Bab 102 ~ Pertempuran

205 76 1
                                    

William melihat hutan yang tidak begitu lebat di seberang sungai.

Tidak ada suara-suara aneh, tetapi telinganya kemudian mendengar teriakan. Awalnya memang hanya sayup-sayup, tetapi lalu semakin keras.

Akhirnya, dari sela-sela pepohonan, muncul ratusan orang bersenjata.

Seseorang di antara mereka berteriak lantang, dan segera disambut oleh raungan yang lainnya. Mereka mengacung-acungkan pedang, kapak maupun tombak, menyerukan tantangan.

Mereka dari suku Logenir? Atau suku lainnya?

Jumlahnya mungkin dua ratus orang. Lebih sedikit dari pasukan Vallanir, tetapi mereka tampak cukup berani dan siap bertempur. Apa yang akan dilakukan Vida sekarang? Melayani tantangan mereka?

Sepertinya begitu. Vida membagi dua pasukannya. Pasukan pertama, tiga ratus orang, maju dalam formasi renggang, memanjang dari kiri ke kanan dalam tiga lapis. Mereka bergerak bersama saat menyeberangi sungai. Sementara pasukan cadangan, dua ratus orang, menunggu di tepi hutan sebelah timur. Vida berada di barisan terdepan dalam pasukan pertama, paling tengah dan sudah siap dengan pedang dan perisai di tangan.

William belum beranjak, masih menunggu di belakang. Baginya, ini saat-saat yang meresahkan. Baru sebagian pasukan Logenir yang terlihat. Ke mana sisanya? Apakah ada di dekat sini, atau masih jauh?

Inginnya, William ikut bertempur di samping Vida, tetapi jika begitu, selain bisa membuat gadis itu marah, ia juga jadi kehilangan daya pengamatannya ke seluruh lembah. Ia tak akan bisa mengantisipasi jika kemudian pasukan kedua dari Logenir datang. Ia harus tetap berada di belakang, dan baru masuk jika Vida benar-benar terancam, sambil berharap Vida dan pasukannya menang dalam pertempuran pembuka.

Raungan orang-orang dari barat kembali terdengar. Mereka berlari keluar dari dalam hutan, menyerbu barisan orang Vallanir yang bertahan di sungai dangkal semata kaki. William menahan napas begitu musuh sampai di depan Vida. Gadis itu berteriak lantang, lalu mengayunkan pedangnya.

Seluruh prajurit Vallanir mengikuti. Pertempuran dimulai. Brutal, ganas, sadis. Orang-orang Hualeg benar-benar tidak mengenal ampun. Sabet, potong, bacok, tebas. Dengan dada berdebar kencang dan bulu kuduk merinding, William tak bisa melepaskan pandangannya dari Vida.

Untunglah, sejauh ini gadis itu tidak mengalami kesulitan. Dia bisa membunuh setiap musuh yang datang menyerangnya. William bisa sedikit menarik napas lega. Ia sebenarnya sudah gatal, ingin maju, tapi masih terus menahan diri. Ini baru awal. Ia juga tidak boleh terlalu mengkhawatirkan Vida. Ia harus melihat yang lain.

Kekhawatirannya terbukti. Dari balik pepohonan di hutan sebelah barat muncul ratusan orang berikutnya. Belum jelas jumlahnya, tetapi kelihatannya lebih banyak dibanding pasukan pertama yang kini bertempur di sungai. Mereka meraung, kemudian maju. Vida yang berada paling tengah adalah sasaran utama mereka.

Untungnya, pasukan kedua Vallanir cepat bereaksi. Dari sisi kiri dan kanan mereka ikut berlari ke arah sungai, dan berhasil menghadang serangan kedua orang-orang Logenir. Pertempuran yang lebih besar terjadi. Semakin banyak pula orang-orang yang tewas dari kedua belah pihak.

William terus menahan diri, walaupun tubuhnya sudah bergetar menahan emosi. Dalam perkiraannya, pasukan Vallanir dan Logenir yang bertarung di sungai ini awalnya cukup seimbang, dengan kekuatan yang sama-sama lima ratus orang. Vallanir sekarang tampak lebih unggul karena berhasil membunuh lebih banyak.

Namun William teringat pada pembicaraan kemarin di balai desa, bahwa kabarnya Logenir dan sekutunya mempunyai pasukan dengan jumlah seribu orang. Artinya, masih ada pasukan musuh dengan jumlah besar yang belum terlihat. Kenapa mereka tidak ikut menyerang? Apakah masih bersembunyi di hutan? Jika benar seperti itu, dari mana pasukan lain ini akan menyerang?

William mengamati pertempuran, mempelajari kondisi kedua belah pihak, dan coba membuat dugaan. Pertempuran di sungai itu bisa dibagi menjadi tiga kolom. Kolom selatan di sebelah kiri, kolom tengah, dan kolom utara di sebelah kanan. Vida yang berada di tengah bisa mengontrol pertempuran dengan baik. Ia dan para prajurit di dekatnya bertahan dengan solid, kemudian bergerak bersamaan menghancurkan barisan musuh.

Sementara pertempuran di utara, di mana pasukan Vallanir dipimpin oleh Krennar, berjalan seimbang. Sekilas kelihatan, Krennar dan prajuritnya sepertinya juga mulai unggul. Yang agak mengkhawatirkan adalah pertempuran di selatan. Pasukan Vallanir di sana mulai terdesak, dan akibatnya membuat ruang terbuka yang cukup lebar di tengah, yang jika dilihat oleh musuh dari jauh, bisa dimanfaatkan sebagai celah masuk untuk menyerang Vida. Jika William menjadi pemimpin pasukan Logenir, ia pasti akan menyerang dan mendatangi Vida dari arah sana.

Maka William bersiap. Ia memperhatikan sisi hutan di barat yang terdekat dengan area yang ia perkirakan akan menjadi tempat pertempuran berikutnya. Perkiraannya benar. Satu demi satu prajurit musuh muncul dari balik pepohonan, dan jumlahnya cukup banyak.

Di saat-saat seperti itu, orang biasa pasti akan panik, tetapi William sudah menunggu dengan nafsu menggelegak. Begitu pasukan musuh itu keluar dari hutan, William ikut keluar, berlari ke arah mereka. Energinya masih penuh, dan kini ia siap menghabiskannya.

Berhasil menjadi orang pertama yang sampai di tujuan, William langsung menebas dua musuh yang datang pertama kali, dan setelah itu ia tidak bisa berhenti membunuh. Gerakan-gerakannya kilat, kuat dan tak terduga. Bagaikan angin puting beliung ia berputar-putar mengayunkan pedangnya, membawa maut ke mana pun ia bergerak.

Jeritan ngeri dan kesakitan menghampiri telinganya tanpa henti. Muncratan daging dan potongan daging terbang ke sana kemari, dan menempel di tubuhnya. William berusaha tak peduli. Ia terus membunuh siapa pun musuh di dekatnya. Ada kemungkinan satu atau dua orang Vallanir mungkin terkena tebasannya juga, tapi mau bagaimana? Ia harus menjaga momentum dan nafsu membunuhnya. Jika ia berhenti malah akan membuat nalurinya meredup.

Pada akhirnya, entah sudah berapa banyak yang ia bunuh. Jika melihat deretan mayat yang bertumpuk-tumpuk sepanjang jalur pertempurannya, mungkin ada lebih berpuluh-puluh orang, dan efeknya cukup masif buat menghancurkan mental dan kepercayaan diri musuh.

Mereka yang melihat William tak ada lagi yang berani mendekatinya. Kabur menjadi pilihan terbaik jika ingin selamat, dan hal itu menular ke rekan-rekan mereka. Begitu musuh melihat rekan mereka kabur, dengan cepat mereka ikut kabur juga, walau sebagian belum paham kenapa. Dengan cepat pertempuran berakhir, lebih cepat daripada yang semula dibayangkan.

William memandangi musuh-musuhnya yang kabur menuju hutan, sementara orang-orang Vallanir di sekitarnya bersorak-sorak, meraung tanpa henti dengan senjata teracung.

William membalas tatapan mereka, yang melihat takjub ke arah dirinya. Sebagian menyeringai, sebagian lagi tertawa, sebagian besar melongo dengan napas tersengal. Semuanya bersimbah darah. Ia memperhatikan mereka. Berapa yang selamat? Berapa yang mati?

Ada begitu banyak yang terbaring di sekitar sungai yang kini memerah, baik orang Logenir maupun Vallanir. Ini perang yang mengerikan, lebih besar daripada yang dulu pernah dialaminya di selatan.

Kemudian, ia teringat. Mana Vida? Kenapa dia tidak kelihatan?

"Mana Vida?" teriaknya.

Semua orang kaget dan saling melihat.

"Vidaaa!" seru William.

Semangatnya rontok, terganti oleh kepanikan, begitu hal terburuk terbayang. Apa Vida ... termasuk di di antara orang-orang yang terbaring ini?

Panik, William mencari di setiap tumpukan mayat, memeriksa satu per satu. Dadanya bergemuruh, tangisnya hampir meledak, begitu ia membayangkan gadis itu menjadi salah satu korban.

Tidak, ... seharusnya tidak seperti ini!

"Williaaam! Williaaam!"

William mengangkat wajahnya, memperhatikan laki-laki bertubuh besar yang lari mendekatinya. Svenar. Dia tadi bertarung di tengah bersama Vida.

"Aku tahu dia ada di mana!" seru laki-laki itu.

"Di mana?!" William berseru balik seraya berdiri.

"Seorang prajurit baru saja bilang padaku, sebelum mati. Ia melihat Vida bertempur melawan Mornir."

Mornir? Dia ada di sini? Rasanya William tidak melihatnya tadi!

"Mornir berhasil menangkap Vida, dan membawanya ke hutan."

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang