Bab 31 ~ Tempat Mereka Mati

309 98 1
                                    

William pergi ke barak tempat tinggal para prajurit. Ia mengisi perutnya dengan roti sambil memberitahukan rencananya, kemudian pergi, ditemani Thom dan sembilan orang lainnya. 

Mereka menyusuri Sungai Ordelahr ke utara. Karena lelah dan mengantuk William menyempatkan dirinya tidur, dan membiarkan rekan-rekannya mendayung serta mengawasi.

Begitu mereka tiba di percabangan antara Sungai Ordelahr dengan anak sungai yang mengarah ke timur, barulah Thom membangunkannya.

"Kau melihat sesuatu?" tanya William.

"Belum," jawab Thom.

"Teruslah ke timur, pelan-pelan saja."

Kedua perahu bergerak perlahan. Satu perahu mendekat ke sisi kiri, dan satunya lagi ke sisi kanan. Mereka menyusuri sungai yang berkelok-kelok, dan melewati rumah si tua Bullock. 

Lewat tengah hari, mereka akhirnya berhenti di sisi sungai sebelah kanan yang tepiannya terlindungi cukup banyak batu-batu besar. Mereka menemukan satu perahu lain tertambat di sana.

William memperhatikan pepohonan dan semak belukar di depannya, juga jejak kaki yang tercetak di tanah berlumpur. Tempat ini mirip dengan tepian sungai di rumahnya kemarin, hanya saja yang ini lebih dekat. Saat pulang kemarin malam sehabis ditangkap si gadis berambut kuning sepertinya William tidak melihat perahu di sekitar sini. Tetapi pastinya karena saat itu gelap.

"Mereka di sana." Ia menunjuk ke arah hutan. "Kita masuk."

"Kau yakin?" tanya Thom ragu.

William memandangi para prajurit yang tampak tegang. Mereka semua lebih tua darinya, tetapi bergantung padanya, hanya karena ia memiliki sedikit kemampuan berpedang yang lebih baik. William tahu ia tak boleh menunjukkan keraguan. Ia harus tampak berani. Beraninya seorang yang penuh perhitungan, bukan beraninya anak kecil.

"Jangan takut," katanya. "Berjalanlah di belakangku, jaga jarak. Jangan terlalu jauh tapi jangan terlalu dekat juga dengan rekan kalian. Jika melihat sesuatu yang aneh dan mencurigakan, jangan ragu untuk memberitahukannya pada rekan terdekat kalian, atau bertindak saat itu juga. Mengerti?"

Orang-orang itu kelihatannya jadi lebih yakin. 

William menjejakkan kakinya di tanah berlumpur. Dengan hati-hati ia berjalan ke balik belukar. Anak buahnya mengikutinya. 

Hutan yang mereka lewati lebat, penuh batang-batang besar dan semak yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Mereka tak boleh lengah. Ia menunjuk ke kiri dan ke kanan, menyuruh prajuritnya menyebar. Tak lupa ia meminta mereka untuk terus membuka mata dan telinga.

William terus berjalan, hingga akhirnya berhenti. Jarak antar pepohonan mulai renggang. Gemericik lembut air sungai kecil sampai di telinganya. Rupanya mereka tiba di satu tempat terbuka di tengah hutan. Sinar matahari leluasa menyusup masuk ke tempat itu.

William mengintip dari balik pohon. Napasnya tertahan, begitu ia melihat sesosok laki-laki tertelungkup di tepi sungai. William mengenali dari pakaiannya, itu salah satu prajurit yang ikut bersamanya kemarin.

William menoleh ke belakang. Rekan-rekannya sudah mendekat dan melihat juga apa yang ia lihat. Wajah mereka pucat, sebagian memegang pedang dengan gemetar. 

William kembali memperhatikan sungai. Ia melihat ada satu mayat lagi tak jauh di kiri, dan satu lagi di kanan.

"Aku akan memeriksanya," bisik William pada Thom. "Kalian tetap di sini, jangan buru-buru maju. Kalau ada musuh, biar mereka keluar lebih dulu."

Thom mengangguk, walaupun tampaknya belum begitu paham.

William keluar dari persembunyiannya. Pedangnya tergenggam erat. Para prajurit yang mati ini sepertinya dibunuh kemarin, dan pembunuh mereka mungkin sudah lama pergi. Tetapi tetap ada kemungkinan musuh masih mengawasi di sini. 

Ia berjongkok di samping mayat terdekat, yang kelihatannya dibunuh dengan kapak. Bentuk luka di kepala dan punggungnya dalam. William sedih, sekaligus marah. Jika nanti ia sampai bertemu dengan orang yang melakukan ini, ia akan membalas dengan kekejaman yang sama.

Suara gemerisik terdengar, dari samping kanan. William menoleh. 

Seorang laki-laki bertubuh besar berdiri sekitar sepuluh langkah darinya. Berambut dan berjanggut lebat warna merah, berbaju tebal terbuat dari kulit beruang, dan di tangannya tergenggam kapak selebar kepala. Laki-laki itu menyeringai di balik janggutnya, dan mendekat sambil mengangkat kapak.

William bereaksi cepat. Ia mundur satu langkah kemudian mengayunkan pedangnya. Pedang beradu dengan gagang kapak musuhnya yang terbuat dari besi. Keduanya saling menekan, mengadu kekuatan. William menatap mata musuhnya. Dengusan si orang Hualeg terdengar, bau arak menguar.

William mengangkat kaki kanannya dari sungai yang dangkal, menendang selangkangan musuhnya. Si orang Hualeg tertunduk, tak menyangka. Mendapat kesempatan, William menghajar dagu musuhnya dengan ujung bawah gagang pedangnya. 

Orang itu mundur, pertahanannya terbuka. William mengayunkan pedang dari atas sambil melompat, menebas lengan musuhnya yang menghalangi, kemudian memecah batok kepalanya.

Seruan garang langsung terdengar dari belakang. Setelah itu seorang prajurit musuh lainnya muncul dari arah berlawanan, di ujung kelokan sungai, berlari mendekat. Tidak, tidak hanya satu. Ada satu lagi di belakangnya. 

Jadi sekarang ada tiga musuh baru, dan semuanya membawa kapak besar.

Mengabaikan rasa takutnya, William membalas dengan raungan yang tak kalah garang. Ia menunggu, mengukur jarak musuhnya yang terdekat, lalu pada saat yang tepat ia melompat maju, setengah menunduk sambil mengayunkan pedang. Kapak prajurit pertama mendesing di atas kepalanya, sementara pedangnya berhasil menebas pinggang musuhnya itu tanpa ampun.

Satu musuh jatuh, kapak musuh yang kedua datang dari atas. Setengah berlutut William menangkis dengan pedang di atas kepalanya. Tubuhnya berputar dengan menggunakan kaki kiri sebagai poros sementara kaki kanannya mencari posisi baru. 

Dalam sekejap ia berdiri tegak di samping musuhnya. Pedangnya terayun dan mengoyak punggung musuhnya yang kedua, sekaligus menyerang ke arah musuhnya yang ketiga.

Orang ketiga itu menahan serangannya dengan gagang kapak. William menghantam lagi sekuat tenaga. Pada serangan ketiga musuhnya terduduk tak kuasa menahan. Sorot mata orang Hualeg itu menyorot ngeri, seperti tak percaya. 

William melompat ke samping, lalu menebas leher orang itu.

Dua musuh yang tadi terluka, satu di punggung dan satu lagi di pinggang, meraung sambil mengangkat kapak, siap melakukan perlawanan terakhir. William bergerak lebih cepat. Dua kali tebasan menghabisi keduanya.

Selesai dengan mereka, William berdiri memperhatikan sekelilingnya, memasang telinga, menunggu apakah akan ada lagi musuh yang datang.

Kelihatannya tidak.

Perlahan ia menghembuskan napas lega. Ia menatap satu per satu korbannya. Ia baru saja melakukan serentetan pembunuhannya yang kedua setelah yang pertama di Ortleg dulu. Tubuhnya merinding.

William mendesis ke arah belukar tempat prajuritnya bersembunyi. Thom dan yang lainnya muncul. Mereka memandang bergantian ke arah William dan ke mayat orang-orang yang berserakan.

Thom berbisik, "Kau tidak apa-apa?"

"Ya," tukas William. "Kenapa?"

"Aku ... hanya ingin tahu, apakah tindakan kami tadi benar atau tidak."

"Maksudmu?"

"Apakah sebenarnya kau tadi butuh bantuan kami?"

William menatap sengit. "Jika kalian bisa membantu, itu lebih baik."

"Tapi ... kau bisa mengalahkan mereka semua dengan mudah," balas Thom. "Dan tadi kau bilang kami jangan keluar dulu ..."

"Itu supaya musuh yang keluar lebih dulu! Aku tidak melakukannya dengan mudah. Aku senang jika kalian bisa membantu!"

"Berapa batasnya?" tanya Thom. "Maksudku, sebaiknya kami membantu kalau jumlah musuh yang keluar ada berapa?"

"Aku tidak tahu. Kalian keluar sajalah, jika melihat aku terdesak. Di lain waktu mungkin aku tidak akan seberuntung ini."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now