Bab 93 ~ Keluarga Kepala Suku

209 81 6
                                    

Datang ke sebuah desa, tempat di mana seharusnya ia tidak boleh pergi.

Saat turun ke dermaga dan menginjakkan kakinya untuk pertama kali di tanah Vallanir, William langsung teringat lagi pada ucapan ibunya. Larangan mendiang ibunya.

Jika dipikir-pikir, sebenarnya ia tidak pernah lupa. Pesan itu jelas, jangan kembali ke tanah kelahiran ayahnya. Tetapi ia mungkin memang anak yang kurang berbakti, menganggap hal itu terlalu remeh, sehingga selalu mengabaikannya ketika ia membuat berbagai macam keputusan sejak meninggalkan desanya dua bulan yang lalu. Mulai dari kabur bersama Rogas, lalu mengikuti Vida dan rombongannya mencari monster, sampai akhirnya benar-benar sampai di Vallanir. Pada akhirnya ia datang juga, seolah-olah takdir memang memaksanya harus kemari.

Sekarang, setelah pelanggaran semacam ini, apa yang kira-kira akan terjadi, selain bakalan dimarahi habis-habisan nanti oleh ibu dan ayahnya di akhirat kelak?

William mengikuti Freya dan Vida berjalan menyusuri jalanan berbatu yang melintasi desa, dari dermaga hingga entah nanti mengarah ke mana. Beberapa orang keluar dari rumah mereka, memperhatikan. Jumlahnya semakin lama semakin banyak.

William melirik, melihat ke kiri dan ke kanan, berusaha mengalahkan rasa takutnya. Cahaya obor di sepanjang jalan membuat ia bisa mengamati raut wajah orang-orang itu. Ada yang tanpa ekspresi, ada yang tersenyum senang—pasti karena melihat Freya dan Vida bisa pulang dengan selamat—dan ada pula yang tampak kaget dan mulutnya ternganga, entah kenapa.

Kebanyakan yang kaget itu sepertinya orang-orang tua. Ya ampun, ini kan mestinya sudah cukup malam, kenapa orang-orang tua ini tidak tidur saja? William jadi merasa tidak nyaman dengan penyambutan semacam ini. Mestinya ia tidak perlu ikut ambil bagian. Yang pulang kampung dan wajar disambut itu Vida dan Freya. William mestinya tadi tidur saja di perahu!

Mereka tiba di sebuah rumah besar yang letaknya tinggi di atas bukit. William mengikuti Freya dan Vida menaiki anak tangga. Di teras batu yang luas dua orang penjaga membukakan pintu. Sesuai dengan rumahnya, pintu kayu itu juga berukuran besar. Kedua daun pintunya masing-masing lebarnya dua meter dan tingginya empat meter.

Begitu pintu terbuka William bisa melihat ruangan di dalamnya yang luas dan diterangi banyak obor. Tiga orang sudah menunggu. Seorang laki-laki dan dua perempuan, yang semuanya berumur empat puluhan. Yang laki-laki duduk di tengah, di kursi besar bersandaran tinggi. Di kanannya duduk perempuan berambut merah kecokelatan. Di kirinya perempuan berambut kuning. Keduanya masih kelihatan cantik walaupun sudah berumur.

Sambil berjalan mendekat William menebak-nebak. Inikah sang kepala suku Vallanir, ayah Vida dan Freya? Lalu ibunya, yang mana? Salah satu, atau dua-duanya? Jika melihat warna rambutnya, jangan-jangan ...

"Ayaaah!" Freya berlari, tanpa sungkan memeluk ayahnya.

Gadis itu lalu memeluk perempuan berambut merah di kanan ayahnya, dan perempuan berambut kuning di kirinya. Vida menyusul, walau pelukannya tidak seekspresif Freya.

William memilih berdiri cukup jauh, belum berani terlalu dekat.

"Ayah baik-baik saja?" tanya Freya. "Apa masih suka batuk malam-malam?"

"Tidak ada apa-apa," kata ayahnya. "Aku justru khawatir pada kalian. Dan sekarang, Freya, aku mendapat perasaan bahwa sepertinya kamu cukup banyak menyulitkan kakakmu selama kalian pergi ke selatan. Benar, Vida?"

"Tidak terlalu, Ayah," Vida menjawab dengan sopan. "Dia sering ribut, tapi hanya itu. Kami sempat berselisih dengan orang-orang Logenir, dan kehilangan beberapa prajurit, tetapi semua tidak ada hubungannya dengan Freya. Tentang prajurit kita yang meninggal itu, besok aku akan bicara dengan keluarga mereka dan memberi ganti rugi."

Napas William tertahan. Orang-orang Vallanir yang mati itu dibunuh oleh William, sebelum ia menculik Freya. Vida tak sampai menyebutkannya.

"Lakukan mana yang menurutmu baik," kata sang kepala suku, yang lalu menggeleng-geleng. "Berselisih dengan orang-orang Logenir, aku sudah bilang kalian harus hati-hati dan menghindar dari mereka."

"Aku minta maaf, itu semua salahku," kata Vida. "Mornir membawa ratusan orang untuk merampok desa-desa negeri selatan. Sebenarnya kami tak ingin terlibat, tapi situasinya sulit. Ayah tahu, aku tak pernah suka melihat tindakan mereka yang seperti itu."

"Kudengar Mornir kehilangan banyak prajurit. Apakah kalian yang membunuhnya?"

"Kami hanya membunuh sedikit. Sebagian besar dibunuh orang selatan."

"Betulkah?" seru ayahnya kaget. "Orang selatan punya pasukan besar?"

Vida menggeleng. "Mereka hanya sekumpulan orang desa. Tapi ada satu orang, yang telah membunuh setengah dari pasukan yang dibawa Mornir."

"Siapa?" Ayahnya semakin kaget.

Vida menoleh ke belakang. "Pemuda ini. Namanya William." Gadis itu meminta William maju. "Ia bersedia ikut kami menjelajah ke pegunungan timur, dan membantu kami membunuh Ethrak. Kemudian kami mampir ke tempat Helga, untuk menanyakan sesuatu, tapi ternyata di sana ..."

Kata-kata Vida terhenti, begitu menyadari bahwa ayahnya, dan juga kedua perempuan di sampingnya, menatap William tanpa berkedip, seolah-olah melihat sesuatu yang aneh dan seperti tak lagi mempedulikan ucapan Vida.

William membalas tatapan mereka, gugup, tetapi juga tidak ingin terlihat bahwa dirinya takut. Namun kemudian ia sadar membalas tatapan mereka sepertinya bukan tindakan yang sopan. Ia pun menunduk dengan sopan.

"Kau ... siapa namamu tadi?" tanya si kepala suku pelan.

William mengangkat wajahnya. "William."

"Kau berasal dari mana?"

"Dari kota Ortleg, di utara negeri Alton."

William membalas tatapan sang kepala suku, yang cukup lama, sampai akhirnya mau tak mau membuat William gugup juga. Dadanya mulai berdegup kencang. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang dilihat orang tua ini pada dirinya? Tak ada ekspresi berlebihan di wajah laki-laki itu, tetapi tetap saja William tidak merasa enak hati. Kedua perempuan itu juga sama, tak sedikit pun melepaskan pandangan darinya. Mestinya, ia memang tidak perlu datang kemari. Sesampainya di dermaga mestinya tadi ia tidur saja di perahu!

"Aku yang mengajaknya kemari!" seru Freya ceria, memecah suasana. "William banyak membantu kami, dan aku ingin ia betah selama berada di sini. Jadi, Ayah, Ibu, bisakah ia tinggal di rumah kita? Kita punya kamar kosong."

"Tentu saja ..." Sang ayah mengangguk, perlahan bersandar lagi.

"Selamat datang di tempat kami, William." Si perempuan berambut merah tersenyum. Senyumannya manis, seperti Freya, dan sepertinya tulus. "Kami senang kau mau datang ke Vallanir. Aku yakin pasti banyak sekali yang bisa kita bicarakan. Namun hari sudah larut. Aku akan meminta pelayan menyiapkan kamarmu, dan kau bisa beristirahat dengan baik secepatnya."

"Selamat datang, William." Si perempuan berambut kuning ikut menyambutnya. "Namun kalau menurut pendapatku, akan lebih baik jika William tinggal di Rumah Tamu saja. Di sana ada lebih banyak kamar kosong, dan ia bisa memilih mana yang ia suka. Di sana pastinya juga lebih tenang dibanding di sini, yang selalu ramai kedatangan orang setiap harinya."

"Ah, iya, betul juga. Di sana akan lebih baik untukmu, William."

"Terima kasih," William membalas. "Maaf kalau aku merepotkan kalian."

Perempuan berambut merah itu lalu memanggil seorang pelayan dan memberi perintah.

Sipelayan lalu mengajak William pergi, sementara Vida dan Freya tetap tinggal di rumah itu. William tak mempermasalahkannya sama sekali. Untuk saat ini, yang lebih penting baginya adalah secepatnya keluar dari sana lalu tidur. 

Bukannya ia tidak menghormati para tuan rumahnya—sang kepala suku dan kedua perempuanitu kelihatannya orang-orang baik—hanya saja William tadi merasa tidak nyaman saat dipandangi oleh mereka.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now