Bab 27 ~ Kawan Lama

304 100 1
                                    

William melewati hari demi hari di tempat tinggalnya yang baru. Setengah bulan berlalu. Ia berlatih, berpatroli ke hutan, atau jika bosan ikut berburu dan menangkap ikan bersama penduduk desa. Mereka orang-orang yang menyenangkan. Dari mereka William belajar banyak hal.

Saat ia sedang berpatroli bersama lima prajurit ke daerah anak sungai di timur, seorang pencari ikan berkata, "Sebenarnya tidak semua orang Hualeg itu jahat. Aku ingat, dulu pernah ada yang datang dengan baik. Mereka memberi mantel, sementara kita memberi makanan, buah-buahan, atau obat-obatan. Tapi yang seperti itu jarang sekali. Mereka lebih suka merampok."

"Kapan mereka terakhir datang?" tanya William.

"Musim panas tahun lalu. Datang dengan lima perahu, masing-masing berisi sepuluh orang. Sebagian dari kami berhasil lari lalu sembunyi di hutan. Tapi banyak juga yang belum sempat lari. Mereka ... tidak selamat ..."

"Kenapa mereka membunuh? Apa merampok saja tidak cukup?"

"Mana aku tahu?" balas si pencari ikan kesal. "Mungkin mereka pikir apa gunanya membawa kapak jika tidak dipakai buat membacok orang?"

William termenung. Mendengar cerita itu membuat ia menjadi sangat benci pada orang-orang Hualeg. Sekarang, jika para penduduk desa ini dan teman-temannya tahu bahwa ayahnya adalah orang Hualeg, ia pasti akan merasa sangat malu.

William dan para prajuritnya melanjutkan patroli. Mereka menyusuri tepian anak sungai yang mengalir dari timur, kemudian mendaki perbukitan. Mereka menyebar, dan tak lama kembali berkumpul tanpa menemukan sesuatu yang mencurigakan. 

Saat matahari mulai tergelincir ke barat, mereka tiba di sebuah pondok kayu yang letaknya agak jauh dari tepi sungai. Seorang laki-laki tua berjanggut putih menyambut mereka. Laki-laki tua bungkuk itu bernama Bullock. Ia seorang pengumpul kayu, buah-buahan dan tanaman obat-obatan yang telah tinggal di situ hampir sepanjang hidupnya.

"Akhirnya kalian mau mampir juga ke rumahku. Kenapa baru sekarang? Tunggu, biar kuambilkan minuman hangat. Sudah lama aku tidak minum-minum bersama orang lain."

"Terima kasih, Tuan. Tapi kami hanya sebentar," kata William sopan. "Kami hanya ingin bertanya, apakah belakangan kau melihat hal-hal aneh."

"Hal-hal ... aneh?" Bullock mendekatkan telinganya.

"Orang yang mencurigakan, misalnya."

"Oh. Maksudmu orang-orang dari utara?"

"Ya, orang-orang Hualeg."

Si laki-laki tua berjalan mendekat. Matanya yang hampir tertutup alis putih tebal memicing, berusaha mengenali wajah William. 

"Sudah lama aku tidak melihat orang lain. Orang-orang utara juga tidak pernah ke sini. Biasanya mereka hanya bergerak di dekat sungai utama. Ya, kadang ada yang datang, tapi hanya teman-temanku dari desa lain."

"Jadi memang tidak ada?"

"Begitulah, Nak."

William manggut-manggut.

"Apakah semuanya baik-baik saja?" Bullock balik bertanya.

"Kami harap begitu. Selamat siang, Tuan. Kami pergi dulu."

"Kenapa buru-buru?" Laki-laki tua itu menepuk-nepuk tangan William. "Kau tidak ingin menemaniku sebentar? Aku sangat ingin berbicara denganmu, Nak."

William tiba-tiba merasa iba. Sepertinya laki-laki tua itu memang ingin sekali berbincang-bincang dengan orang lain. Mungkin dia memang sudah terlalu lama tinggal sendirian di pondok ini tanpa pernah mengunjungi desa-desa lainnya.

"Kalau kau memaksa," William menjawab sambil tersenyum.

"Ah, terima kasih, Nak."

"Hei, Tuck," seorang prajurit berkata. "Kita sudah dari kemarin berpatroli dan belum pulang. Sebaiknya kita kembali ke desa sebelum sore."

"Kalian duluan saja," jawab William. "Aku menyusul. Tinggalkan satu perahu untukku."

Kelima prajuritnya setuju dan pulang terlebih dulu. Bullock mempersilakan William duduk di beranda rumahnya. William harus duduk dengan hati-hati karena kursi itu tampak sudah lapuk. 

Si laki-laki tua masuk sebentar ke dalam rumah, lalu keluar dengan membawa dua botol minuman.

Sekali lagi dia mengungkapkan kegembiraannya. "Aku sudah bilang tadi, Nak, sudah lama aku tidak minum-minum bersama orang lain. Padahal ..." Bullock menerawang, "dulu, setiap bulan aku minum-minum sampai mabuk, terutama kalau dia mengunjungiku."

William mencicipi minuman hangatnya, kemudian mengerutkan dahi. "Dia?"

"Ya, laki-laki itu. Si pengumpul mantel beruang." Bullock memeperhatikan wajah William sekali lagi. "Kau tidak tahu?"

"Kenapa aku harus tahu?"

"Karena wajahmu mirip dengannya. Kalian ... sangat mirip."

Napas William tertahan. Pikirannya berkelana. Dalam waktu singkat ia kembali teringat kata-kata ibunya, tentang sosok ayahnya, yang katanya sangat mirip dengannya. Apakah yang dimaksud Bullock ini ayahnya?

Kegembiraannya meletup-letup. Namun keraguannya timbul. Ini belum pasti. Sebaiknya ia tidak boleh menunjukkannya. "Siapa dia?"

"Seorang Hualeg. Bayangkan, orang yang paling sering minum denganku, teman baikku, adalah orang Hualeg." Bullock tertawa. "Dia pemburu yang sering menjual mantelnya ke desa-desa. Dia tinggal di tepi sungai selama beberapa tahun. Kemudian dia menghilang, tak pernah muncul lagi. Entahlah, mungkin akhirnya dia pulang ke negerinya dan kembali menetap di sana." Si laki-laki tua memperhatikan William yang masih diam menahan emosi.

"Itu sudah lama sekali," lanjut Bullock. "Tetapi, aku tidak pernah melupakan wajah seorang teman. Hari ini aku melihatmu, dengan mata rabunku, dan aku terkejut. Kau sangat mirip dengannya. Wajahmu, perawakan tubuhmu, sorot matamu." Ia mengangguk. "Jadi aku percaya, sebenarnya kau mengenalnya. Karenanya aku heran tadi, kenapa kau tidak mau mengakuinya? Kau takut? Kau takut pada seorang laki-laki tua lemah seperti aku?"

William masih terdiam. Satu hal ternyata memang membuatnya heran, yaitu kenapa ia tidak mau langsung mengakui saja bahwa laki-laki yang dimaksud oleh Bullock itu adalah ayahnya. Padahal sudah terbukti ayahnya itu orang baik. Semua orang yang mengenalnya bilang begitu, dia tidak sama seperti kebanyakan orang-orang Hualeg yang diceritakan orang-orang. 

Lagi pula, baik atau buruk, bukankah dia ayahnya, yang harus ia akui?

William mengangguk. "Ya. Dia ... tampaknya adalah ayahku."

"Aku senang mendengarnya. Tapi kenapa sepertinya kau tidak yakin?"

"Aku belum pernah bertemu dengannya."

"Ah. Berarti ... kau tidak tahu apakah dia masih hidup atau ... sudah mati?"

"Ya," jawab William, walaupun ia ingat cerita ibunya yang jelas mengatakan bahwa ayahnya tu sudah mati.

"Sekarang kau ingin tahu lebih banyak?"

"Ya." William mengangguk. Emosinya bergejolak. Ia hampir menangis saat mengucapkan satu patah kata itu.

"Aku mungkin tak bisa banyak membantumu. Apa yang ingin kau tahu?"

"Kau tahu tempat ia tinggal dulu?"

"Ia pernah bilang rumahnya ada di tepi sungai. Bukan Sungai Ordelahr, tapi anak sungai yang ini. Aku tidak pernah ke sana, tapi kalau kau menyusuri sungai ini terus ke timur, kau mungkin akan menemukannya."

"Terima kasih, Tuan."

"Apa yang kau cari di sana?"

William termenung. "Aku hanya ingin tahu," jawabnya tidak yakin.

Bullock mengangguk sambil mengelus-elus janggutnya. "Aku dulu merasa mengenalnya, tapi mungkin sebenarnya tidak. Dan aku penasaran, apa yang terjadi padanya. Kurasa kau tahu sedikit lebih banyak dibanding aku. Tapi ... kau belum ingin menceritakannya."

"Setelah benar-benar tahu nanti, aku akan menceritakannya padamu."

"Aku senang mendengarnya," Bullock membalas. "Karena berarti kau akan sering datang kemari, dan menjadi temanku. Seperti ayahmu."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now