Bab 29 ~ Si Rambut Kuning

306 92 1
                                    

Lama kemudian, kegelapan malam yang diterangi oleh nyala api unggunlah yang tampak saat William membuka matanya. 

Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, sesaat belum sadar apa yang terjadi padanya. Tubuhnya bersandar pada sesuatu di belakang, mungkin batang pohon, sedangkan kepalanya masih pusing. 

Pandangannya lalu tertuju pada si gadis berambut kuning. Gadis itu duduk di seberang api unggun sambil menggerogoti sesuatu. Mata gadis itu melirik tajam begitu melihat William mengangkat kepalanya.

Seluruh ingatan William kembali, mulai dari bagaimana ia sampai di tempat ini dan bagaimana gadis itu tadi menghajarnya. Ia menegakkan tubuh. Tangannya terangkat hendak memegang rahangnya yang sakit. 

Kemudian ia sadar, kedua pergelangan tangannya ternyata terikat menjadi satu oleh lilitan akar tanaman yang sangat kokoh. William melihat ke arah kakinya. Pergelangan kakinya hingga ke lutut pun diikat dengan akar yang sama.

Ia melirik pada si gadis berambut kuning yang masih mengunyah. Sudah jelas kini ia tidak berdaya dan menjadi tawanan. Biarpun dia hanya seorang gadis, dan William belum dibunuh olehnya, tetap besar kemungkinan gadis itu akan membunuhnya nanti atau melakukan sesuatu yang mengerikan lainnya. 

William menelan ludah saking tegangnya, kemudian mencoba berpikir jernih. Mungkin ... bisa juga gadis ini tidak berniat membunuhnya. Siapa tahu dia hanya takut, dan mengikat William supaya ia tidak berbuat macam-macam.

Gadis itu terus memandanginya, seperti berusaha mempelajari William, lalu menunjuk sesuatu yang terbakar di atas api unggun. "Ikan. Makan."

William melirik setusuk ikan yang sedang dibakar. Baunya harum menusuk sampai ke hidung, memancing perutnya untuk berbunyi minta diisi. 

Tetapi ia belum mau bereaksi. Harus jelas dulu apakah gadis ini memang tidak berniat buruk padanya, baru William akan menerima tawarannya.

"Ambil," kata gadis itu lagi dengan lebih keras.

William menggeleng. "Siapa kau?"

Gadis itu berhenti mengunyah. Dia mengambil tusuk ikan dari atas api unggun, lalu melemparkannya ke arah William. Ikan itu jatuh tepat di telapak tangan pemuda itu. Tentu saja rasanya panas. 

William mengerang, melempar ikannya beberapa kali di udara, sebelum akhirnya bisa memegang tusuknya dengan sempurna.

"Hei!" serunya kesal bukan main. "Tak bisakah kau memberikannya dengan lebih baik? Ini makanan!"

"Makan!"

"Kalau aku tidak mau, terus kau mau apa?"

Gadis itu menenggak araknya. "Aku marah."

"Kenapa marah?"

"Sebab kamu tidak mau ikut kata-kata aku."

"Terus kalau kau marah?"

"Aku pukul kamu."

William tertawa. "Jadi aku memang harus makan. Terus apa lagi?"

Gadis itu mengangkat bahu. "Kamu tetap mau aku pukul?"

"Maksudku, apa yang kau mau dariku? Kenapa kau menangkapku?"

"Aku tidak mau tangkap kamu," gadis membantah.

"Lalu kenapa kau melakukan ini?"

"Karena kamu datang ke tempat ini. Harusnya tidak," gadis itu membalas tatapan William. Kemudian ia berkata lagi, "Setelah ini kamu pergi."

"Aku pergi kalau aku mau," tukas William.

"Kamu harus pergi."

"Kenapa?"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now