Bab 14 ~ Jebakan?

384 122 1
                                    

Dalam gelap William menyusuri jalan setapak berumput di kaki bukit. Langkahnya cepat. tetapi ia tetap berusaha untuk tidak menimbulkan suara. 

Belati pinjaman dari Tuan Horsling dipegangnya erat-erat. Belati di tangan kanan dan sarungnya di tangan kiri. Jantungnya menghentak-hentak. Ia teringat pada kata-kata sang pemilik kedai yang menyuruhnya pergi sebelum terlambat. 

Apakah Tuan Horsling tahu sesuatu akan terjadi malam ini?

Atau jangan-jangan, si pemilik kedai dengan latar belakang misterius itu merencanakan sesuatu di sungai. Dia hendak menjebak William di sana mungkin? 

Tetapi kalau benar seperti itu, kenapa dia malah meminjaminya belati? Dan lagi, apa pentingnya William buat seorang Tuan Horsling?

Sayup-sayup gemericik aliran sungai terdengar. William berhenti di balik semak belukar, lalu mengintip. 

Dua orang laki-laki sedang berdiri di samping sungai. Bulan yang tersembunyi di balik awan membuat ia belum bisa melihat sosok mereka dengan jelas. Apa itu Rogas dan Mornitz? 

Kalau melihat perawakan dan pakaiannya, sepertinya benar. Apa yang mereka lakukan?

William ragu, apakah harus keluar menyapa, atau lebih baik melihat dulu apa yang akan terjadi. 

Ia menyelinap di antara batang-batang pepohonan besar, mendekat, supaya bisa melihat lebih jelas. Ya, itu benar mereka. Di sebelah kanan, yang bertubuh tegap dengan bahu lebar adalah Rogas. Sedangkan yang di sebelah kiri, yang tubuhnya lebih jangkung adalah Mornitz. Keduanya tengah memandang ke arah sungai. 

William memicing. Ada dua titik cahaya mendekat, berasal dari dua buah perahu yang masing-masing berisi dua orang laki-laki.

"Mereka sudah datang," suara Mornitz terdengar.

"Sebentar," Rogas berkata. 

Dari samping William bisa melihat wajah temannya itu yang kelihatan tegang. 

"Bisa kau jelaskan lagi rencanamu, Mornitz? Aku belum paham kenapa kita harus berperahu menyeberangi sungai malam-malam begini."

"Orang yang kita incar sudah jauh meninggalkan kita," suara Mornitz terdengar ketus. "Kita harus cepat mengejarnya sebelum terlambat. Kau masih belum paham?"

Sebelum terlambat? William termangu. Apakah ini yang tadi dimaksud oleh Tuan Horsling? Si pemilik kedai menginginkan William ikut serta dalam rombongan Mornitz dan pergi bersama dua perahu itu ke seberang sungai?

William semakin gelisah. Lebih tegang lagi begitu ia memikirkan belati yang ada di genggamannya. Orang yang sedang dikejar Mornitz pastilah orang yang berbahaya karena harus dikejar oleh enam orang prajurit. Tujuh, kalau William jadi ikut. 

Namun dari awalnya rasa takut dan tegang, lalu berubah jadi penasaran dan ingin tahu, dan akhirnya gairah. Inikah saat-saat yang ia tunggu sejak dulu? Dan juga saat yang paling menentukan dalam hidupnya?

Seperti kata Tuan Horsling, mungkin sudah waktunya William melakukan sesuatu yang berbeda jika ia ingin tahu seperti apa dirinya yang sebenarnya, lalu sampai di jalan hidupnya yang berikutnya. Inilah saat penting tersebut. 

Ia kini sudah dewasa, dan ibunya juga sudah wafat. Memang sudah waktunya ia memutuskan dan melakukan sesuatu untuk dirinya.

William mengangguk, mencoba yakin dengan keputusannya. Ia akan keluar, lalu menemui Mornitz, minta agar diperbolehkan ikut. 

William tahu ia akan menjumpai sesuatu yang berbahaya, tetapi mestinya ia tak perlu takut. Ia sudah membawa senjata, dan rasanya ia juga cukup terampil. 

Mungkin yang lebih perlu dipikirkan hanya masalah perbekalan, karena ia tidak membawa membawa barang apa-apa sebagai bekal perjalanan. Tapi mudah-mudahan saja mereka tidak sampai pergi terlalu jauh dan ia bisa pulang secepatnya.

Namun belum sempat William keluar dari balik semak, terjadi sesuatu yang tak terduga. 

Rogas tiba-tiba mengeluarkan pedangnya, kemudian dengan cepat mengacungkannya ke arah Mornitz.

Si laki-laki berjubah hitam terhenyak.

"Hei, kalian!" Rogas berteriak ke orang-orang yang ada di perahu di tengah sungai, "Berhenti! Jangan merapat kemari! Atau kupotong lehernya sekarang juga!"

William melongo, sementara keempat laki-laki di dalam perahu tertegun. Dayung dilepaskan, dan tangan mereka kini terpaku di samping pinggang, di atas gagang pedang masing-masing. 

Selama beberapa saat semua orang terdiam. Tanpa didayung kedua perahu itu bergerak perlahan mengikuti arus sungai, menjauhi Rogas dan Mornitz.

Rogas menyeringai begitu yakin posisinya berada di atas angin. Pedangnya ditempelkan ke leher Mornitz. "Nah, nah, kaupikir kau bisa menipuku semudah itu?"

"Aku tak mengerti maksudmu," Mornitz menjawab.

Ekspresi wajah si jubah hitam ternyata tak banyak berubah. Tadi laki-laki itu memang sempat kaget, tapi dia kini sangat tenang, seolah-olah masih dia yang mengendalikan keadaan.

"Mau berpura-pura mengajakku ke seberang? Hah! Tidak, Kawan." Rogas menggeleng. "Aku tahu kau hanya ingin menjebakku. Membawaku ke tempat sepi, lalu membunuhku! Dengan bantuan para cecunguk di perahu itu! Bangsat. Aku tidak sebodoh itu."

"Kau sedang mengigau, ya? Tidur saja belum, sudah bermimpi," tukas Mornitz. "Kurasa kau memang bodoh, karena mengancam orang yang bisa memberimu uang banyak nanti. Itu kebodohan pertama. Lalu mengira bisa menang dari kami berlima? Itu kebodohan kedua. Kau akan mati sebentar lagi jika kau teruskan. Lebih baik turunkan pedangmu. Mari kita bicara."

"Tidak perlu bohong lagi, bangsat!" seru Rogas. "Aku kenal orang di perahu itu! Dia yang dulu berusaha membunuhku di selatan! Kau pikir brewok tebal bisa menutupi codet di wajahmu, hah?" ia berteriak pada seseorang di atas perahu. "Tolol! Aku mengenalimu, keparat!"

Rogas kembali menoleh ke arah Mornitz. "Dan kau—"

Kata-katanya terhenti. Mornitz ternyata sudah mundur dengan cepat dan menjauh dari pedangnya. 

Rogas hendak maju menyerang, tapi Mornitz tak kalah gesit. Jubahnya terkembang, tangan laki-laki itu mencabut pedang dari samping pinggang dan langsung mengacungkannya ke arah Rogas. Ujung pedangnya beradu dengan ujung pedang Rogas. 

William mengenalinya, itu adalah pedang buatan Bortez yang ia berikan pada laki-laki itu dua hari yang lalu.

Mornitz gantian menyeringai. "Baiklah, kau tidak bodoh, kalau itu maumu." Si jubah hitam tertawa menyeramkan. "Begini, kau tetap akan mati jika nekat melawan kami. Lebih baik menyerah saja."

"Anjing! Bangsat!" Rogas tampak gugup. Matanya blingsatan. "Bajingan seperti kalian mana bisa dipercaya!"

Mornitz menggeleng. "Tuan Bellion memilih melihatmu hidup-hidup saat kau dibawa padanya. Dia ingin dialah yang nanti mencincangmu. Tentu saja ... kalau seandainya kau mati di sini, dia tidak keberatan."

"Aku akan membunuh kalian lebih dulu!"

Rogas menarik pedangnya lalu mengayunkannya sekuat tenaga. Mornitz menangkis. Denting logam beradu. 

Rogas tidak berhenti dan menyerang berkali-kali. Gerakannya cepat dan bertenaga, penuh emosi, tetapi Mornitz bukan lawan enteng. Setiap ayunan pedang Rogas berhasil ia tahan.

Dua puluh langkah dari mereka, di balik semak-semak William gemetar. Ia panik, tak tahu harus berbuat apa. Rogas temannya, dan walaupun William belum tahu masalah apa yang ada di balik semua ini, sudah tentu jika keadaannya semakin kacau ia harus membantu temannya itu. Betul, kan?

William menggenggam erat-erat belatinya, bersiap keluar untuk ikut menyerang Mornitz. 

Namun di saat-saat terakhir ia teringat ucapan Tuan Horsling, "Berhati-hatilah. Jangan bertindak gegabah. Selalu menengok dulu ke belakang, sebelum kau maju ke depan."

Tanpa sadar William menoleh ke belakang, ke jalan setapak yang tadi ia lalui, dan langsung terperanjat, begitu melihat raut wajah ketakutan seseorang di sana, di balik sebuah batang pohon.

Muriel?!

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang