Bab 47 ~ Pengkhianat

257 93 1
                                    

"Tenang," sahut William. "Tepian sungai di sana tidak dalam. Jika mau sedikit menyelam dan mencarinya sebentar di antara bebatuan, kau pasti bisa menemukan kalungmu di sana."

"Bagaimana jika terbawa arus sampai ke utara?" Darron makin histeris.

William meringis. "Berarti kau harus mencarinya ke utara. Kalian harus hati-hati. Sudah pernah mendengar tentang orang-orang Hualeg, bukan?"

"Hei, bocah, kau sedang bermain-main, ya?" Mornitz mendekatkan ujung pisaunya ke leher William. "Kau pikir kau bisa bercanda?"

William menelan ludah, lalu menggeleng.

"Dengar, aku tak ingin bermusuhan dengan kalian," katanya. "Aku lebih suka berteman. Dengan siapa pun, tak peduli kalian siapa. Jadi biarkan aku membantu. Akan kuantar kalian ke desa, dan akan aku tunjukkan tempat kalung itu terjatuh, dan kalian bisa mencarinya, dengan aman."

"Begitu kami membawamu ke desa, teman-temanmu akan menyerang kami!" seru Mornitz.

"Aku bisa minta pada mereka untuk tidak menyerang kalian." William memandangi mereka satu per satu. "Aku janji, kami tidak akan mengganggu."

Darron mengangguk-angguk, lalu menoleh pada Brenis. Kelihatannya kedua orang itu cukup percaya pada kata-kata William.

Namun Mornitz belum. "Dia bakal mencelakai kita! Kalian gila jika percaya padanya."

"Kita tidak punya banyak pilihan," sahut Brenis. Matanya yang biru menatap lurus ke arah William. "Apa kata-katamu bisa dipercaya?"

"Aku tak mau mati di sini, kalian juga pasti tidak ingin mati begitu sampai di desa. Aku tidak perlu jadi musuh kalian, dan kalian juga tak perlu jadi musuhku dan musuh teman-temanku. Daripada memperbesar masalah, kenapa tidak diselesaikan saja? Itulah kenapa aku menawarkan bantuan. Kita bisa bekerja sama, dan kalian bisa percaya kata-kataku. Aku akan baik pada kalian, jika kalian pun baik padaku."

Brenis mengangguk-angguk. "Aku percaya. Tuan Darron?"

Darron yang masih sedikit ragu tak langsung menjawab. Ia masih melirik ke arah Mornitz.

Laki-laki berjubah hitam itu mengambil kesempatan. "Bawa dia ke perahu, tapi ikat tangan dan kakinya. Izinkan aku yang mengatur semuanya, Tuan Darron. Jika bocah ini berkhianat, aku akan membunuhnya."

William digiring ke sebuah perahu yang tertambat di tepi sungai. Seorang bandit mendayung paling depan. Di belakangnya duduk Mornitz, diikuti William yang tangannya terikat, Darron, Brenis dan satu bandit lagi paling belakang.

Perlahan perahu bergerak, sementara William coba kembali berpikir. Tadi Boulder membawanya ke sini karena katanya Vida ingin bertemu. Nyatanya justru para bandit yang datang, sementara Boulder menghilang. Mungkin dia sudah mati dan mayatnya dibuang di sungai.

Namun, bagaimana mungkin Vida dan para penjahat ini bisa muncul di tempat yang sama? Rasanya terlalu kebetulan.

Jangan-jangan, gadis berambut kuning itu sama sekali tidak ada di sini. Jika begitu, mungkinkah Boulder hanya mengelabui William? Dia sengaja memancing William ke tempat sepi, untuk kemudian diringkus Mornitz dan gerombolannya? Kenapa? Apakah dia ditawari uang dalam jumlah besar?

Atau sejak awal dia memang anak buah Mornitz atau Darron, yang kemudian ikut pergi ke utara?

William ingat saat-saat Boulder bertempur bersamanya. Mereka seringkali berada dalam situasi hidup mati. Bagaimana mungkin dia kini mengkhianatinya?

Atau, ia yang sebenarnya bodoh karena tak bisa menilai anak buahnya dengan lebih baik?

William tak mengenali bagian sungai yang kini dilewatinya. Sinar matahari sore yang menyusup melalui dedaunan sesekali menyinar dari kiri, dan kadang dari belakang. Artinya mereka mengarah ke utara, menjauh dari mulut anak sungai tempat ia dan Boulder tadi masuk.

Apakah ini berarti Mornitz berhasil menemukan jalan lain ke utara, untuk nanti berputar lagi ke desa di selatan?

William memecah keheningan, "Ini jalan alternatif menuju Thaluk?"

Darron yang duduk di belakangnya menjawab, "Mornitz yang menemukannya, dan juga menemukan tempat beristirahat lainnya di dalam hutan sini."

"Kenapa tidak lewat sungai utama saja? Mestinya lebih dekat ke desa."

Darron tertawa. "Lalu bertemu patrolimu yang terus berjaga di sana?"

"Padahal patrolinya baru beberapa hari, dan kalian sudah tahu. Hebat."

"Kami diberitahu—"

"Tuan Darron," Mornitz memotong. "Tak perlu bicara apa-apa pada bocah ini. Dia bukan temanmu."

"Aku rasa hal ini bukan sesuatu yang harus dirahasiakan," tukas Darron.

William tertawa. "Kalau orang hanya boleh bercerita pada temannya, maka aku ragu ada seseorang yang akan bercerita padamu, Mornitz."

"Itu bukan masalah," Mornitz mendengus, "selama aku bisa mendapatkan apa yang kuinginkan. Dengan cara merobek perutmu, misalnya."

"Sssttt!" Si bandit yang mendayung paling depan mengangkat sebelah tangannya, menyuruh semua orang untuk diam.

Perahu mereka sampai di kelokan. Anak sungai itu terus mengarah ke kiri, tapi di sebelah kanan, sekitar dua puluh langkah di balik daratan tampak sungai lain yang lebih besar. Sungai Ordelahr.

Mereka turun dari perahu, menarik perahu itu dari sungai lalu mendorongnya melewati daratan sempit itu sampai ke sungai besar di seberang.

William ikut mendorong, tapi Mornitz menggenggam pisaunya erat-erat sambil menatap tajam pemuda itu. Tampaknya ia takut William akan berteriak-teriak minta tolong.

Mestinya laki-laki itu tak perlu takut. William tahu, patroli desa tidak akan sampai kemari. Selain itu ia juga sudah menetapkan dalam hati, sebaiknya ia membantu saja Darron dan anak buahnya. Toh ia tidak rugi apa-apa.

William tertegun, ketika sebuah perahu lain muncul dari balik batu dan mendekat ke arah mereka. Hanya ada satu pedayung di dalam perahu itu. Boulder. William mengenali juga, itu adalah perahu yang tadi dipakainya bersama prajurit itu.

Wajah Boulder tampak pucat begitu melihat William.

William menyeringai. "Kaget? Kau tidak menyangka aku masih hidup?"

"Kalian ... Apa yang terjadi?" tanya Boulder gugup bercampur bingung.

"William akan membantu kita," jawab Darron ceria. "Kalungnya jatuh di tepi sungai, di dekat desa. Jadi kita akan mencarinya ke sana."

"Kalian gila!" seru Boulder tak percaya. "Para prajurit akan membunuh kita jika melihat dia bersama kita dalam keadaan seperti ini!"

"Aku juga bilang begitu tadi," sahut Mornitz. "Tapi kalah suara."

Boulder berdiri seraya mencabut pedangnya. "Seharusnya dia dibunuh! Dia berbahaya, apa kalian tidak tahu? Dia sudah membunuh ratusan orang Hualeg dengan mudahnya seperti memukul nyamuk! Dia akan membunuh kita juga jika diberi kesempatan!"

"Hei," tukas William geram. "Aku bisa bicara pada para prajurit di desa. Mereka tidak akan membunuh kalian. Dan aku juga tidak akan membunuhmu," Ia menatap tajam mantan anak buah yang kini mengkhianatinya, "... jika kau tidak mencoba membunuhku lebih dulu."

"Turunkan pedangmu, Boulder," tegur Brenis.

"Dengar, biar aku yang mencari kalung itu!" seru Boulder. "Kalian sembunyi saja di sini. Jika aku sendirian, para prajurit di desa takkan curiga."

Mornitz membalas, "Ide bagus! Berarti kita tak membutuhkan dia lagi."

William menahan napas, tegang. Keadaan mulai berbalik jadi buruk. Ia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat.

"Maksud kalian, sebaiknya kita membunuhnya?" Darron meringis, wajahnya berubah menyebalkan lagi. Ia menoleh ke belakang, meminta pendapat Brenis.

Laki-laki tua itu diam saja. Sepertinya dia masih bingung.

"Kalian yakin?" tanya Darron lagi.

"Sebaiknya begitu!" seru Boulder. "Sial! Mestinya kalian melakukannya sejak tadi!"

Mornitz mengangkat pisaunya. "Tadi atau sekarang sama saja."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now