Apakah ia bisa? Menjadi orang hebat dan baik seperti ayahnya?

Ia masih terus berpikir, sebelum akhirnya terpejam karena lelahnya.

Sayangnya, saat tengah malam pintu kamarnya kembali digedor-gedor. Cepat-cepat ia mengambil pedangnya kemudian membuka pintu.

Seorang prajurit melapor. "Tuan, Anda ditunggu di ruang pertemuan. Perahu orang-orang Hualeg terlihat lagi!"

William sudah memperkirakan orang-orang utara itu akan kembali menyerang, tetapi ia tak menyangka mereka akan melakukannya di hari yang sama setelah mengalami kekalahan. 

Ia pergi ke ruang pertemuan, kemudian bersama Rogas, Taupin dan Morrin berjalan ke puncak tebing untuk melihat sendiri.

Bulan tersembunyi di balik awan dan malam cukup gelap. Mereka tak bisa melihat apa-apa jauh di bawah sana sampai ke ujung lembah di utara. Tetapi seorang prajurit bilang bahwa ia tadi sempat melihat perahu di sungai.

"Perahu panjang?" William bertanya.

"Ya ..." kata prajurit itu, yang tiba-tiba ragu. "Sepertinya begitu ..."

"Kau tidak yakin?" Taupin tampak kesal.

William menatap Rogas di sampingnya. "Bangunkan semua orang. Taruh lima puluh prajurit di jalan masuk utama, dan tiga puluh lainnya di bukit dekat sungai sebelah selatan. Tidak perlu lagi prajurit di atas tebing batu."

Ucapan William membuat ia terdengar seperti atasan. Namun setelah hal istimewa yang dilakukannya kemarin, Rogas dan semua orang tampaknya tidak keberatan mendapatkan saran yang lebih mirip perintah dari pemuda itu. 

Dan pada dasarnya Rogas memang tidak pernah mempermasalahkan soal jabatan. Dia lebih peduli pada bayarannya. Bahkan kalau dia bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja, dia akan melakukannya dengan senang hati.

Seluruh prajurit dibagi menjadi dua kelompok. Mereka bergerak sesuai perintah. William pergi ke sisi sungai sebelah barat dan menunggu dalam gelap. 

Suasana sunyi senyap, hanya suara aliran sungai yang terdengar.

Sekian lama menunggu, ia mulai penasaran. Kenapa tetap tidak ada informasi lanjutan dari Taupin mengenai jumlah pasukan musuh? Dan kenapa ia juga tidak mendengar suara-suara mereka? Apakah memang tidak ada? 

Jangan-jangan orang-orang Hualeg itu malah mendaratkan perahunya di tempat lain.

William mendongak mengintip dari balik batu. Dalam remang cahaya bulan ia bisa melihat aliran sungai sampai cukup jauh ke utara, dan sejauh penglihatannya memang tak ada satu pun perahu orang-orang Hualeg.

Seorang prajurit berkata, "Kabar terakhir, sama sekali tak ada musuh sampai jauh ke utara. Tuan Taupin bilang kalian boleh beristirahat lagi."

William masih ragu. Ia mengizinkan sebagian prajuritnya untuk kembali beristirahat, tetapi ia sendiri tetap berjaga di tepi sungai. 

Belasan prajurit lalu menemaninya. Mereka beristirahat dan berjaga bergiliran. Mereka tetap ada di sana sampai pagi, saat kekhawatiran William terbukti tidak benar.

Siang harinya, setelah beristirahat William berkumpul dengan para pemimpin lainnya di markas untuk membahas rencana selanjutnya.

"Aku baru saja bertanya lagi pada prajurit yang melihat perahu itu," kata Taupin. "Ia sudah tidak seyakin tadi malam."

"Perahu itu tidak ada?" tanya Morrin.

Taupin mengangguk. "Mungkin mereka sudah kembali ke utara."

"Kau yakin orang Hualeg selemah itu?" tukas Rogas. "Langsung menyerah begitu kalah satu kali?"

"Tidak," jawab Taupin. "Itu tidak seperti orang Hualeg. Kalaupun mereka pulang, kurasa nanti akan datang lagi dalam jumlah lebih banyak."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now