Epilog 6 ~ Pulang (1)

256 53 1
                                    

ditulis oleh Anindito Alfarisi

Arus Ordelahr telah mengalir sejak dahulu kala. Konon, melaju dari selatan semenjak dewa-dewa masih ada. Konon, masih akan terus mengalir pula sampai pohon dunia berbuah dan dewa-dewi kembali ke Estarath.

Kehidupan pun ibarat sungai berjalan. Tidak ada yang bisa menghentikan. Bila ada yang mencoba, air akan melimpah ruah, dan sungai akan kembali mencari jalan.

Sore itu, di bawah rimbunnya dedaunan yang melindungi dari mentari sore yang temaram, si tua Root duduk-duduk sendirian di tepi dermaga.

Separuh termangu, pencari ikan itu berpikir ulang tentang kesehariannya. Dia memikirkan ulang kehidupan yang telah dia jalani. Dia memikirkan kembali semua orang yang pernah ditemuinya. Dia pikirkan pula semua cerita yang pernah dia bagikan. Dia ingat-ingat lagi semua orang yang pernah berlalu dari kehidupannya.

Tidak biasanya, Root tidak sedang ditemani oleh kerabat satu-satunya yang masih tersisa, yakni adik laki-lakinya, Moor.

Root terkadang heran mengapa Moor masih di sini. Di desa tua bernama Orulion yang semakin lama semakin tak dikenalinya ini. Bukannya pergi ke tempat lain seperti orang-orang lain dulu.

"Mungkin kita berdua memang sama-sama pemalas."

Demikian, Moor dulu pernah berkata.

Anehnya, Root berpikir, sifat malas itu tidak sampai menurun ke anaknya sendiri.

Boot, mendiang anak Root dulu, termasuk pemuda yang lincah. Otaknya memang kurang encer dan mukanya biasa-biasa saja, tapi gadis-gadis masih cukup menyukainya. Yang Root kagumi, mendiang putranya tersebut bisa sedemikian gigih untuk hal-hal kurang penting. Memikirkannya sekarang, mungkin kegigihan salah tempat itu yang justru membuat Boot cukup lumayan saat memegang pedang.

Bocah waktu itu, kata orang-orang, dia juga cukup jago dalam berpedang.

Mengamati aliran sungai dengan bunyi kecipak-kecipak, yang sesekali diiringi riuh tawa dari kedai langganannya yang kian ramai, Root mengenang kembali bocah dari selatan yang waktu itu sempat bermalam di rumahnya.

Pemuda bernama Tuck itu begitu mengingatkan Root akan anaknya. Mungkin karena keluguannya. Mungkin juga sekedar karena usianya.

Kabar yang datang beberapa minggu lalu mengatakan kalau pemuda itu sekarang telah menjadi pahlawan.

"Pahlawan? Bocah jangkung itu?"

"Iya! Dia yang katanya sekarang memimpin Pasukan Taupin! Seorang diri, ratusan orang Hualeg bisa mati sama dia!"

"Masa sih! Berlebihan ituuuu. Mana mungkin! Kita keroyokan lawan satu orang saja masih bisa enggak menang!"

"Dasar tolol! Itu justru membuktikan kalau orang-orang seperti William Tuck itu ada!"

Demikian, percakapan para pengunjung kedai berlangsung pada hari itu.

William ... Tuck? Saat itu, Root berpikir.

"Tuck? Namanya ... Tuck? Kelihatannya dulu aku sempat bicara sama dia. Waktu dia kemari."

Root berucap sekenanya waktu itu. Mungkin karena pengaruh minuman.

Ucapan itu agak disesalinya sekarang. Karena semenjak itu, orang-orang yang berkunjung ke kedai langganannya itu jadi selalu memintanya bercerita soal Tuck.

Akibatnya, Root dan Moor sejak itu tak bisa lagi minum-minum dengan tenang karena selalu diganggu oleh pengunjung yang lain. Padahal, hanya semalam saja Tuck menginap di rumahnya. Sejak awal, tak banyak yang bisa Root ceritakan tentang dirinya.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now